Dalam rangka menyebarkan gagasan dan ide hasil musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II November 2022 lalu, KUPI mengadakan agenda “Goes to Campus and Pesantren” di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 24 Oktober 2023. Acara ini bekerja sama dengan Program Studi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, dan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta. Sesi pertama dibuka dengan diseminasi hasil musyawarah KUPI oleh Dr. Wiwi Siti Sajaroh (perwakilan KUPI). Serta sosialisasi dari Satuan Gugus (Satgas) Rumah, Ramah, Rahmah (R3) PSGA UIN Jakarta mengenai pedoman pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di lingkup kampus oleh Dr. Siti Napsiyah (Ketua Satgas R3). Kemudian dilanjut dengan diskusi dengan materi “Peliputan dan Penulisan yang Sensitif dan Responsif Gender dalam Dunia Aktivisme dan Media” yang disampaikan oleh Dr. Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan). Abby membuka sesi ini dengan menjelaskan, Apa itu Kekerasan Berbasis Gender? Yakni, kekerasan yang dilakukan berdasarkan jenis kelamin atau gender korban. Hal ini berkaitan dengan norma sosial dan relasi kuasa. Kekerasan berbasis gender dapat bersifat simbolis, struktural, dan sistemik. Dalam memberitakan kekerasan berbasis gender dan seksual, lanjut Abby, seringkali media melanggar kode etik jurnalistik. Penyebabnya yakni kurangnya pengetahuan jurnalis dalam ranah ini serta tekanan dari perusahaan media yang menginginkan artikel berita dalam jumlah banyak dan cepat, menyebabkan kurangnya riset mendalam. Apa saja yang tak boleh dilakukan dalam pemberitaan KS? Pertama, mengungkap identitas korban dan pelaku anak. Kedua, menulis berita berdasarkan prasangka diskriminasi suku, agama, ras, jenis kelamin, ekspresi gender. Ketiga, mencampurkan fakta dan opini penulis. Keempat, pemilihan kosa kata yang sadis dan cabul. Lantas, bagaimana peliputan yang sensitif dan responsif gender? Menurut Abby, hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu yaitu menghindari stereotipe yang beredar dalam masyarakat, seperti anggapan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, penting untuk menggambarkan diversitas gender, melihat realitas keberagaman gender dan menyadari bahwa terdapat kelompok rentan seperti LGBTQ+. Media juga harus menyadari minimnya isu perempuan dan gender yang diangkat sebagai wacana publik. Maka media harus memberikan ruang yang cukup pada suara perempuan dalam pemberitaan isu gender dan kekerasan seksual. Media harus memiliki keberpihakkan pada korban dan mendorong wacana anti-kekerasan.
Media memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik dengan membangun narasi yang berkeadilan gender. Abby mengatakan bahwa liputan media yang informatif dan sensitif dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai KS. Sekaligus dapat berperan sebagai pengubah norma sosial dan mempengaruhi pandangan dan praktik dalam masyarakat. Liputan media yang advokatif dapat memberikan desakkan perubahan dalam hukum dan kebijakan yang relevan, tutup Abby. (Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |