Keadilan merupakan salah satu topik yang sering sekali dibahas dalam diskursus lintas disiplin. Konsep keadilan arus utama kerap dijadikan basis intelektual untuk menetapkan berbagai regulasi. Sayangnya, dari banyaknya teori keadilan, hanya segelintir konsep keadilan arus utama yang dijadikan basis regulasi-regulasi yang ada. Selain itu, beberapa keadilan arus utama tersebut tidak sensitif gender. Membahas hal ini, pada Sabtu (5/2/2022) telah dilaksanakan bincang-bincang Loka Series yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Lokahita. Pada kesempatan tersebut, Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan hadir sebagai pembicara dipandu Meike sebagai host. Bincang-bincang berjudul ‘Kekerasan Seksual dan Keadilan Sosial Feminis’ tersebut diselenggarakan pada platform Live Instagram. Abby Gina membuka paparannya dengan menjelaskan kondisi perempuan yang kerap luput dari perbincangan keadilan. Akibatnya, beberapa teori keadilan arus utama tidak mengedepankan isu-isu partikular yang terjadi pada perempuan, melainkan menganut asas universalisme yang tidak terlalu memerhatikan kebutuhan perempuan. Lebih dari itu, pada ruang publik perempuan kerap diletakkan pada posisi yang tidak berkuasa. Posisi tersebut membuat kepentingan perempuan selalu dijauhkan dari publik dan dianggap tidak valid. Hal ini jugalah yang membuat penanganan kekerasan seksual sering kali tidak tepat sasaran.
Pemikir-pemikir feminis menyatakan, hal yang paling utama dari keadilan sosial feminis berangkat dari pengalaman konkrit perempuan. Cara untuk mengintegrasikan pengalaman konkrit perempuan adalah berdialog. Feminisme tak pernah memaksakan suatu pengetahuan, pengetahuan feminisme dibangun atas dialog. Pengalaman tiap perempuan sendiri pasti berbeda satu sama lain, sehingga dibutuhkan pemahaman bahwa tidak semua perempuan mengalami tantangan dan kesulitan yang sama. Dalam menangani kasus kekerasan seksual, keadilan sosial feminis juga menekankan perspektif dan pengalaman korban. Pada hukum yang tersedia sekarang, banyak sekali celah hukum yang membuat korban tak dapat mengakses keadilan. Pada hukum Indonesia pun, keadilan sering dilihat dari perspektif laki-laki saja. Hal ini juga menghambat penanganan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual, juga kurang akomodatif bagi korban. Abby menjelaskan, adanya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi suatu langkah konkrit untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan akan hukum yang berkeadilan. Dalam RUU TPKS, terdapat kategorisasi yang lebih spesifik terhadap jenis-jenis kekerasan seksual—yang membuat penanganan terhadap tiap kasus juga menjadi spesifik. Contohnya, penanganan kekerasan seksual pada anak berbeda dengan penanganan kekerasan seksual pada difabel, dan sebagainya. “RUU TPKS mencoba mengenali kelompok-kelompok berbeda dalam kekerasan seksual dan mencoba mewadahinya,” jelas Abby. Kembali membahas keadilan sosial feminis, Abby menyatakan ada anggapan awam bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perempuan, termasuk kekerasan, adalah masalah privat. Hal ini menghambat perempuan dalam mengakses keadilan. Meskipun terdapat berbagai konsep keadilan feminis, tapi garis besar antara seluruh teori yang ada adalah melihat kondisi ketidakadilan berbeda antara tiap perempuan. Selain itu, adanya yang liyan (the other) juga menjadi salah satu gagasan utama dari keadilan sosial feminis. Demikian, keadilan sosial feminis melihat bahwa keadilan yang berperspektif gender tidak hanya harus diwujudkan dalam regulasi, tapi juga dapat mentransformasikan masyarakat. Artinya, perubahan yang terjadi juga dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap persoalan ketidakadilan gender. Namun, Abby menyampaikan bahwa ini merupakan tantangan dalam mengusahakan keadilan sosial feminis. Adanya resistensi terhadap gagasan gender atau feminisme yang muncul dari nilai-nilai patriarki kerap menyulitkan perempuan serta kelompok liyan lainnya dalam menyuarakan pengalaman mereka. Atas hal ini, Abby menekankan pentingnya pendidikan keadilan gender sebagai langkah awal mentransformasi keluarga. Langkah ini dapat dimulai dengan mendidik anak perempuan dan laki-laki dengan setara. Beberapa praktik dalam masyarakat masih melanggengkan pembedaan pendidikan antara perempuan dan laki-laki, hal inilah yang harus sedikit demi sedikit dihentikan. Sebagai penutup, Abby menyampaikan urgensi penerapan keadilan sosial feminis dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya, untuk mendorong transformasi sosial yang memandang setara perempuan dan laki-laki. “Keadilan sosial feminis harus berangkat dari rasa kepedulian, tanggung jawab, terbuka pada perbedaan, dan siapapun yang ingin terlibat harus memeriksa ketidakadilan di sekelilingnya. Setiap orang mendorong aktivisme atau transformasi yang nyata,” tukasnya. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |