Pada Kamis, (20/7/2023) malam kemarin, Kartini Conference perdana dibuka dan akan berlangsung sampai Minggu, 23 Juli. Meskipun pendaftaran sudah ditutup, masyarakat umum dapat menyimak rekaman diskusi di kanal YouTube LETSS Talk. Untuk hari pertama saja terdapat begitu beragam topik pembahasan mulai dari krisis ekologi, pengetahuan terkait seks dan reproduksi, media digital, adat, politik, kerja, dan lebih banyak lagi. Yang menjalin seluruh pembahasan ini adalah tajuk “Merayakan dan Menguatkan Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif”. Feminisme di Indonesia dalam Analogi Trayek Angkot ala Sylvia Tiwon
Untuk memperjelas konsep-konsep dasar yang dianggap penting dalam konferensi ini, rangkaian acara hari ini dimulai dengan keynote speech dari Sylvia Tiwon (pengajar di University of California, Berkeley). Ia mengajak audiens untuk merenungkan kembali bagaimana konsep-konsep dasar telah dalam feminisme telah dimaknai dan diterapkan oleh aktivis selama ini, secara genealogis. Judul pemaparannya adalah “Dari Sejarah Perempuan dan Gender Nusantara ke Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif”. Sylvia melihat pola serupa pada trayek pemaknaan konsep feminisme, nasionalisme, dan pengetahuan (akademis), yaitu pengerucutan yang memiliki konsekuensi baik secara teoretis maupun praktis. Dalam membahas genealogi pemaknaan konsep-konsep tersebut, ia menggunakan analogi trayek angkot. “Ibarat angkot: ada bagian trayek, ada penumpang dan muatan—belum lagi ada berbagai perangkat dan peringkat pengaturan, pertimbangan usaha di mana kepentingan pribadi berada pada persimpangan dengan kepentingan berbagai tingkat pemerintahan, dari kota hingga negara dan kepentingan publik.” Dengan analogi ini, ia ingin mengajak segenap penyelenggara dan peserta konferensi untuk menginterogasi diri terkait tajuk konferensi dan pembahasan feminisme ke depannya: apakah judul ini mengisyaratkan kemunduran? Mengenai trayek “dari perempuan dan gender ke feminisme yang plural dan inklusif”, ia mengingatkan bahwa salah satu alasan tidak digunakannya kata “feminisme” adalah resistensi tinggi dengan anggapan bahwa konsep tersebut merupakan “impor asing”, yang ironisnya dilakukan beriringan dengan negara yang membuka diri terhadap penanaman modal asing tanpa perlawanan. Dalam perjalanan pemaknaan feminisme di Indonesia, ia melihat bahwa tubuh/biologi kurang mendapat perhatian. Maka kita perlu “membongkar sekat antara perempuan sebagai makhluk sosial dengan tubuhnya sendiri, dan dengan tubuh-tubuh lain.” Menurut Sylvia, “feminisme yang plural dan inklusif” berarti “mengangkat kembali tubuh-tubuh dengan merangkul segala perbedaan—berarti dikembalikannya seksualitas ke dalam wacana dan praxis.” Ia menegaskan lagi, “Merangkul tubuh-tubuh yang berbeda.” Pemikiran ini merupakan hasil dari pengamatannya terhadap konflik antara gerakan feminisme dan LGBTQ+ yang cenderung menajam. Mengenai trayek “dari Nusantara ke Indonesia”, Sylvia merasakan kemunduran. Sementara pemaknaan “Nusantara” lebih luas dan lentur, menurutnya konsep “Indonesia” sangat terpatri pada konsep nasion, nasionalisme, dan NKRI. Menurut Sylvia, Kartini sering dianggap tidak mewakili Indonesia karena tidak pernah menyebut nasionalisme. Menurut Sylvia, pemikiran Kartini justru merupakan semangat yang mengancurkan kungkungan, karena itu ditakuti. Pemikiran Kartini sering dilabeli dengan “emansipasi perempuan”. Padahal emansipasi Kartini juga bicara tentang pembebasan budak, mencakup dampak rasisme, pemerasan tenaga, dan penghapusan kemanusiaan. “Kartini menempatkan emansipasi perempuan di tengah perjuangan emansipasi diri kaum kulit berwarna,” ujar Sylvia. Konsep terakhir yang diinvestigasi adalah “pengetahuan”. Sylvia menyampaikan bahwa kita perlu berhati-hati terhadap politik di balik akumulasi/produksi pengetahuan. Dalam menimba pengetahuan, kita perlu mengenal mentor yang memiliki pengetahuan. Dalam hal ini, menurutnya Kartini pun merupakan mentor pengetahuan yang sudah memperlihatkan kaitan erat antara struktur-struktur dalam negeri dan struktur-struktur global. Dengan analoginya, Sylvia memberi jeda untuk merenungkan trayek angkot dan siapa yang diturunkan—feminisme dan siapa yang ditinggalkan: janda tua renta, pekerja seks, perempuan transgender, misalnya. Dengan demikian, ia mengajak kita untuk lebih kritis terhadap bagaimana kita memaknai dan melakukan feminisme, serta konsekuensinya terhadap pluralitas dan inklusivitas yang dijunjung oleh konferensi ini. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |