Tragedi kekerasan pada bulan Mei 1998 dikenang sebagai peristiwa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal 12-15 Mei 1998 terjadi rentetan peristiwa kekerasan di berbagai wilayah yang memiliki dampak luar biasa besar, baik karena keluasan peristiwanya maupun banyaknya jumlah korban. Terdapat 2 (dua) penyelidikan penting dalam peristiwa tersebut yaitu; laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan laporan penyelidikan Komnas HAM.
Dalam laporannya, TGPF menyatakan dua hal penting terkait fakta kekerasan dan kerusuhan, dan korban. Pertama, bahwa secara makro peristiwa kekerasan yang beruntun dan berpola tersebut merupakan pertemuan dua titik pertarungan elit politik yang berujung pada pergantian kepemimpinan dan perburukan kondisi ekonomi. Secara khusus, di tingkat mikro, laporan TGPF menegaskan terdapatnya kesamaan, kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan di 6 titik yang menjadi fokus kerja TGPF. Laporan tersebut juga menegaskan fakta bahwa seluruh rangakain kekerasan dan kerusuhan tersebut disengaja dan melibatkan berbagai pihak baik organisasi massa, preman lokal, maupun sejumlah anggota dan unsur aparat keamanan. Kedua, laporan tersebut menegaskan adanya korban yang meski jumlahnya secara rinci sulit dipastikan, tapi sebagian besar rakyat terbakar, dan korban kekerasan seksual termasuk perkosaan, serta mahasiswa yang mengalami penembakan. Berdasarkan pembacaan tersebut, TGPF kemudian merekomendasikan adanya pertanggungjawaban peristiwa ini, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu, (1) Pertanggungjawaban hukum, mencakup melakukan investigasi atas keterlibatan sejumlah pihak yang diduga terlibat sebagai pelaku dalam peristiwa tersebut; serta penindakan kasus kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan pengungkapan yuridis atas mereka yang diduga terlibat; (2) perubahan kebijakan, mencakup pembentukan LPSK, dan reformasi Intelijen Negara melalui pembentukan UU Intelijen Negara yang demokratis dan melindungi HAM; (3) pemulihan dan kompensasi bagi korban. Komnas HAM demikian juga, di dalam penyelidikannya menyatakan terjadi dugaan pelanggaran HAM yang berat dan merekomendasikan adanya Pengadilan HAM ad hoc. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan pihak-pihak yang diduga harus bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan Mei 1998. Komnas HAM juga telah menyerahkan seluruh Laporan Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 kepada Jaksa Agung. Kini, setelah 20 tahun berlalu, pertanggungjawaban atas tragedi tersebut masih belum juga terwujud. Rekomendasi yang penting belum berhasil diwujudkan; pertama; tentang akuntabilitas atau pertanggungjawaban hukum atas pihak-pihak yang paling bertanggung jawab belum berhasil diwujudkan. Kedua, rekomendasi penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab, serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut juga belum terealisasi. Ketiga, rehabilitasi dan kompensasi bagi semua korban dan keluarga kerusuhan, yang hingga kini belum ada rehabilitasi dan kompensasi kepada para korban. Sejumlah rekomendasi terkait perubahan kebijakan memang telah dilaksanankan diantaranya terwujudnya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang melahirkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai mekanisme untuk jaminan keamanan bagi saksi dan korban (diperbarui lagi dengan UU No. 31 Tahun 2014); dan adanya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial. Namun demikian, ada pelipur lara bagi keluarga korban kerusuhan Mei 1998, yakni dengan dibangunnya memorialisasi berupa monumen dan prasasti "Jarum Mei" di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah diresmikan pada tahun 2015. Pembangunan memorialisasi peristiwa Mei 1998 merupakan langkah positif dalam upaya memberikan pengingat dan pembelajaran publik agar peristiwa atau tragedi serupa tidak terjadi lagi di masa depan sehingga tidak ada lagi anak-anak negeri yang menjadi korban pelanggaran HAM. Pada peringatan tragedi kekerasan Mei 1998 yang ke-20 tahun kali ini, kami (masyarakat sipil dan keluarga korban) mengingatkan kepada Negara dari semua unsur Eksekutif, Legislatif, dan Judikatif untuk: 1 Mengungkap seterang-terangnya atas kebenaran peristiwa yang telah mengorbankan anak bangsa pada tragedi berdarah kekerasan Mei 1998 sebagai hak atas kebenaran bagi keluarga korban dan seluruh warga negara; serta memenuhi hak atas keadilan dan pemulihan bagi keluarga korban tersebut; 2. Menjadikan tragedi berdarah Mei 1998 sebagai penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia dengan adanya reformasi politik dari sistem otoritarianisme Orde Baru. Jangan sampai perjuangan demokrasi yang telah memakan nyawa anak negeri dimundurkan lagi dengan pengekangan hak atas kebebasan konstitusi warga negara, seperti hak berorganisasi, berekspresi, dan jaminan perlindungan bagi para kelaurga korban pelanggaran HAM berat masa lalu serta para pembela HAM dalam memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya; 3. Menjadikan memorialisasi seperti yang telah dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam mengenang peristiwa kekerasan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, agar dilakukan juga terhadap situs atau tempat-tempat pelanggaran HAM di seluruh Indonesia sebagai pengingat bagi bangsa Indonesia agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa depan. Kami ingin negara dan bangsa Indonesia menjadi beradab dengan menghormati, melindungi, dan memenuhi HAK seluruh warga negara. Para korban yang justru dipersalahkan oleh Negara agar dipulihkan nama baiknya. Dengan demikian, para korban pelanggaran HAM dapat dihormati martabatnya. Siaran Pers Panitia Bersama Peringatan #20thReformasi #TragediMei1998 (Komnas Perempuan, IKOHI, KontraS, Lbh Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, Yayasan Kalyanamitra, PINTI, Paguyuban Mei 98-FKM) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |