![]() Komnas Perempuan secara konsisten membangun memorialisasi dengan melibatkan berbagai unsur publik sebagai wadah bersama untuk merawat ingatan atas Tragedi Mei 98. Komnas Perempuan bekerja sama dengan komunitas korban pelanggaran HAM masa lalu, pendamping korban, dan masyarakat luas, termasuk melibatkan pendekatan intensif dengan pemerintah daerah di Medan, Solo, dan Surabaya. Komnas Perempuan mengingatkan dan mendorong upaya negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, baik secara yudisial maupun non-yudisial melalui serangkaian peringatan. Salah satunya adalah webinar bertajuk “Pelanggaran HAM Masa Lalu di Persimpangan Jalan” yang diselenggarakan Senin (13/5/2024) lalu. Kegiatan Peringatan Tragedi Mei 98 ini merupakan rangkaian yang diawali dengan tapak tilas reformasi dan tragedi pada tanggal 12 Mei, yang diselenggarakan di beberapa titik. Rangkaian kegiatan akan berakhir pada 14 Mei dengan presentasi terkait isu pelanggaran HAM.
Webinar ini dibuka oleh Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), dan diisi oleh Mochamad Choirul Anam (Komisioner Komnas Perempuan 2017-2022), Ita F. Nadia (Komisioner Komnas Perempuan 1998-2006), dan Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan). “Di tengah peristiwa tersebut kita juga menyimak gerakan solidaritas dari berbagai lintas kelompok masyarakat kita yang memilih untuk melakukan upaya untuk bangkit dan mendukung korban,” ujar Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan. “Hal ini harus terus diteguhkan untuk melanjutkan itikad, memastikan peristiwa serupa tidak lagi berulang lagi, serta mengupayakan pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, serta memutus impunitas,” lanjutnya dalam sambutan webinar. Sebagaimana yang telah diketahui, Presiden Joko Widodo mengungkapkan penyesalan dan mengakui dua belas kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kedua belas kasus tersebut adalah peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985; Tragedi Talangsari Lampung 1989; Tragedi Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989; penghilangan orang secara paksa pada rentang 1997-1998; dan Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998-1999; pembunuhan terduga dukun di Banyuwangi 1998-1999; Tragedi Simpang KKA Aceh 1999; Peristiwa Wasior Papua 2001-2002; Tragedi Wamena Papua 2003; dan Jambo Keupok Aceh tahun 2003. Tragedi-tragedi ini menorehkan catatan hitam atas upaya pemenuhan dan pelindungan HAM warga sipil di Indonesia. Choirul Anam memaparkan gagasan-gagasan dan penerapan dari Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Mekanisme Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat masih belum berjalan maksimal. Pemulihan hak korban harus dilakukan dalam kerangka HAM, dengan menggunakan instrumen HAM nasional dan internasional, dan melibatkan korban secara eksplisit. Upaya ini belum tampak dalam beberapa penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Choirul berharap agar Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) yang Berat dapat diperpanjang waktunya, termasuk untuk periode kepemimpinan presiden Indonesia berikutnya. Dengan ketersediaan waktu yang panjang, proses penyelesaian tersebut dapat dilakukan tanpa terburu-buru dan lebih banyak ruang untuk melakukan pendekatan kepada korban. “Dalam beberapa konteks kasus pelanggaran HAM berat, perempuan (korban) memikul dampak yang lebih besar seperti kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya yang membuat kondisi mereka menjadi lebih rentan. Oleh karena itu kesetaraan substantif diperlukan untuk memastikan agar pemulihan memiliki dampak yang tepat bagi korban,” ujar Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan. Mariana juga mengingatkan kembali peran sentral negara dalam memberikan ganti rugi atas pelanggaran HAM yang telah terjadi, baik kepada korban pelanggaran HAM maupun keluarganya. Salah satunya adalah perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa pada Tragedi 98. Dalam memberikan pemulihan pada korban, upaya negara perlu didasarkan pada pemahaman penuh tentang sifat gender, konsekuensi atas kerugian yang diderita, serta mempertimbangkan ketidaksetaraan gender yang ada pada masyarakat untuk memastikan mekanisme pemulihan tidak diskriminatif. Lebih jauh, pemulihan pada korban pelanggaran HAM juga harus memiliki dampak transformatif, menawarkan perlindungan berkelanjutan, serta melibatkan korban dalam penyelesaian masalah dengan penuh hormat. Pelibatan semua pihak secara luas, sistematis, dan terstruktur diperlukan untuk menentukan apa yang akan dilakukan negara untuk pemulihan korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, negara harus menunjukkan kesungguhan untuk melakukan pemulihan. Dalam proses pendokumentasian data korban, diharapkan tidak menimbulkan trauma berulang, mengingat proses hukum seringkali tidak dilakukan dengan berperspektif korban. Ini diperlukan untuk memastikan adanya perlindungan saksi dan korban guna memastikan jaminan keamanan bagi korban, utamanya bagi korban kekerasan seksual. Paparan berikutnya diberikan oleh Ita F. Nadia, Komisioner Komnas Perempuan 1998-2006 yang juga berperan penting dalam advokasi kasus perkosaan massal 98. “Sejarah itu penting,” buka Ita. Aktivis hak perempuan ini juga menekankan pentingnya menjaga dokumen-dokumen, arsip-arsip gerakan perempuan, dan suara-suara perempuan untuk disatukan menjadi bahan perjuangan untuk lima tahun kedepan. “Sejarah adalah memori dan jati diri untuk menentukan identitas siapa kita, karena jika berbicara soal kekerasan seksual atau tentang peristiwa pelanggaran HAM berat tanpa melihat sejarah, hal itu sama saja kosong,” sambung Ita. Dalam gerakan perempuan, sejarah jadi pembelajaran untuk menjadi pijakan untuk melihat perkembangan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Sejarah juga menjadi tolok ukur dalam membangun gerakan. “Kekerasan terhadap perempuan bukan masalah sosial tetapi masalah politik,” ujar Ita. Ita juga menyampaikan, memperingati Tragedi Mei 98 ialah memperingati tentang tubuh, seksualitas, dan memori sebagai arsip perjuangan. Bahrul Fuad selaku Komisioner Komnas Perempuan menutup sesi materi dengan menjabarkan kondisi perempuan penyintas pelanggaran HAM kini. “Sosialisasi atas pelaksanaan pelbagai program pemerintah dalam memberikan restitusi kepada korban dan keluarga korban sangatlah penting. Misalnya bantuan untuk mengakses layanan kesehatan,” tuturnya. Sebagian korban masih mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak mengetahui program bantuan “khusus” tersebut. Hal ini menghambat proses pemulihan bagi korban dan keluarganya. Pada peringatan Tragedi Mei 98 tahun ini, Komnas Perempuan mengadakan berbagai acara, salah satunya adalah Napak Reformasi, yang merupakan kegiatan kunjungan pada lokasi-lokasi yang terkait dengan Tragedi Mei 98 di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2024. Dilanjutkan dengan Seminar dan Konsolidasi Nasional, yang dihadiri oleh komunitas korban, pendamping korban, komunitas penggiat sejarah, anak muda, pemerintah daerah, dan media. Di wilayah seperti Kota Solo, mitra Komnas Perempuan juga mengadakan acara serupa untuk mendukung hak korban atas pemulihan, perlindungan, dan jaminan ketidakberulangan atas tragedi pelanggaran HAM berat tersebut. (Merlinda Santina Ximenes) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |