Produk dan peraturan hukum yang meregulasikan hidup masyarakat kebanyakan memiliki basis dari teori-teori keadilan arus utama. Namun, teori keadilan tersebut terkadang tidak mencakup beberapa hal fundamental bagi kelompok minoritas, seperti perspektif kesetaraan gender dan partikularitas. Membahas realita tersebut, Jurnal Perempuan menerbitkan edisi 110 (JP 110) yang bertajuk Perempuan dan Inisiatif Keadilan. Jurnal Perempuan juga menyelenggarakan Pendidikan Publik untuk membumikan bahasan tersebut pada Rabu (22/12/2021) silam. Dalam penyusunan JP 110 dan Pendidikan Publik ini, Jurnal Perempuan menggandeng Kurawal Foundation dan Asian Justice and Rights (AJAR) sebagai kolaborator. Pendidikan Publik ini dibuka oleh pidato dari Sri Wiyanti Eddyono (Kurawal Foundation), Abby Gina Boang Manalu (Jurnal Perempuan), serta Indria Fernida (AJAR). Narasumber diisi oleh Theresia Iswarini (Suara Kita), Sri Lestari Wahyuningroem (Dosen Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”/UPN, Jakarta), dan Mulki Makmun (AJAR), serta dipandu Retno Daru Dewi G. S. Putri (Jurnal Perempuan) sebagai moderator.
Mewakili redaksi Jurnal Perempuan, Abby Gina membuka pidato dengan menunjukkan urgensi pembahasan tema. Masalah keadilan, terutama mengenai inisiatif keadilan, masih sangat relevan untuk didiskusikan. JP 110 berusaha mengelaborasi beberapa isu seperti keadilan transisi, keadilan transformatif, sampai hak-hak dasar transpuan. Senada dengan Abby, Sri Wiyanti mewakili Kurawal Foundation, menyatakan dukungannya pada perjuangan isu perempuan, seperti keadilan. Pada pidatonya, Indria Fernida yang mewakili AJAR, menyatakan antusiasme AJAR dalam menulis jurnal ilmiah bertema keadilan dalam perspektif gender. Pada sesi diskusi, Sri Lestari Wahyuningroem meringkas temuannya pada tulisan berjudul Perdamaian atau Keadilan? Transformasi untuk Perempuan di Wilayah Konflik dan Pascakonflik di Papua dan Aceh di JP 110. Tulisan tersebut mendalami isu keadilan dalam konteks konflik. Ia memaparkan betapa kompleksnya persoalan keadilan, utamanya pada fokus bahasan yaitu perempuan Papua dan Aceh yang berada dalam kondisi rentan kekerasan dan relasi kuasa yang timpang. Dalam kasus tersebut, dibutuhkan keadilan transformatif untuk memutus impunitas dan membawa pertanggungjawaban negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa konflik. “Transformative elements harus melihat bahwa kekerasan punya dua sisi: yang sifatnya daily—yang kita alami—dan yang sifatnya struktural—yang inheren dalam masyarakat,” jelasnya. Theresia Iswarini mempresentasikan ulasan tulisannya pada JP 110 yang berjudul Kartu Tanda Penduduk: Penantian Panjang Transpuan atas Akses Keadilan dan Kesetaraan. Dalam paparannya, ia menyatakan transpuan menjadi kelompok yang paling liyan. Mereka kesulitan dalam memeroleh hak mendasarnya sebagai warga negara yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP). Komunitas masyarakat sipil kerap melakukan tindak inisiatif keadilan untuk membantu para transpuan mendapatkan pendataan sipil. “Pada satu sisi dia (inisiatif keadilan sipil—red) menjadi ironi, karena seharusnya inisiatif-inisiatif masyarakat sipil ini dipegang oleh negara sebagai pengambil atau pemegang utama dari penegakan, pemenuhan, dan perlindungan HAM,” ujarnya. Penyampaian materi ditutup oleh Mulki Maknum, yang menyampaikan temuannya pada risetnya Agensi Perempuan Penyintas dalam Inisiatif Keadilan Transisi di Tingkat Lokal di JP 110. Dalam menulis riset tersebut, ia berkolaborasi dengan Atnike Sigiro. Tulisan ini disusun berdasarkan riset di Aceh, Yogyakarta, dan Sulawesi Tengah. Keadilan transisi merupakan berbagai proses serta mekanisme terkait upaya suatu komunitas untuk menghadapi warisan pelanggaran masa lalu, guna memastikan akuntabilitas, menegakkan keadilan, serta mencapai rekonsiliasi. Perempuan menjadi pihak yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM masa lalu. Perempuan korban hidup dalam trauma dan stigma yang berlapis-lapis merundung mereka. Dalam hal ini, dibutuhkan model-model inisiatif keadilan yang bersifat lokal, guna menjangkau luka korban yang terdalam dengan pendekatan kultural. Dengan kondisi dimana birokrasi negara menghadirkan banyak hambatan terhadap akses, partisipasi, dan agensi penyintas, komunitas masyarakat sipil memegang peran untuk menyuarakan penolakan impunitas. “Di sini, masyarakat sipil memiliki peran kunci untuk menjembatani proses ini. Tetapi juga harus hati-hati untuk tidak hanya bertindak sebagai perpanjangan tangan dari birokrasi negara,” ujar Mulki. Bahasan perempuan dan keadilan menjadi penting, sebab dalam situasi perang dan konflik kerap terjadi kekerasan besar-besaran terhadap perempuan. Kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk kekerasan yang menghantui perempuan di daerah konflik atau perang. Mengenai hal tersebut, Sri Lestari menyatakan perempuan menjadi simbol kolektif dari sebuah komunitas. Sehingga dalam konflik, penghancuran tubuh perempuan menjadi opsi serangan yang dilakukan oleh suatu kelompok pada kelompok lainnya. “Perang, konflik, itu selalu melibatkan kekerasan seksual di dalamnya,” jelas Sri Lestari. Masih menanggapi keterkaitan konflik dan kekerasan seksual, Mulki menyatakan bahwa munculnya bentuk-bentuk kekerasan seksual pada kawasan konflik—yang dilakukan oleh pihak berkuasa—sering disebabkan oleh absennya penghormatan terhadap martabat manusia. Mulki memberi contoh bentuk pelanggaran HAM pada wilayah konflik, “Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan itu seperti upaya militer itu melakukan pendudukan di suatu wilayah yang terjadi pemberontakan, akibat ketidakadilan yang muncul di wilayah mereka.” Sebagai penutup Pendidikan Publik, Theresia menyampaikan bahwa perlunya penegakan pendidikan seksual secara sistematik untuk mengakhiri penjajahan terhadap tubuh perempuan. Penting untuk dipahami, bahwa tubuh perempuan masih menjadi arena untuk menunjukkan kekuasaan dan dominasi, terlebih di wilayah konflik. “Harus dipastikan bahwa (dalam—red) pencegahan tindak pidana kekerasan melalui pendidikan, pendidikan seksual harus dimasukan,” tukasnya. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |