


Paparan selanjutnya dari Mies Grijns dari Univeristy Leiden. Ia pernah melakukan penelitian tentang pernikahan anak di Sukabumi dan telah dipublikasikan pada JP 88 Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan. Isu pernikahan anak menjadi sangat terkait dengan bagaimana pedagogi feminis penting untuk diperkenalkan sejak dini. Mies Grijns pada paparannya menyebutkan bahwa angka pernikahan anak di Indonesia—meski tidak setinggi di Afrika—namun sangat tinggi di Asia Pasifik. Akibat pernikahan anak korban kekerasan KDRT, korban kekerasan seksual, dan tidak mendapat akses pekerjaan. Sehingga pernikahan anak menjadi salah satu penyebab migrasi penduduk, rentan terhadap pelacuran dan menyumbang pada AKI di Indonesia. Sehingga kita perlu advokasi sistem sistemik. Uji materi UU Perkawinan 1974 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. LSM lokal, akademisi lokal perlu bersatu untuk mencegah pernikahan anak. Di Sukabumi meski bisa terjadi pernikahan bahkan di bawah umur 16 tahun, calon pengantin dinikahkan oleh amil dan tidak perlu ke KUA. Pernikahan anak merupakan persoalan besar Indonesia yang memiliki efek berantai pada pemiskinan perempuan. Sehingga pernikahan anak juga perlu dilihat dengan kajian interseksionalitas, dimana perempuan Indonesia memiliki multisiplitas persoalan budaya, agama, dan kebijakan. Diskusi pedagogi feminis ini kaya dengan berbagai sudut pandangan pembicara. Ketersinggungan antara perempuan dengan berbagai isu sosial di lingkungannya memperlihatkan kita bagaimana kompleksnya persoalan yang dihadapi perempuan dan perlunya kajian interseksionalitas dengan metodologi feminis. (Andi Misbahul Pratiwi)