Meningkatkan Aksesibilitas Hukum bagi Kelompok Rentan lewat Aplikasi Lawhub dan Dokumenhukum4/3/2022
Aksesibilitas terhadap keadilan menjadi kebutuhan penting bagi warga negara. Terlebih bagi kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, difabel, dan golongan masyarakat marjinal lainnya yang cukup sulit menjangkau penyedia jasa hukum. Merespons hal ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bersama Berdaya Bareng meluncurkan dua aplikasi nonprofit berbasis website untuk membantu warga yang mencari keadilan. Aplikasi tersebut yaitu Lawhub.id (http://lawhub.id) untuk mencari layanan bantuan hukum yang tersedia dan Dokumenhukum.id (http://dokumenhukum.id) untuk menyusun dokumen terkait hukum. Program ini turut didukung oleh UK Aid dari pemerintah Inggris. Peluncuran tersebut dilakukan pada Kamis (24/02/2022) melalui platform Zoom Meeting dan YouTube. Peluncuran ini juga diisi oleh paparan materi dari beberapa pegiat hukum, yaitu Zakia (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan), Uli Pangaribuan (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan [LBH APIK]), Patra M. Zen (Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia [Peradi SAI]), Ibrahim (Kongres Advokat Indonesia), dan Irianto Subiakto (Perhimpunan Advokat Indonesia-Rumah Bersama Advokat [Peradi RBA]), dimoderatori oleh Riesta Aldillah (ICJR).
Chris Agass (Kedutaan Besar Inggris) memberikan pidato pembuka. Selaku perwakilan dari UK Aid, ia mendukung penuh pembuatan aplikasi Lawhub, guna memastikan keterbukaan akses teknologi yang inklusif bagi masyarakat. Menurutnya, aplikasi Lawhub dan Dokumenhukum dapat meningkatkan aksesibilitas hukum pada platform digital utamanya bagi kelompok rentan. Menyambung pembuka dari Chris Agass, Erasmus Napitupulu (ICJR) menjelaskan latar belakang pembuatan Lawhub. Banyaknya pencari keadilan di Indonesia yang tidak tahu harus mencari bantuan hukum ke mana menjadi motif ICJR dalam merumuskan Lawhub dan Dokumenhukum. Sesi paparan dibuka oleh Zakia. Berdasarkan pengalamannya sebagai advokat khusus difabel, banyak sekali difabel yang belum memiliki pengetahuan memadai mengenai hukum karena sulitnya akses. Sebagai contoh, terdapat banyak kasus difabel mengalami kekerasan seksual, tetapi mereka tidak melaporkan hal tersebut pada pihak berwajib. Sebab, mereka tidak tahu bahwa kekerasan yang mereka terima merupakan pelanggaran pidana. Ia juga menjelaskan kesulitan LBH dalam menjangkau kelompok difabel. Lagi-lagi, keterbatasan akses menjadi penghalang untuk menyebarluaskan informasi bantuan hukum pro bono pada pencari keadilan. Uli Pangaribuan menuturkan hal serupa. Berdasarkan data LBH APIK, dari November 2020—2021, terdapat 1.321 pengaduan masuk ke LBH APIK Jakarta. Selama pandemi, mayoritas kasus adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), poligami, dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Uli menjelaskan, pandemi menyulitkan pemberian bantuan hukum. Selain karena terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi, terbatasnya layanan tatap muka atau luar jaringan (luring) juga semakin menyulitkan pencari keadilan dan penyedia layanan bertemu. Tidak adanya kanal pelaporan daring di tingkat kepolisian turut menambah kesulitan korban dan pendampingnya. Karena itu, adanya layanan seperti Lawhub dapat meningkatkan aksesibilitas bagi korban. Patra M. Zen memberikan pandangan kritis terkait Lawhub. Menurutnya, aksesibilitas tidak bisa hadir secara independen, dibutuhkan availability (ketersediaan) untuk memastikan korban dapat dibantu oleh tenaga hukum andal. Ketersediaan pemberi jasa hukum dan advokat sangat penting. Pasalnya, banyak sekali kasus dimana korban tidak bisa ditangani karena pemberi jasa hukum kekurangan tenaga untuk mengadvokasi korban. Secara keseluruhan, Patra mengapresiasi adanya inisiatif program ini sebagai bentuk perluasan bantuan hukum di Indonesia. Selanjutnya, Ibrahim memberikan materi terkait pendampingan hukum yang berkualitas bagi kelompok rentan. Kelompok rentan yang dimaksudnya adalah perempuan, anak, dan difabel. Ibrahim meyakini perkembangan teknologi dapat menyediakan layanan yang lebih murah, cepat, dan dekat dengan pencari keadilan. Akan tetapi, masalah finansial tetap menjadi masalah yang dapat mengganjal kelangsungan program. Ia menekankan tugas bagi penyedia bantuan hukum sekarang adalah memastikan kualitas layanannya, meskipun layanan yang disediakan berbentuk nonprofit. Irianto Subiakto juga menegaskan pentingnya menjaga kualitas lembaga dan advokat yang terdapat di Lawhub. Adanya Lawhub sendiri secara tak langsung mengasumsikan tersedianya layanan yang kredibel dan berintegritas. Oleh karena itu, perlu ada jaminan untuk membuktikan kebenaran asumsi tersebut. Irianto juga memberi masukan untuk merincikan spesialisasi lembaga dan advokat dalam Lawhub. Tujuannya untuk memudahkan pencari keadilan dalam menemukan layanan yang paling tepat baginya. Idealnya, bantuan hukum dapat diakses oleh setiap warga negara. Akan tetapi, pada kenyataannya akses terhadap bantuan hukum masih sulit didapatkan oleh kelompok-kelompok rentan dan marjinal. Pandemi turut menyulitkan pencari keadilan mendapatkan bantuan hukum yang kredibel. Adanya kanal dalam jaringan (daring) seperti Lawhub dan Dokumenhukum menjadi terobosan bagi peningkatan aksesibilitas hukum pada masyarakat. Atas hal itu, menjaga ketersediaan bantuan hukum menjadi tugas selanjutnya yang harus dikawal bersama oleh lembaga dan advokat. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |