![]() Sebagai bagian dari peringatan Hari Perempuan Internasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan Tahun 2023 yang bertajuk “Momentum Perubahan: Peluang Penguatan Sistem Penyikapan di Tengah Peningkatan Kompleksitas Kekerasan terhadap Perempuan”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 7 Maret 2024 secara hybrid di Jakarta dan melalui Zoom dan YouTube Live pada pukul 09.00–13.00 WIB. Kegiatan ini dibuka oleh Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa Catahu telah digagas lebih dari 2 dekade, tepatnya dimulai 3 tahun semenjak Komnas Perempuan berdiri. Pedokumentasian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan penting untuk menjadi basis data dalam intervensi melalui pendekatan kebijakan dan budaya untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan (KtP). Catahu mengompilasi berbagai data laporan kasus KtP dalam skala nasional dari berbagai lembaga layanan berbasis masyarakat di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Catahu 2023 mencatat dinamika pengaduan kasus yang menurun dibandingkan tahun sebelumnya; dari yang sekitar 339.000-an kasus menjadi sekitar 289.000-an kasus. Namun, Catahu bukan sekadar rujukan naik turunnya angka KtP. Hal terpenting dari Catahu adalah untuk mengembangkan pengetahuan tentang KtP agar kita bisa menemukenali pola-polanya dan mendesak terciptanya infrastrukstur untuk pencegahan, perlindungan, penegakan dan pemulihan korban, dan rehabilitas pelaku. Upaya percepatan infrastruktur ini menjadi semakin mungkin karena sudah adanya payung hukum, yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Sebelum masuk ke sesi paparan, kegiatan ini menghadirkan Paduan Suara Dialita, yang merupakan kelompok yang didirikan oleh para perempuan penyintas peristiwa 1965. Kelompok paduan suara ini menjadi medium untuk ruang pemulihan sekaligus digunakan untuk menyampaikan pesan pada generasi selanjutnya untuk menyuarakan persahabatan, perdamaian, dan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Paduan suara ini menyanyikan dua buah lagu, yaitu Untuk Anakku dan Di Kaki Tangkuban Perahu. Kegiatan inti, yaitu sesi pemaparan Catahu 2023, dimoderatori oleh Sonya Hellen Sinombor, seorang jurnalis senior Indonesia. Sonya memoderatori empat orang Komisioner Komnas Perempuan, yaitu Bahrul Fuad, Maria Ulfah Anshor, Siti Aminah Tardi, dan Veryanto Sitohang, yang menyampaikan paparan isi dan analisis Catahu 2023. Bahrul Fuad merupakan pemapar pertama yang memberikan gambaran umum Catahu 2023. Ia menyebutkan bahwa tahun 2023 terjadi penurunan kasus yang terlapor, disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah situasi politik, di mana kita harus mengakui bahwa situasi ini berdampak terhadap laporan KtP, karena beberapa mitra di lapangan turut sibuk mempersiapkan tahun politik. Faktor kedua adalah minimnya infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang masih memiliki hambatan akses teknologi dan informasi. Faktor ketiga adalah sumber daya manusia yang kurang memadai, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Catahu 2023 juga mencatat KtP yang terjadi di tiga ranah, yakni ranah personal, ranah publik, dan ranah negara. Berdasarkan sumber pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan, dan Badan Peradilan Agama (Badilag), kekerasan di ranah personal merupakan kasus yang paling tinggi. Sementara itu, berdasarkan data pengaduan di Komnas Perempuan dan lembaga layanan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang paling tinggi (36%), diikuti kekerasan seksual dan kekerasan fisik (masing-masing 27%). Namun, Bahrul menekankan bahwa data KtP ini merupakan fenomena gunung es, dan bukan potret faktual dari realita. Paparan kedua disampaikan oleh Maria Ulfah Anshor, yang menjelaskan tentang jenis-jenis Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan yang menjadi perhatian khusus. Dalam paparannya, ada 7 isu yang perlu menjadi perhatian, yaitu isu KBG terhadap Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), KBG terhadap perempuan penyandang disabilitas, KBG terhadap perempuan dengan HIV/AIDS, KBG terhadap perempuan pembela HAM, KBG terhadap perempuan minoritas seksual, KBG terhadap perempuan pelaku TNI dan Polri, dan Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG). Maria menjelaskan bahwa KSBG meningkat secara signifikan di tahun-tahun pertama pandemi Covid-19. Meski ada penurunan di tahun 2023, trennya tetap tinggi dibandingkan masa sebelum pandemi. Sementara itu, PPMI juga perlu mendapatkan perhatian khusus karena beberapa faktor yang memengaruhi kerentanannya, salah satunya adalah prosedur keberangkatan PPMI, karena tidak semua PPMI bisa melakukan prosedur sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, ketika mengalami kekerasan, PPMI sulit untuk mengakses layanan hukum karena dianggap “undocumented” sehingga tidak mendapatkan layanan yang optimal. Siti Aminah Tardi menyampaikan terkait kompleksitas kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, publik, dan negara, dan menjelaskan pola dan cara kerja kekerasan di ketiga ranah tersebut. Di lingkup personal, ada beberapa pola yang ditemui, seperti kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan mantan suami, kekerasan dalam pacaran, kekerasan mantan pacar, dan kekerasan relasi personal lainnya. Dalam kekerasan terhadap istri, misalnya, Komnas Perempuan belum menemukan pola atau tren baru sejak tahun sebelumnya, yaitu perempuan dalam perkawinan tidak/belum tercatat lebih rentan mengalami kekerasan dan lebih rentan tidak terlindungi oleh UU Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Perempuan yang menikah di usia muda juga lebih rentan mengalami kekerasan dari suami dan keluarga besar suami. Sementara di ranah publik, awalnya kekerasan dalam ruang ini didefinisikan berdasarkan pelaku kekerasan. Namun, sejak Catahu 2022, identifikasi ini bergerak ke lokus (tempat terjadinya kekerasan), sehingga dikategorikan menjadi: kekerasan di dunia siber, kekerasan di wilayah tempat tinggal, kekerasan di tempat kerja di dalam dan luar negeri, kekerasan di tempat umum, kekerasan di tempat pendidikan, dan kekerasan di fasilitas medis. Di lingkungan pendidikan, misalnya, tahun ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberikan kontribusi data terkait bagaimana Kemendikbudristek merespons kasus-kasus kekerasan di lingkup pendidikan. Kasus yang masuk ke Komnas Perempuan juga menunjukkan relasi kuasa yang berlapis antara korban dan pelaku, baik antara anak dan guru/dewasa, perempuan dan laki-laki, dan relasi jabatan, pengetahuan, dan otoritas keilmuan dan keagamaan. Ranah terakhir adalah kekerasan di ranah negara. DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat merupakan provinsi-provinsi dengan jumlah pengaduan kekerasan tertinggi di ranah ini. Akan tetapi, provinsi-provinsi ini bukan berarti lebih buruk dibandingkan provinsi lainnya. Hal ini justru menandakan bahwa ketiga provinsi tersebut sudah menyediakan sistem layanan yang dipercaya oleh masyarakat untuk diakses. Data ini mendorong provinsi yang angkanya belum tampak untuk membuat sistem pengaduan. Adapun kekerasan terhadap perempuan di ranah negara melingkupi: pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan, kebijakan diskriminatif, konflik sumber daya alam dan tataruang, konflik kekerasan di daerah, perempuan berhadapan dengan hukum, dan penyiksaan. Paparan terakhir disampaikan oleh Veryanto Sitohang yang menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi dari Catahu 2023. Secara umum, ada penurunan 15% pada semua sumber data. Catahu 2023 juga mencatat karakteristik korban dan pelaku yang masih menunjukkan tren yang sama, yaitu korban lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada pelaku. Hal ini meneguhkan akar masalah KBG bersumber dari ketimpangan relasi kuasa. Catahu 2023 juga mencatat kekerasan di ranah personal masih menempati pengaduan yang dominan dari keseluruhan sumber data. Catahu 2023 juga mencatat 17 kali lipat peningkatan kasus dari tahun 2022 yang umumnya terjadi dalam relasi pacaran, seperti pemaksaan hubungan seksual, ingkar janji kawin, kehamilan tidak dikehendaki, dan pemaksaan aborsi. Sebagai penutup, Veryanto memberikan beberapa rekomendasi, baik untuk DPR, presiden, Kementerian/Lembaga, Mahkamah Agung, kepolisian, TNI, lembaga HAM, lembaga lainnya, masyarakat, dan juga media. Pada akhirnya, Catahu menjadi laporan yang paling ditunggu setiap tahunnya. Hal ini dikonfirmasi oleh salah satu penanggap, yaitu Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Lisa), Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Dalam tanggapannya, ia mencatat beberapa rekomendasi Catahu 2023 yang akan ia tindaklanjuti melalui Kemenko PMK, yaitu meningkatkan koordinasi untuk pencegahan dan penanganan KBG, memperkuat lembaga layanan di tingkat daerah, dan menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) PKDRT dan kebijakan nasional terkait Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP). (Fadilla D. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |