Dalam diskusi mengenai kepentingan publik, kerap kali penyelenggara tidak menghadirkan pemateri yang representatif. Dengan alasan-alasan seperti kurangnya sumber daya, keterbatasan waktu, hingga berhalangannya calon pembicara non laki-laki, diskusi kerap berakhir menjadi all men panels. All men panels merupakan istilah populer untuk menggambarkan kondisi panel diskusi yang semua pematerinya adalah laki-laki. Lebih rinci, all men panels seringkali diisi oleh laki-laki cis-hetero. Membahas tema menarik ini, Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia (Komafil UI), menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Pentingnya Representasi Perempuan dan Kelompok Marjinal di Ruang Publik dalam Upaya Perubahan Transformatif Menuju Keadilan dan Kesetaraan” melalui telekonferensi Zoom dan Youtube. Hadir sebagai pembicara, yaitu Hartoyo (aktivis LGBTQ+), Amira Ruzuar (alumni Filsafat UI dan Badan Pekerja Komnas Perempuan), Retno Daru Dewi G.S.Putri (alumni Pascasarjana S2 Filsafat UI dan Redaksi Jurnal Perempuan), dan dipandu Chrisyanto Wibisono (mahasiswa S1 Filsafat UI) sebagai moderator.
Amira membuka diskusi dengan menunjukkan terbatasnya representasi perempuan dan kelompok marjinal di muka publik. Pada karya-karya populer, perempuan juga direpresentasikan melenceng dan kemudian menjadi konsep yang universal (dipahami sebagai kebenaran oleh banyak orang). Hal tersebut menambah beban penindasan gender dan penghakiman pada perempuan. Amira juga menekankan pentingnya representasi—yaitu guna melengkapkan penggambaran dan penceritaan pengalaman kelompok marjinal. Amira mengajukan filsafat sebagai penggugat yang universal untuk meruntuhkan hegemoni absolut, termasuk hegemoni patriarki. Materi lalu dilanjutkan oleh Hartoyo. Aktivis LGBTQ+ ini menyampaikan, menggugat bahwa manusia tidak hanya laki-laki cis-hetero saja merupakan suatu langkah awal untuk melakukan penyetaraan gender. Langkah selanjutnya adalah memberikan dan menjamin hak untuk bicara pada perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Hartoyo menyatakan marjinalisasi sebagai masalah interseksional yang mencakup jenis kelamin, ekspresi gender, orientasi seksual, ras, agama, tingkat pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Salah satu dampak dari marjinalisasi yang mengancam hak dasar adalah sulitnya pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi transgender. “Dalam situasi politik kita (dimana—red) isu seksualitas sering dipolitisasi, gerakan KTP (bagi transgender—red) ini harus kita ‘rebut’!” ujar Hartoyo. Retno Daru menjabarkan bagaimana perjuangan feminisme sangat terkait dengan perjuangan menghadirkan ruang inklusif. Kesetaraan di ruang publik dapat kita lihat dari toilet, seperti kesamaan jumlah bilik di toilet perempuan dengan urinoir laki-laki dan ketersediaan toilet khusus disabilitas. Kurangnya fasilitas publik yang inklusif dapat disebabkan oleh pengembang yang tak mendengar suara kelompok marjinal. Hal itu membuat penyedia fasilitas hanya mengedepankan fasilitas yang universal. Padahal, setiap orang berhak menikmati fasilitas publik dengan nyaman dan aman. Demikian, representasi perempuan dan kelompok marjinal di forum-forum publik menjadi sangat penting. “Kita butuh memajukan perempuan dan kelompok marjinal ke ruang publik untuk memengaruhi pengambilan kebijakan,” jelas Daru. Menanggapi fenomena soal kolotnya pandangan generasi tua terhadap heteronormativitas gender—yang banyak mengungkung perempuan pada masalah domestifikasi—Amira menyarankan upaya remedy atau pengobatan luka penindasan yang dialami perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Amira meminjam kutipan Lola Olufemi, yang berbunyi: tugas feminis adalah untuk mengobati (to remedy) konsekuensi dari penindasan gender. “Bagaimana caranya kita utk mengobati luka itu, meringankan luka itu, agar tidak ada siapapun yang menderita hanya untuk menjalani norma-norma masyarakat,” jelas Amira. Strategi ini memberi dampak pada kelompok yang memiliki luka, juga menggugah empati dari khalayak luas. Hal menarik lainnya, berdasarkan wacana yang dibawa oleh Daru soal ketidaksetaraan dalam fasilitas publik, muncul diskursus soal menghadirkan toilet yang inklusif. Toilet uniseks merupakan salah satu terobosan yang dapat dilakukan oleh pengembang guna mendukung inklusivitas, terutama bagi kelompok transgender yang terkadang kesulitan mengakses toilet yang sesuai dengan ekspresi gendernya. Tentunya, hal ini dapat dihadirkan lewat representasi kelompok yang berimbang di muka publik. Sehingga aspirasi dari setiap kelompok dapat diwadahi. Sebagai penutup, Hartoyo menyampaikan pesannya, agar kita berani menyuarakan pengalaman hidupnya ke muka publik. “Tak perlu takut untuk menyuarakan kebenaran, terutama (mengenai—red) pengalaman hidup kita. Itulah terhormat-hormatnya manusia, ketika berani bicara tentang pengalaman hidupnya untuk kebenaran,” ujar Hartoyo. Upaya-upaya menghadirkan representasi yang berimbang dalam diskusi publik tampak seperti upaya yang sederhana, tapi pada praktiknya kerap luput dari perhatian. Perlu diingat bahwa menghadirkan representasi yang berimbang tidak dapat dijadikan token—atau tempelan—semata. Harus ada kesadaran untuk menyeratakan perspektif gender dan kelompok marjinal di muka publik, demi terbentuknya keadilan yang transformatif dan inklusif. (Nada Salsabila). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |