Banyak sekali tokoh perempuan Indonesia yang berkontribusi pada negara. Namun, namanya tidak diingat selayaknya tokoh pejuang laki-laki. Kurangnya kepekaan dan simpati terhadap kontribusi tokoh perempuan semakin mengubur keberadaan mereka. Salah satunya adalah Maria Ulfa Subadio, perempuan asal Banten yang karya dan jasanya sangat penting. Beliau adalah perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum dan menjadi menteri, menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Selama tahun keaktifannya, ia dikenal gencar memperjuangkan hak perempuan dalam mengakses hukum. Membahas Maria secara lebih dalam, Komunitas Relawan TurunTangan Jakarta menggelar diskusi Polittalks berjudul “Refleksi Pemikiran Maria Ulfah Subadio dalam Memperjuangkan Hak-hak Perempuan”. Polittalks dilaksanakan pada Sabtu, 16 Juli 2022 lalu. Diskusi ini diselenggarakan secara tatap muka di Rumah Relawan TurunTangan Jakarta dan juga disiarkan secara virtual melalui Instagram @turuntangan. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Retno Daru Dewi G.S. Putri (Redaksi Yayasan Jurnal Perempuan) dan Nur Janti (jurnalis dan penulis), dipandu Siti Wahyatun sebagai moderator.
Retno Daru Dewi G.S. Putri yang akrab disapa Daru membuka materi dengan mengenalkan profil dan kontribusi Maria Ulfah. Selain menjadi sarjana hukum dan menteri perempuan pertama di Indonesia, aktivisme Maria Ulfah juga dibuktikan oleh usahanya memberantas buta huruf di kalangan perempuan sebagai guru. Kepakarannya dalam bidang hukum membuat Maria Ulfah menaruh perhatian khusus pada isu perempuan dan hukum. Beliau melihat bahwa perempuan Indonesia kurang terfasilitasi dalam hukum, seperti pada pernikahan dan perceraian. Perempuan pada masa itu kesulitan mengakses hukum terkait, karena adanya keberpihakan hukum terhadap laki-laki. Sebagai perpanjangan dari perhatiannya akan isu perempuan dalam hukum, Maria Ulfah mencetuskan Pasal 27 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengenai kesetaraan masyarakat. Sebagai anggota BPUPKI, ia menekankan pentingnya kesetaraan hukum bagi seluruh masyarakat—laki-laki maupun perempuan. Daru juga menjelaskan keikutsertaan Maria dalam Kongres Perempuan Indonesia. Sayangnya, Orde Baru mensimplifikasi hari Kongres Perempuan Indonesia menjadi Hari Ibu semata. Daru mempersoalkan simplifikasi tersebut. Gejolak politik di Orde Baru berusaha mendomestifikasi perempuan—menjauhkan perempuan dari ruang publik dan politik. Bentuknya adalah ibuisme negara, yaitu ketika perempuan disubordinasi hanya sebagai ‘pembangun keluarga’ maupun ‘pendukung suami’. Bukan sebagai individu yang memiliki agensi dalam bernegara. Atas simplifikasi Hari Ibu juga, adanya Kongres Perempuan Indonesia jadi terlupakan. Daru juga memaparkan banyaknya tokoh perempuan di Indonesia yang jauh dari sorotan. Tokoh perempuan yang memiliki hari khusus hanyalah Raden Ajeng Kartini. Tokoh lain yang cukup dikenal adalah Dewi Sartika. Keduanya merupakan perempuan dengan darah ningrat. Tokoh lain yang tidak memiliki identitas ningrat, sepert Siti Rohana, jarang terdengar. Meskipun hal ini tidak menisbikan pergerakan dari tokoh yang dikenal, adanya favoritisme terhadap tokoh ningrat tetaplah disayangkan. Maria sendiri merupakan tokoh dari kalangan ningrat yang berprivilese. Demikian, ia memanfaatkan privilesenya untuk bersekolah dan berjuang demi hak-hak perempuan. Daru berpesan, hendaknya kita juga melakukan hal yang sama dengan privilese yang kita miliki. Beranjak ke masa kini, Daru menyoroti dua pelanggaran hukum yang kerap menjegal perempuan: Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan kekerasan seksual. Kedua bentuk kekerasan ini sering terjadi pada kelompok marjinal. Nilai dan norma patriarki dalam masyarakat telah mengakar secara struktural dan kultural. Hal ini membuat banyak perempuan kesulitan mengakses keadilan lewat hukum. Akan ada banyak sekali rintangan dalam memperjuangkan kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti reviktimisasi, stigmatisasi, ketidakpercayaan, hingga kriminalisasi terhadap korban. Melihat hal tersebut, Daru berpendapat bahwa pemikiran dan perjuangan Maria Ulfah harus dilakukan dengan mendekonstruksi pemikiran masyarakat yang masih patriarkis. Terutama dalam memperjuangkan hak dan keadilan bagi perempuan Indonesia. Demikian, hal ini dapat menyetarakan kedudukan semua masyarakat di mata hukum, sesuai amanat Pasal 27 UUD 1945 hasil perjuangan Maria Ulfah. Nur Janti melengkapi paparan Daru soal Maria Ulfah. Berdasarkan penuturannya, ditegaskan bahwa karier Maria Ulfah didukung oleh latar belakang keluarganya yang berprivilese. Misalnya, paman Maria Ulfah adalah murid Snouck Hurgronje. Maria Ulfah memilih studi hukum sebab pengalamannya melihat perceraian bibinya. Setelah bercerai, hidup bibinya menjadi sulit, dengan absennya hak yang terpenuhi. Hal ini semakin diperparah oleh tiadanya sistem pencatatan pernikahan di masa lampau. Hal tersebut meniadakan perlindungan hukum yang dapat mengamankan posisi perempuan dalam pernikahan. Selain itu, Nur Janti juga melengkapi penjelasan Daru soal Kongres Perempuan Indonesia. Pada Kongres Pertama, isu poligami sebenarnya sudah ada, tapi terpecah ke dalam dua pandangan: 1) bahwa poligami adalah aturan agama, dan 2) bahwa agama tidak seharusnya dijadikan pembenaran poligami. Maria Ulfah berperan menengahi perdebatan dua kelompok tersebut. Sebagai refleksi, Nur Janti mengingatkan audiens akan peran Maria Ulfah dalam perumusan UUD 1945. Kerasnya perjuangan Maria Ulfah dalam mencetuskan kesetaraan bagi semua warga negara adalah capaian yang penting bagi Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak perempuan di Indonesia. Adanya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengancam hal tersebut. Hal ini sebab RKUHP membahayakan hak ketubuhan dan hak seksualitas perempuan. Demikian, dengan semangat perjuangan kesetaraan Maria Ulfah, hendaknya RKUHP ditolak dan dibatalkan. Peran perempuan dalam membangun negara ini sangatlah besar. Perempuan menopang berbagai sektor penting, tapi jasanya kerap kali disimplifikasikan. Sama halnya dengan simplifikasi terhadap Kongres Perempuan Indonesia, dimana Maria Ulfah berjasa menyelenggarakannya. Semangat Maria Ulfah dalam memperjuangkan hak perempuan dalam hukum harus terus dilestarikan oleh seluruh perempuan dan laki-laki di Indonesia. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |