Perempuan masyarakat adat mengalami berbagai beban berlapis. Selain menjadi anggota masyarakat adat yang secara formal sulit mengakses layanan kenegaraan, menjadi perempuan turut memperberat beban tersebut. Adanya kekerasan seksual dalam komunitas adat menjadi persoalan yang belum khusus menjadi perhatian penyusun kebijakan. Menanggapi masalah ini, KEMITRAAN melalui program INKLUSI menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) untuk menemukenali bentuk kekerasan seksual dan juga latar belakang situasi kekerasan berbasis gender yang terjadi di komunitas adat. Untuk membumikan temuan risetnya, KEMITRAAN menyelenggarakan diseminasi Kertas Kerja Ruang Keadilan bagi Perempuan Adat dari Kekerasan Seksual. Acara ini digelar secara tatap muka, bertempat di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada Kamis (11/5/2023) lalu. Diseminasi ini menggunakan format presentasi dan diskusi interaktif dengan peserta yang hadir.
Pembicara dalam kegiatan ini merupakan mereka yang terlibat dalam riset terkait, yaitu Widya Anggraini (KEMITRAAN), Dahniar Andriani (KEMITRAAN), Dr. Samuel Yansen Pongi, S.E. (Wakil Bupati Kabupaten Sigi), dan Eva Kusuma Sundari (Dewan Eksekutif KEMITRAAN). Sebagai pembuka, Eva Kusuma Sundari menuturkan kerentanan perempuan masyarakat adat akan kekerasan seksual. Lingkungan adat yang tertutup dan memiliki penyelesaian sendiri menyulitkan negara hadir dalam penanganan kekerasan seksual. Bahkan—Eva menuturkan—dalam beberapa kasus penyiksaan seksual, hanya dihukum sebagai kasus penganiayaan biasa. Bukan sebagai kekerasan seksual. Dalam sesi pemaparan kertas kerja, Widya Anggraini bersama rekannya memaparkan muatan inti dari Kertas Kerja. Kertas Kerja ini disusun dalam program Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi (ESTUNGKARA), sebuah program yang ditujukan bagi perempuan, perempuan adat, disabilitas, serta anak. Salah satu tujuan dari program ini adalah mewujudkan pemerintahan yang lebih inklusif di desa maupun kabupaten binaan. Selain itu, salah satu tujuan Kertas Kerja ini adalah mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Perhatian juga ditujukan pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang belum mencakup kekerasan pada masyarakat adat. Dengan kurang spesifiknya regulasi dalam UU yang ada, masyarakat adat jadi sulit mengakses layanan dasar dan formal terkait hal ini. Widya memaparkan, dalam risetnya ditemukan banyak bentuk kekerasan seksual pada perempuan adat yang kasusnya tidak ditangani secara berperspektif korban. Ajegnya aturan adat membuat regulasi formal sulit masuk ke dalam komunitas tersebut. Maraknya pernikahan anak, pemaksaan kontrasepsi suntik, tidak terungkapnya kekerasan seksual, memaksa pelaku dan korban kekerasan seksual damai, hingga pemberian sanksi terhadap korban kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang kerap ditemukan dalam komunitas adat. Selain itu, anggota masyarakat adat tidak terbiasa menyelesaikan perkara kekerasan menggunakan hukum formal. Sehingga sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan hanya bersifat untuk menjaga keharmonisan komunitas adat. Bukan untuk memberikan keadilan kepada korban. Memasuki sesi diskusi, pemaparan jadi lebih bersifat interaktif. Dahniar Andriani dari KEMITRAAN membuka sesi, dengan menekankan urgensi instrumen hukum yang dapat memfasilitasi keistimewaan tatanan masyarakat adat. Dalam paparannya, Dahniar beretorika, "Mengapa kita harus secara spesifik peduli pada kekerasan dalam masyarakat adat?". Menjawab retorikanya, Dahniar menjelaskan perbedaan hukum dan kearifan yang dianut komunitas masyarakat biasa dan masyarakat adat. Pola pikir dan bentuk hukum yang berbeda ini kemudian berdampak pada pola kekerasan yang sulit diubah oleh komunitas tersebut. "Akan ada normalisasi kekerasan," ujar Dahniar, menanggapi hukum adat yang mengutamakan harmonisasi masyarakat adat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Sebagai kelompok yang lebih rentan dalam tatanan masyarakat adat, perempuan akan semakin tertinggal dalam pemenuhan hak dasarnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip no one left behind. Bergeser ke pembicara selanjutnya, yaitu Dr. Samuel Yansen Pongi, selaku Wakil Bupati Sigi. Berdasarkan pengalamannya, ia melihat bahwa hukum adat dinilai lebih memberikan perlindungan pada masyarakat adat dibanding hukum formal. Masyarakat adat Sigi, contohnya, masih memilih penyelesaian masalah sesuai hukum adat. Hal ini yang membuat anggota masyarakat adat dan perangkat desa lebih memilih menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan hukum adat, alih-alih dengan hukum negara. Selain menjadi kearifan, hukum adat juga menjadi tantangan bagi penghapusan kekerasan seksual di lingkungan adat. Paparan disambung oleh Eva Kusuma Sundari dengan penegasan, "Kita tidak mungkin meninggalkan perempuan." Tentunya, hal ini harus dilakukan pula di masyarakat adat. Eva mengutip sebuah penelitian dari IAIN Tulungagung, yang menemukan bahwa aliran kepercayaan di era pasca-Reformasi menyusut dibanding pra-Reformasi. Menurut riset, aliran yang bertahan adalah aliran yang mampu memberikan ruang pada perempuan dan laki-laki secara setara. Dalam berbagai komunitas adat, diperlukan direvitalisasi perspektif, sehingga kedudukan perempuan dapat disetarakan. Tentunya, dalam proses ini, mereka yang dapat mengubahnya adalah anggota dari komunitas itu pula. Kita dapat menggunakan prinsip hak asasi manusia yang sudah tertanam dalam kearifan hukum adat, sehingga konsep-konsep yang digunakan tidaklah asing bagi mereka. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |