Kekerasan terhadap perempuan serta gender minoritas lainnya seringkali luput dari pemberitaan yang berkeadilan. Narasi-narasi media yang tidak melibatkan perspektif gender menempatkan korban pada posisi yang lebih rentan. Membahas hal tersebut, Yayasan Care Peduli beserta The United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Ubah Narasi: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan” pada Kamis (25/11) lalu. Diskusi publik ini disiarkan secara virtual melalui telekonferensi Zoom serta YouTube. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, membuka diskusi dengan pidato kunci. Ia menekankan pandemi sebagai suatu kondisi yang membawa tantangan, terutama bagi perempuan. Pandemi memperburuk ketimpangan gender, karena berdampak pada krisis ekonomi dan sosial, sehingga meningkatkan kekerasan pada perempuan. Data Simfoni milik Kementerian PPPA menunjukkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan; terdapat 14.971 kekerasan pada perempuan dewasa, dengan korban sebanyak 15.125 orang. Dalam hal ini, media berperan di wilayah promotif dan preventif guna menurunkan kekerasan terhadap perempuan. “Saya mendorong para pelaku media untuk tidak melakukan seksualisasi, tidak melakukan stereotyping, dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual dalam konten-konten yang dipublikasikan,” ujarnya.
Memasuki materi inti, Veryanto Sitohang (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan—Komnas Perempuan) memberikan paparan pertama. Masih seputar pandemi, ia menyoroti angka Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) menjadi momok bagi perempuan. Penegakan hukum terhadap kasus KBGS pun belum berjalan dengan maksimal. Atas hal tersebut, Komnas Perempuan rutin bekerja sama dengan media, guna menyambung suara perempuan korban. Diperlukan pula pemerataan peran gender dalam industri media untuk membangun media yang setara. “Misalnya perempuan menjadi pemimpin redaksi. Perempuan menjadi pemimpin-pemimpin di perusahaan-perusahaan media. Saya pikir ini menjadi penting, supaya harapannya kebijakan-kebijakan atau berita-berita yang dinaikan di media itu berpihak pada perempuan. Saya pikir ini menjadi tantangan kita,” terangnya. Sebagai pekerja kreatif di bidang produksi film, produser film Lola Amaria, menekankan perlunya ruang aman pada industri hiburan dan media—dalam hal ini, industri perfilman. Ia menekankan seluruh pihak bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi selama proses produksi, termasuk kenyamanan dari awak film. “Misalnya, ketika salah satu kru film merangkul atau dengan (memberi—red) ejekan-ejekan, itu (dianggap—red) hal-hal biasa. Kita semua nggak tahu parameternya itu sejauh mana. Buat mereka (pelaku—red) itu hal yang biasa, tapi buat beberapa perempuan itu hal yang tidak biasa. Dan itu yang harus digarisbawahi, sejauh mana mereka bisa bersikap,” tukas Lola. Atas hal tersebut, menjadi penting untuk menyediakan ruang aman dan nyaman bagi siapapun dalam industri kreatif. Selanjutnya, Devi Asmarani memberikan pandangannya akan keadaan media arus utama sekarang. Sebagai Pemimpin Redaksi Magdalene.co, ia menilai media dalam jaringan (daring) saat ini banyak menunjukkan seksisme dalam pemberitaannya. Dalam pemberitaan, kerap kali perempuan dilihat dari representasi fisiknya semata. Pemberian judul yang menonjolkan status perkawinan perempuan dan kenampakan fisiknya, seperti “Janda Ini” atau “Jasad Wanita Bertubuh Seksi” menjadi bukti. Perspektif seperti ini menimbulkan budaya perkosaan dan seksisme yang mengakar pada perempuan. “Perempuan, ketika sudah meninggal pun dan meninggal dalam kondisi yang sangat tragis sebagai korban kekerasan, masih dilihat ketubuhannya. Ini masalah yang menurut saya sangat penting,” ujar Devi. Pembicara terakhir, Cresti Eka Fitriana selaku National Project Officer Communication and Information dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Jakarta, kembali menekankan pentingnya peran media untuk mengarusutamakan kasus ketidakadilan gender. UNESCO sendiri telah membuat buku panduan peliputan ramah gender pada tahun 2019. Di dalamnya, terdapat panduan yang dapat digunakan oleh jurnalis dalam melakukan pelaporan kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini, Cresti menekankan pentingnya kontribusi jurnalis, untuk menggunakan sudut pandang yang pro pada korban. Diskusi publik yang berlangsung selama hampir tiga jam ini memberi banyak masukan, terutama bagi para awak media, mengenai perannya sebagai penggaung suara korban. Media tidak pernah—dan tidak seharusnya—bersikap netral, terutama dalam mengangkat kasus kekerasan berbasis gender. Sehingga, suara korban dapat menjadi narasi dominan untuk mendapatkan keadilan bagi korban. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |