Berangkat dari visi pendidikan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)—organisasi pendidikan dan kebudayaan di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)— dalam buku Reimagining Our Futures Together (2022), banyak diskusi masyarakat mengenai gagasan pendidikan yang tepat untuk menyongsong masa depan. Bentuk, metode, serta relevansi pendidikan bagi pembangunan suatu bangsa menjadi hal yang sangat serius. Salah satu bentuk pendidikan di Indonesia adalah madrasah, yaitu sekolah keagamaan Islam. Sebagai institusi pendidikan yang menggabungkan sistem sekolah ala Barat dan sistem pesantren ala Islam, madrasah memiliki nilai-nilai yang dapat dikembangkan guna menyongsong visi pendidikan UNESCO. Membahas hal tersebut, Institut Leimena bersama Maarif Institute menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Visi Pendidikan UNESCO dan Peran Madrasah dalam Mengokohkan Solidaritas Manusia” pada Kamis (10/03/2021) lalu. Diskusi publik ini disiarkan secara daring melalui platform Zoom dan YouTube.
Prof. Dr. Muhadjir Effendy selaku Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia membuka diskusi publik ini dengan menekankan pentingnya pendidikan sebagai pilar kebangsaan. Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia menjadi suatu tantangan sekaligus kelebihan bagi sistem pendidikan kita. Madrasah, sebagai sekolah keagamaan, dapat membangun karakter anak didiknya agar sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan religi—tanpa menyingkirkan pendidikan yang setara dan humanis. Ismunandar (Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO) membuka diskusi dengan paparan mengenai ringkasan visi pendidikan 2050 dari UNESCO. Dalam visi tersebut, problem besarnya adalah penekanan solidaritas global seperti yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi COVID-19 sejak kemunculannya dua tahun silam. Selain itu, reformasi pendidikan juga diperlukan untuk pergerakan melawan diskriminasi. Ismunandar menekankan penghargaan kepada pekerjaan berbasis kepedulian (home care) sebagai suatu hal yang harus dibumikan oleh pendidikan dasar. Randa Kuziez (Islamic Museum of New York City) menuturkan pengalamannya selama belajar di Amerika Serikat. Perempuan yang berasal dari Suriah ini menyatakan, madrasah sudah selayaknya perpanjangan rumah bagi pelajar Muslim di Amerika Serikat. Sebab, madrasah menggunakan prinsip-prinsip keagamaan sebagai pusat, sama seperti keadaan di rumahnya. Madrasah menjadi tempat ia belajar gagasan tentang solidaritas berlandaskan agama Islam, tanpa melihat identitas dan asal negara pelajarnya. Melanjutkan paparan Randa soal solidaritas, Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) juga menyatakan pentingnya mempertahankan solidaritas dalam era digital. Baginya, era digital kini memunculkan seruan-seruan kebencian terhadap kelompok yang berbeda. Selain itu, era digital juga memberi tantangan baru, yaitu maraknya Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KSBGO). Hal ini menjadi peringatan untuk memperbarui sistem pendidikan dunia. Oleh karena itu, ia menyarankan kurikulum ke depan untuk menekankan solidaritas, kedamaian, dan pembelajaran ekologi. Madrasah di Indonesia dapat memperbarui kurikulumnya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat global. Pembicara selanjutnya adalah Chris Seiple (Senior Research Fellow University of Washington), yang memaparkan kebutuhan masyarakat dunia atas konvenan baru. Konvenan merupakan suatu kontribusi yang dapat diberikan. Ia menyodorkan ide pluralisme konvenan, yang tidak hanya mengakomodasi perbedaan dari tiap individu, tetapi juga melindungi perbedaan tersebut dari ancaman-ancaman yang ada. Dengan pelibatan tiap pihak, kita dapat membuat masyarakat progresif yang saling bersolidaritas. Hal ini juga dapat membumikan pemahaman bahwa kelompok liyan adalah manusia juga. Terakhir, KH. Muhammad Rifqi Rosyidi (Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran) membawakan materi mengenai peran madrasah bagi masyarakat Indonesia. Baginya, madrasah berperan besar dalam meyakinkan masyarakat untuk menjadi inisiator pelaksana vaksin COVID-19. Kegiatan tersebut menunjukkan relevansi nilai-nilai madrasah terhadap masyarakat. Sayangnya, banyak anggapan bahwa madrasah menjadi tempat persemaian bibit-bibit ekstremisme agama. Ia mengharapkan semua pihak memandang madrasah secara objektif dalam melaksanakan pendidikan, sehingga madrasah tidak dilihat sebagai instansi tertutup dan identik dengan ekstremisme. Visi pendidikan UNESCO merupakan salah satu terobosan dalam bidang pendidikan dunia. Bila visi tersebut diimplementasikan pada segala bentuk dan institusi pendidikan, seperti madrasah, tentunya dapat membawa kemajuan dalam pembangunan kualitas manusia. Pendidikan yang baik juga dapat membawa masyarakat pada pandangan humanis. Dengan pendidikan yang baik dan inklusif, penindasan gender juga dapat segera ditanggalkan dari pola pikir masyarakat. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |