Persoalan kepemimpinan perempuan dalam Islam masih menjadi topik yang diperdebatkan, akan tetapi tidak ada satu pun konsep di dalam Alquran yang membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, artinya perempuan berhak menjadi pemimpin. Hal ini terdapat dalam ayat yang berbunyi: sesungguhnya Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin (Qs. Al-Baqarah: 30), dalam maknanya yang luas, seperti pemimpin pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga dan pemimpin untuk dirinya sendiri. Pernyataan ini diungkapkan Neng Dara Affiah, dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah, Banten saat memberikan kuliah di kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan Jurnal Perempuan (JP) pada Jumat (9/6) lalu di kantor JP. Lebih lanjut Neng Dara mengungkapkan bahwa di dalam Alquran juga terdapat ilustrasi mengenai figur perempuan bernama Ratu Balqis, sebagai simbol pemimpin perempuan yang dilukiskan memiliki kerajaan super-power (laha arsyun adhim) yang diuraikan tidak kurang dari dua surah (al-Naml dan al-Anbiya) yang mengisyaratkan dan sekaligus mengakui keberadaan perempuan sebagai pemimpin. Sementara di dalam Hadis disebutkan, “Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya” (Hadis Riwayat Ibn Abbas). Makna terpenting dari kepemimpinan adalah setiap manusia adalah pemimpin setidaknya bagi dirinya sendiri. Neng Dara mengungkapkan jika ada ayat Alquran yang oleh sebagian orang dijadikan argumentasi untuk menolak kepemimpinan perempuan seperti ayat: “Laki-laki adalah qowwamun dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan, karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka” (QS., 4:34), maka multiinterpretasi terdapat pada kata qawwam. Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai: penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Selain itu, tim Departemen Agama dalam Alquran dan Terjemahannya mengartikan kata qawwam hanya satu arti yakni laki-laki sebagai pemimpin. Sehingga terjadi reduksi mengingat kata qawwam memiliki makna yang banyak dan luas. Ini yang seringkali dijadikan dasar argumen oleh banyak pihak untuk menghalangi perempuan menjadi pemimpin. Neng Dara menjelaskan argumen superioritas laki-laki didasarkan pada pemahaman bahwa laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk mas kawin dan pembiayaan hidup keluarga sehari-hari. Argumentasi lainnya laki-laki umumnya dipandang memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan (al-aznl), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah) dan keberanian (al-furusiyyah wa al-ramy). Karena itu, dari kaum laki-laki ini lahir para nabi, ulama dan imam. Namun tafsir semacam ini sudah tidak bisa dipakai lagi karena didasarkan pada stereotip yang kebenarannya bisa dibantah. Lebih lanjut Neng Dara memaparkan sejumlah ahli tafsir berperspektif feminis berpendapat pemaknaan atas ayat di atas bersifat relatif dan tergantung pada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya. Seperti misalnya Fazlur-Rahman, salah satu intelektual muslim terbesar abad ke-20, yang menafsirkan bahwa “kelebihan” laki-laki tidak bersifat hakiki, melainkan fungsional. Artinya, jika seorang istri dibidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena usaha sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan laki-laki akan berkurang karena sebagai manusia ia tidak memiliki keunggulan atas perempuan. Pendapat senada diungkapkan Amina Wadud Muhsin yang menyatakan laki-laki qowwamun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis, sebab hal tersebut bersifat fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Alquran, yakni memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Begitu pula Asghar Ali Engineer yang berpendapat bahwa pernyataan tersebut bersifat kontekstual dan bukan normatif yang tidak mengikat bagi semua perempuan dan laki-laki pada semua zaman dan semua keadaan. Tafsir tersebut mungkin tepat pada masa itu karena nilai yang dianut masyarakat seperti itu, tetapi belum tentu tepat di zaman sekarang mengingat nilai dalam masyarakat juga berubah. Makna yang cukup netral terhadap kata qawwam adalah pencari nafkah, penopang ekonomi atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan. Hal ini mengingat ayat ini berhubungan dengan konteks ketika perempuan melaksanakan tugas kodratinya mengandung dan melahirkan sehingga tidak adil bila menambahkannya dengan beban mencari nafkah. Ketika si istri harus merawat kehamilannya dan mempersiapkan kelanjutan generasi manusia, maka suamilah yang harus menyediakan sarana pendukungnya Sementara itu, Asbabun-Nuzul atau konteks lahirnya ayat ini menurut Neng Dara adalah mengenai hubungan suami istri dan bukan dalam konteks kepemimpinan publik. Oleh karena itu, menghubungkan ayat ini untuk melarang perempuan menjadi pemimpin bertentangan dengan konsep dasar bahwa Tuhan menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi dan mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan mempergunakan akal yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, laki-laki dan perempuan. Selain itu, ayat ini turun dalam konteks kuatnya kecenderungan kekerasan domestik dalam rumah tangga pada masyarakat Arab pra Islam. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |