Sebuah modul bagi kalangan media dalam meliput LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) diluncurkan pada Sabtu (5/9) di Casakhasa Garden Bistro, Jakarta. Modul yang diterbitkan oleh Jurnal Perempuan (JP) bersama Ardhanary Institute (AI) dan didukung oleh Hivos-Rosea ini merupakan respons atas pemberitaan media mainstream yang cenderung masih terjebak antara “menertawakan” kecirian LGBT atau “mengeksotiskan” dan bahkan kadang menggambarkan LGBT sebagai predator. Peluncuran modul dihadiri oleh sekitar 70 orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, LSM, media dan profesional. Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT diisi dengan diskusi yang menghadirkan sejumlah pembicara yakni Hartoyo dari Suara Kita, Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ade Armando, Dosen Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, dan Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan dengan moderator RR. Sri Agustine dari Ardhanary Institute. Acara dibuka dengan sambutan dari Jurnal Perempuan, Ardhanary Institute dan Hivos-Rosea. Dalam pembukaannya Dewan Redaksi Jurnal Perempuan Nur Iman Subono yang biasa disapa Boni mengatakan LGBT tidak banyak dibicarakan, bahkan media dalam pemberitaannya seringkali justru melecehkan. Menurutnya ada tiga upaya yang dapat dilakukan, pertama advokasi, dengan memengaruhi pengambil kebijakan, kedua edukasi dan ketiga pemberdayaan. Namun selama ini seringkali ketiga upaya tersebut berjalan sendiri-sendiri. Padahal yang dibutuhkan ketiganya harus berjalan seiring. Karena itu kehadiran modul ini diharapkan tidak berhenti sebatas pada penerbitan namun menjadi awal untuk kerjasama dalam bentuk lain. Sementara Sri Agustine dari Ardhanary Institute menjelaskan penerbitan Modul Panduan Media Meliput LGBT berawal dari penelitian AI tentang bagaimana media meliput isu LGBT melalui wawancara terhadap wartawan media elektronik dan cetak. Selain itu dari pengamatan terhadap liputan-liputan media tentang LGBT selama tiga tahun didapat temuan sebanyak 90% isi pemberitaan media penuh dengan stereotip, stigma, label, dll. Pada pemberitaan kasus kriminal murni yang tidak terkait dengan orientasi seksual dan yang dapat dilakukan siapa saja, ketika dilakukan LGBT, maka yang disorot media justru isu SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Indentity, Expression and Bodies). Rekomendasi dari responden yang terdiri dari para jurnalis mengungkapkan bahwa mereka kekurangan informasi yang faktual mengenai LGBT, karena itu menurut mereka diperlukan suatu pandauan yang bisa digunakan jurnalis sehingga mereka dapat meliput LGBT secara maksimal. Ketika modul sudah terbit, para jurnalis merekomendasikan untuk mengundang jurnalis dari media mainstream yang bisa dilatih dengan menggunakan modul tersebut. Maka AI dan JP menggelar pelatihan bagi para jurnalis pada bulan Mei 2015. Karena itu menurut Agustine penerbitan Modul ini merupakan hal yang membanggakan. Bahkan menurutnya ketika sampul Modul dipublikasikan di laman medsos AI, banyak pihak seperti kalangan akademisi memberikan respons positif dan tertarik dengan modul tersebut. Tunggal Pawestri, perwakilan Hivos-Rosea mengungkapkan apresiasinya atas kerja keras AI dan JP untuk menerbitkan modul yang sederhana namun diharapkan bermanfaat bagi kalangan media tersebut. Menurutnya modul ini merupakan kontribusi AI, JP dan Hivos bagi teman-teman media yang mungkin sudah memiliki sentivitas namun tidak tahu bagaimana cara memberitakan dengan istilah-istilah yang tepat atau bagaimana memahami isu orientasi seksual dan identitas gender. Lebih lanjut Tunggal mengatakan penerbitan modul ini merupakan langkah awal bagi Hivos, AI dan JP karena diharapkan keberadaan modul ini tidak hanya menjadi buku yang dipajang di perpustakaan milik media, tetapi diharapkan teman-teman media akan menghubungi Ardhanary Institute atau Jurnal Perempuan dan menggali informasi lebih dalam. Tunggal menyatakan homophobia akan terus terjadi jika pemberitaaan media terus-menerus memojokkan teman-teman LGBT. Karena itu ia berharap modul tersebut dapat menjadi rujukan media. Selain itu ia juga berharap agar teman-teman LGBT selalu mengingatkan kalangan pers untuk meliput LGBT dengan lebih baik. Usai sambutan, acara dilanjutkan dengan penampilan lip-sync dari Dekhap. Dekhap adalah singkatan dari nama keempat personilnya. Juru bicara Dekhap, Dizz menjelaskan penampilan mereka bertujuan untuk menunjukkan bahwa gender terutama ekspresi gender adalah sesuatu yang kita tampilkan dengan kekhasan kita sendiri untuk tujuan yang berbeda-beda. Penampilan ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap pandangan masyarakat yang cenderung melihat seks, gender dan ekspresi gender sebagai satu paket, seolah-olah jika seseorang berjenis kelamin perempuan maka ia harus feminin, harus mencintai laki-laki dsb, padahal ini membuat kita cenderung menilai seseorang hanya dari penampilannya. Sementara tak ada seseorang yang dapat mengetahui dengan pasti orientasi seksual dan identitas gender orang lain. Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Agustine. Hartoyo dalam paparannya mengungkapkan pengalaman organisasi yang dipimpinnya, Suara Kita, dalam menyuarakan kepentingan LGBT. Ia mengungkapkan Suara Kita memilih website yang dinilai murah dan mudah diakses. Pedoman yang digunakan medianya adalah menuliskan pengalaman teman-teman LGBT, sehingga website Suara Kita dapat dikatakan sebagai media komunitas. Sementara itu Luviana mengungkapkan seiring dengan peningkatan jumlah media terjadi juga peningkatan pemberitaan LGBT. Liputan tentang isu LGBT dianggap menarik oleh media namun seringkali dikaitkan dengan persoalan agama dan moral. Menurutnya ada empat perspektif yang digunakan media dalam meliput LGBT yaitu perspektif agama, perspektif informatif, perspektif pasar (menonjolkan aspek sensasi) dan perspektif kritis. Ade Armando dalam paparannya menegaskan dalam industri media massa, bekerja dengan independensi adalah sebuah mitos. Ada kebijakan redaksi, ada faktor pemilik media, ada aspek initial attitude dan pandangan masyarakat umum yang ikut membentuk pemahaman dan memengaruhi seorang wartawan, sutradara, penulis naskah film/sinetron, penulis lirik lagu, perancang talkshow, dsb dalam bekerja. Sementara Gadis Arivia menjelaskan bahwa bahasa membentuk konstruksi berpikir, karena itu Modul Panduan Media Meliput LGBT memulai paparannya dengan pembahasan istilah kata dan bahasa. Lebih lanjut Gadis mengungkapkan bahwa negara—melalui peraturan/undang-undang yang dibuat—akademisi—yang memilih membisu terhadap LGBT—dan media telah berkongkalikong untuk mengucilkan LGBT dan menjadi gembong homophobia. Setelah keempat pembicara menyampaikan paparan, diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Usai sesi diskusi, acara dilanjutkan dengan peluncuran modul yang ditandai dengan penyerahan modul kepada perwakilan wartawan yang hadir, yakni dari harian Kompas dan Republika oleh perwakilan Hivos, Tunggal Pawestri. Selanjutnya duet kakak-beradik Rika dan Fani menghibur undangan lewat lantunan lagu yang diiringi dengan permainan gitar. Acara berlanjut dengan pemotongan kue yang menandai ulang tahun Jurnal Perempuan ke-19 pada bulan Agustus lalu. Acara sore itu ditutup dengan makan malam bersama dan ramah tamah. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |