Pada tanggal 22 Maret 2024 pukul 13.00—15.00 WIB, ICT Watch menyelenggarakan sebuah kegiatan yang berjudul “Webinar PERMATA: Menyuarakan Peran dan Hak Perempuan di Ruang Digital”. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui Zoom dan merupakan bagian dari peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada setiap bulan Maret. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 180 peserta dan menghadirkan berbagai pakar dari berbagai bidang, termasuk bidang teknologi, hukum, kesetaraan gender, dan juga hak asasi manusia. Kegiatan ini dibuka oleh Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Dalam sambutannya, Eni menyampaikan beberapa data penting terkait perempuan, ruang digital, dan teknologi. Menurutnya, kesenjangan gender di ruang digital masih terjadi. Perempuan masih dipinggirkan dalam berbagai pengambilan keputusan, peluang ekonomi, dan masih mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Eni mengutip Global Gender Gap Index tahun 2023 dari World Economic Forum, bahwa Indonesia menempati posisi ke-87 terkait kesenjangan gender dari 146 negara yang disurvey. Laporan yang sama juga mengatakan bahwa masih dibutuhkan 131 tahun untuk mencapai kesetaraan gender di seluruh dunia. Eni menekankan bahwa sinergi dan kolaborasi untuk menutup kesenjangan gender dan pemenuhan hak perempuan penting untuk dilakukan. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya menyiapkan perempuan dengan kemampuan dan pengetahuan untuk memanfaatkan ruang digital, baik secara finansial maupun personal. Sebelum masuk ke sesi talkshow, Ida Ayu Prasasti (Sasti) selaku Direktur Program ICT Watch menyampaikan data-data pemantik diskusi. Sasti mengemukakan beberapa permasalahan terkait perempuan di ruang digital, yaitu adanya ketimpangan literasi digital pada perempuan, ketimpangan penghasilan, hingga kekerasan berbasis gender online. Dengan segala permasalahan itu, perempuan menghadapi berbagai ancaman di ruang digital, seperti terjebak pada pinjaman online, ancaman kekerasan yang terfasilitasi teknologi dan penyalahgunaan artificial intelligence, dan minimnya kepemimpinan perempuan, terutama di sektor teknologi. Sasti menunjukkan bahwa dalam berbagai bidang, posisi strategis atau pengambilan keputusan yang diduduki perempuan semakin sedikit, dan kondisi tersebut semakin timpang terutama di sektor teknologi. Hal ini berakibat pada menurunnya kepercayaan diri perempuan lain untuk bekerja di bidang serupa karena minimnya representasi, juga situasi perempuan yang kerap dihadapkan pada pelecehan dan perundungan di tempat kerja. Sesi talkshow dimoderatori oleh Ayu Oktariani, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). Sesi diskusi pertama menghadirkan Mira Tayyiba, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dalam sesi talkshow, Mira menyampaikan bahwa ruang digital bersifat netral. Teknologi digital berpotensi untuk membuat kesenjangan baru, tetapi juga sesungguhnya memungkinkan kita untuk menjadi lebih produktif. Kominfo telah memiliki beberapa program untuk mendukung partisipasi aktif perempuan di ruang digital. Pertama, membuka program literasi digital secara umum, seperti perlindungan data pribadi. Kedua, menyelenggarakan digital talent scholarship. Meskipun begitu, sebagian besar peserta pelatihan ini masih didominasi laki-laki, yaitu sebesar 58%. Ketiga, menyelenggarakan digital entrepreneurship academy. Program ini menanggapi kebutuhan khusus perempuan, sehingga para perempuan penerima manfaat bisa produktif dengan pemanfaatan ruang digital.
Talkshow kedua mengundang Bahrul Fuad, Ketua Subkomisi Pemantauan, Komnas Perempuan. Menurutnya, ruang publik digital berpotensi untuk memunculkan kekerasan seksual berbasis elektronik. Kekerasan ini muncul karena masih rendahnya literasi digital, termasuk pengetahuan tentang keamanan siber, keamanan data pribadi, dan kode etik interaksi digital. Perkembangan teknologi yang semakin cepat tidak diimbangi dengan bekal literasi digital yang cukup. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual. Sebelum adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), penegak hukum menggunakan pasal-pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat pelaku dan korban. Pada akhirnya, UU ini kemudian dimanfaatkan oleh pelaku untuk mengkriminalisasi korban. Berkaitan dengan itu, Sinta Dewi Rosadi, Guru Besar Hukum Pelindungan Data Pribadi (PDP), Universitas Padjajaran, mengatakan bahwa hukum semestinya ada untuk menjadi enabler (pendukung) masyarakat untuk menjadi lebih paham tentang hak dan kewajibannya, bukan untuk menjadi represif. Dalam konteks hukum positif, Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa kebijakan, seperti UU Pornografi dan UU TPKS. Namun, hukum tidak hanya bicara soal aturan atau norma, tetapi juga prosesnya. Implementasi hukum ini bergantung pada peran penegak hukum agar efektivitas penerapan hukum tersebut bisa sesuai dengan yang diharapkan. Dua pembicara lainnya adalah Sylvia Sumarlin, Direktur Utama PT. Sirka Darma Persada dan Dewan Penasehat Federasi Teknologi Informasi Indonesia, dan Dessy Sukendar, Manajer Program Kebijakan, Meta Indonesia. Dari segi pengusaha, Sylvia mengatakan bahwa sebenarnya sektor swasta telah membuka peluang pekerjaan bagi perempuan. Ia juga menjelaskan bahwa dari sisi perempuan itu sendiri, mereka mungkin memiliki ketakutan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan gender, dibutuhkan penguatan pemahaman bagi generasi selanjutnya, yaitu generasi milenial dan generasi Z. Sementara itu, Dessy mewakili Meta Indonesia menuturkan bahwa Meta sudah memiliki beberapa program dan inisiatif untuk mendukung perempuan, salah satunya melalui kemitraan dengan berbagai organisasi, dan melalui dialog langsung bersama para penerima manfaat. Meta, misalnya, telah menginisasi program She Means Business, yaitu dukungan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui pelatihan keterampilan digital dan bisnis. Meta juga telah memiliki Asah Digital, yaitu program kewargaan digital yang mendukung literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan membangun komunitas warga digital yang bertanggung jawab. Penerima manfaat langsung dari Asah Digital ini adalah murid SMP dan SMA, orang tua, dan guru. Sebagai penutup, moderator menyampaikan bahwa terlepas dari segala tantangan yang dialami oleh perempuan di ruang digital, kita perlu yakin dan percaya bahwa perempuan memiliki peran dan partisipasi yang setara dalam menyuarakan hak-haknya di dunia digital. Selain itu, kita juga perlu membangun sistem yang bisa memberikan perlindungan digital, agar perempuan bisa memanfaatkan teknologi secara lebih bermakna. (Fadilla D. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |