Pada Selasa (30/52023), Yayasan Jurnal Perempuan dan Yayasan IPAS Indonesia mengadakan pendidikan publik berdasarkan hasil riset yang dimuat dalam Jurnal Perempuan 114. Diskusi daring ini menghadirkan beberapa penulis JP 114, yaitu Abby Gina Boang Manalu (Jurnal Perempuan), Maria Ulfah Anshor (Komisioner Komnas Perempuan), dan Godefridus Samderubun (Dosen FISIPOL Universitas Musamus Merauke). Acara dibuka dengan pidato pembuka dari Abby Gina dan Marcia Soumokil selaku Direktur IPAS Indonesia. Abby Gina menjelaskan bagaimana JP 114 bertujuan untuk mengangkat berbagai isu HKSR dalam konteks Indonesia. Kemudian, Marcia Soumokil menyebutkan secara spesifik isu-isu HKSR di Indonesia seperti Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi dan penanganannya turut dihambat oleh norma patriarki yang menyatakan bahwa kematian semacam itu merupakan “mati syahid”. Sebagai dokter, ia menolak pandangan bias tersebut dan menegaskan bahwa sesungguhnya itu adalah kematian yang dapat dicegah. Ia juga menyebutkan kasus-kasus lain di Indonesia yang mematahkan kekeliruan, miskonsepsi, dan stigma terkait HKSR seperti bagaimana kasus HIV banyak ditemukan pada ibu rumah tangga yang ditulari suaminya, dan akses aborsi yang dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual. Pada sesi presentasi, Abby Gina memaparkan riset pertama, yaitu “Feminisme dan Keadilan Reproduktif: Mempersoalkan Aborsi Berdasarkan Pengalaman Aktivisme HKSR”. Temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur bahwa aborsi dibolehkan dalam kasus perkosaan, nyatanya hampir tidak ada yang dapat mengaksesnya. Menggunakan kerangka kerja keadilan reproduktif dan lensa interseksionalitas, penelitian ini menggarisbawahi tiga hal: dampak kriminalisasi aborsi, bias nilai dan ketercerabutan hak konstitusional perempuan korban KS, serta kerja aktivisme untuk menghadirkan keadilan reproduktif. Beberapa kutipan kunci dari informan menyebutkan bagaimana kebijakan dilaksanakan secara tidak hati-hati. Kebijakan juga tidak memikirkan pihak yang paling rentan, yang menyebabkan perempuan banyak dirugikan. Salah satu contoh kasus mengungkapkan situasi korban kekerasan seksual yang merupakan anak dan penyandang disabilitas. Korban tidak memahami situasi kehamilan. Akibatnya, korban bahkan tidak menyadari bahwa ia telah hamil. Atas hal itu, batas aborsi pada UU Kesehatan, yaitu sampai usia 6 minggu saja, dianggap tidak aplikatif. Selain itu, pihak terkait seperti tenaga kesehatan dan kepolisian juga turut menghambat akses korban kepada layanan. Penelitian ini juga menjadi dokumentasi praktik-praktik baik yang sudah dilakukan oleh para aktivis. Riset kedua yang dipaparkan adalah “Kekerasan Seksual: Berkelindan Antara Norma Hukum dan Agama” oleh Maria Ulfah Anshor. Komisioner Komnas Perempuan tersebut pertama-tama memaparkan data kekerasan seksual menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Ia lalu menjelaskan dampak kekerasan seksual pada korban yaitu trauma berkepanjangan, kriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik pelaku, dikucilkan, dan Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sesuai tulisannya di JP 114, Maria Ulfah juga menjelaskan terkait perspektif agama Islam. Islam memiliki prinsip maqashid al-syari’ah yang bermakna menggapai kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Dalam konteks kasus kekerasan seksual, menurutnya ini berarti keputusan harus membawa keselamatan korban. Sejauh pemaksaan melanjutkan kehamilan mencancam nyawa sang korban, penghentian kehamilan bahkan dapat dianggap wajib.
Godefridus Samderubun memaparkan tulisan ketiga, yaitu “Pengetahuan dan Keterampilan Artikulasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di Kalangan Perempuan”. Penelitian yang dilakukan di Papua ini menghadirkan subjektivitas salah satu penulis yang juga merupakan Orang Asli Papua. Temuan penelitian ini di antaranya adalah bahwa isu KTD menjadi diskursus HKSR yang dominan di antara perempuan muda Papua. Hal ini juga berkelindan dengan hubungan pacaran dengan relasi kuasa yang timpang. Penelitian ini juga mengaitkan isu HKSR tersebut dengan pergeseran norma. Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Ada penanya yang berpendapat bahwa hukum Indonesia terkait aborsi “sudah moderat” karena mengizinkannya dalam konteks tertentu. Abby Gina menanggapi dengan menyebutkan kembali bahwa kenyataannya aborsi aman dan legal masih hampir tidak dapat diakses oleh para korban kekerasan seksual dengan berbagai hambatan yang ada di lapangan. Kemudian, ada juga pertanyaan seputar kekerasan seksual yang terjadi di ranah keluarga dan lembaga pendidikan agama. Pertanyaan ini ditanggapi oleh Maria Ulfah dengan membagikan metode-metode pencegahan yang dapat dilakukan di sekitar kita, seperti memberi pendidikan kepada anak agar dapat melindungi diri, serta mengingatkan anggota keluarga untuk memastikan bahwa tidak ada yang boleh merendahkan martabat siapa pun. Diskusi ini hanyalah satu dari begitu banyak perjuangan untuk memenuhi keadilan reproduktif di Indonesia, terutama bagi kelompok yang memiliki kerentanan. Pejuang HKSR, pejuang kesetaraan—pejuang feminis telah bekerja begitu lama demi dibentuknya kebijakan-kebijakan yang mengatur keadilan reproduktif. Namun sebagaimana yang kita pelajari salah satunya dari riset-riset yang dipaparkan, masih banyak kekeliruan terkait isu HKSR yang secara nyata berdampak besar pada perempuan dan kelompok rentan yang tubuhnya diatur tanpa dilibatkan perspektifnya. Mari terus kita dukung perjuangan ini. Jangan sampai wawasannya berhenti pada dirimu saja. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |