Kamis, 27 Maret 2019, Peluncuran JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia diselenggarakan di JS. Luwansa Hotel. Pada acara ini, Jurnal Perempuan mengundang berbagai pihak yang telah mendukung JP sehingga dapat mencapai terbitan yang ke-100. Acara ini dimulai dengan sambutan dari Esther Parapak mewakili Ford Foundation. Lembaga donor yang telah mendukung JP sejak tahun 1997. Ford Foundation telah mendukung berbagai kegiatan Jurnal Perempuan mulai dari penerbitan, penelitian, diskusi, diseminasi pengetahuan, hingga dukungan penerbitan secara digital. “Keberadan JP masih sangat dibutuhkan untuk mendukung gerakan perempuan. Saya mengapresiasi edisi khusus JP ini”, tutur Esther. Penerbitan JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia didukung oleh Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Pada edisi ini terdapat hasil penelitian MAMPU yang diterbitkan. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sambutan dari perwakilan Program MAMPU, Fransisca Indarsiyani. “Keberlanjutan JP perlu dikagumi, ini sudah 23 tahun dan masih tetap ada hingga saat ini. JP menyediakan ruang publik untuk menulis hal-hal kritis dan mengekspresikan gagasan mereka untuk Indonesia lebih maju”, tutur Fransisca Indarsiyani. Ia juga melanjutkan bahwa isu yang telah diangkat JP sangat beragam dan substantif, sehingga sangat bermanfaat bagi penguatan aksi kolektif gerakan perempuan. Prof. Mari Elka Pangestu, yang merupakan Dewan Pembina Yayasan Jurnal Perempuan juga turut menyampaikan sambutannya dalam momen penting ini. Ia mengungkapkan bahwa konsistensi Jurnal Perempuan dalam menerbitkan jurnal selama dua decade patut diapresiasi dan didukung, sebab hal ini merupakan prestasi yang luar biasa. Ia melanjutkan bahwa dalam konteks kebijakan publik sudah ada beberapa kemajuan pasca reformasi antara lain hadirnya kebijakan afirmatif Pemilu, UU PKDRT, politik anggaran atau Anggaran Responsif Gender (ARG). Meski demikian menurutnya masih banyak catatan penting terkait perempuan dalam ekonomi, baik mikro maupun makro. Prof. Maril Elka Pangestu menekankan bahwa sudut pandang ekonomi penting untuk mendorong perjuangan kesetaraan gender. “Ketimpangan gender adalah juga masalah ekonomi, karena artinya kita tidak bisa memaksimalkan 50% dari penduduk kita, yaitu perempuan”, tegasnya. Ia menjelaskan bahwa partisipasi kerja perempuan masih rendah, hal ini menurutnya tidak terlepas dari faktor perkawinan anak, akses terhadap pendidikan, kesenjangan upah dan praktik budaya yang diskriminatif. Kemudian, menyoal terbitan JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, mantan Menteri Perdagangan Indonesia itu pun membenarkan temuan dari riset anggaran pada JP 100, yaitu terkait Anggaran Responsif Gender (ARG) yang belum menjadi arus utama. Menurutnya selama ini persoalan gender masih dianggap persoalan yang berada pada kementerian atau dinas-dinas yang spesifik dengan urusan perempuan saja sehingga politik anggaran belum menyeluruh diimplementasikan di setiap kementerian, dinas dan lembaga. Setelah berbagai sambutan, acara dilanjutkan dengan penyampaian pidato kunci oleh Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro. “Kita sering mendengar kalau feminisme itu kerap indentik dengan pemikiran barat, ide-ide asing, karena alasan itu feminisme ditolak dan dikecam. Kalau kita melacak dalam sejarah bangsa, feminsime telah tumbuh dalam masa pra kemerdekaan Indonesia. Siti Sundari dan Sukaptinah adalah beberapa nama perempuan yang memiliki kontribusi dalam perjuangan isu-isu perempuan dan nasionalisme pada masa kolonial”, tutur Atnike dalam pidatonya. Atnike melanjutkan bahwa feminisme sebagai pemikiran dan gerakan juga mendapatkan tantangan pada periode 1965-1966 dan rezim orde baru, dimana gerakan perempuan dihancurkan dan dikontrol. Setelah itu Indonesia sebagai sebuah negara mengalami fase baru yaitu reformasi, dimana gerakan perempuan ikut tumbuh dan berkembang dalam memperjuangkan ide-idenya. “Di masa orde baru, gerakan perempuan hadir, salah satunya adalah Marsinah. Di era reformasi yang kian genting, gerakan perempuan hadir salah satunya ialah Suara Ibu Peduli, dimana Jurnal Perempuan juga terlibat”, jelas Atnike. Pada masa reformasi, menurut Atnike gerakan perempuan tidak berhenti menyumbangkan pemikirannya di berbagai isu, mulai dari pendidikan, seksualitas, keadilan sosial, hingga keadilan ekologi. Atnike menegaskan bahwa pada pemikiran dan gerakan perempuan di Indonesia memiliki identitasnya sendiri dengan ragam konteks dan opresi yang dihadapinya. “Itulah ide-ide feminisme di Indonesia yang tumbuh dan berkembang, tentu kita tidak tumbuh sendirian tapi juga terkait dengan pemikiran global, Barat dan Asia”, tutur Atnike. Atnike melanjutkan bahwa JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan memotret refleksi gerakan perempuan di Indonesia setelah 20 tahun reformasi. “Di era reformasi ini, kita melihat narasi besar gerakan perempuan memengaruhi reformasi, yaitu adanya institusionalisasi pemikiran feminis dalam kebijakan, makanya kita melihat adanya kebijakan ARG, kebijakan afirmatif Pemilu, UU PKDRT. Kita juga melihat adanya lembaga-lembaga institusi yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan”, jelas Atnike. Menyoal gerakan perempuan dalam mengadvokasi kebijakan publik, Atnike juga mengingatkan kita bahwa masih ada pekerjaan rumah yang berat, salah satunya ialah mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurutnya perjuangan tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya #GerakBersama. Hal ini juga terkait dengan konsep aksi kolektif yang disebut dalam JP 100. Menurut Atnike konsep aksi kolektif sangatlah penting, karena bukan hanya sekadar bersama-sama dalam perjuangan, tetapi juga tanpa malu-malu menyebut diri sebagai gerakan yang memiliki identitas gender. Lebih jauh, gerakan perempuan juga mengalami tantangan pasca 20 tahun reformasi. Menurut Atnike, perempuan kembali direnggut dari ruang publiknya, kontrol perempuan atas tubuhnya juga direbut melalui berbagai bentuk kebijakan diskriminatif yang muncul. “Di tingkat lokal, ada usaha untuk mendorong perempuan berpartisipasi dalam unit-unit kebijakan di level desa, tetapi masih banyak anggapan perempuan tidak boleh memimpin itu masih ada. Ini adalah tantangan yang kita hadapi”, pungkasnya. Atnike mengungkapkan bahwa di setiap zaman, kaum perempuan Indonesia telah membawa berbagai kebaruan tidak hanya bagi kaumnya, tetapi kebaruan yang universal. Ia melanjutkan bahwa sejarah perempuan Indonesia telah membawa feminisme sebagai kesatuan gerak dan pikiran. Menurutnya perempuan Indonesia membuktikan bahwa feminisme adalah sebuah jalan keadilan bagi yang terpinggirkan, tak hanya kelompok perempuan itu sendiri, tetapi juga kelompok yang lain seperti masyarakat perdesaan, kaum miskin kota, dan minoritas gender. “Feminisme adalah kesatuan gerak dan pikiran yang dibangun melalui sikap kritis terhadap praktik dan pandangan dominan yang tidak adil”, tegas Atnike. Setelah pidato kunci dari Dr. Atnike Nova Sigiro, acara dilanjutkan dengan peluncuran JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia dengan memberikan JP 100 secara simbolik kepada stakeholders Jurnal Perempuan. Kemudian setelah itu acara dilanjutkan dengan diskusi JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia menghadirkan Dr. Titiek Kartika Hendrastiti (Dosen FISIP Univ. Bengkulu), Samsidar (Forum Pengada Layanan) dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai pembicara. Acara ini dihadiri oleh 200 peserta dari berbagai elemen, akademisi, pemangku kebijakan, mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Jurnal Perempuan kini juga telah tersedia secara digital di www.indonesianfeministjournal.org. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |