Pekerja migran kerap kali berada dalam posisi yang rentan. Bukan saja karena mereka harus bekerja ke luar negeri, tapi banyak sekali instrumen perlindungan yang tidak tersedia—baik di negara asal maupun negara penerima tenaga kerja. Hal ini juga berdampak pada perlindungan perempuan, karena di Indonesia, tenaga kerja perempuan menempati angka yang sangat banyak. Membahas advokasi dan upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja Indonesia, Migrant CARE menyelenggarakan webinar berjudul “Memperbincangkan Agenda Advokasi Regional dan Internasional untuk Perlindungan Pekerja Migran Indonesia”. Webinar ini dilaksanakan pada Jumat (11/2/2022) dan disiarkan melalui platform Zoom. Hadir sebagai pembicara di webinar ini: Wahyu Susilo (Migrant CARE), Savitri Wisnuwardhani (Jaringan Buruh Migran), Muhammad Hafiz (Human Rights Working Group), Syamsul Ardiansyah (Civil 20 (C20) Indonesia), dan dipandu oleh Ana Sbhana Azmy selaku moderator. Pada webinar ini, pembahasan juga menitikberatkan pada upaya advokasi pekerja migran di ajang Group of 20 (G20). G20 merupakan forum kerja sama bilateral dunia yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa (UE). Forum G20 membahas hal-hal terkait perekonomian global dan isu-isu penting yang terkait dengannya. Beberapa lembaga masyarakat sipil memperjuangkan agar masalah ketenagakerjaan mendapat porsi pembahasan yang cukup besar pada perhelatan ini. Indonesia sendiri akan menjadi tuan rumah penyelenggara perhelatan yang dimulai dari Desember 2021 hingga November 2022.
Memasuki pemaparan pertama, Wahyu Susilo menjelaskan pentingnya peran Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration (GCM) sebagai perangkat advokasi tenaga kerja migran. Ia menjelaskan, terdapat ketidakefektifan dari instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dalam upaya advokasi. Sebab, tidak ada ikatan hukum, membutuhkan proses legislasi yang panjang namun tidak otomatis diadopsi secara utuh, adanya ketidakpatuhan negara dalam menjalankan tanggung jawab pelaporan dan implementasi, serta ratifikasi peraturan Committee on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (CMW) yang hanya dilakukan oleh negara pengirim saja. Hal-hal tersebut membuat upaya perlindungan pekerja migran menjadi timpang karena negara penerima kerap kali tidak mengindahkan instrumen yang tersedia. Sedangkan GCM sendiri lebih banyak diadopsi oleh negara pengirim maupun penerima. Hal ini membuat implementasinya menjadi lebih luas dan mengikat. Savitri, sebagai pemateri selajutnya, menjelaskan peluang ASEAN Forum on Migrant Labor (AFML), yakni sebuah forum diskusi, tukar wawasan mengenai praktik terbaik, dan peninjauan rekomendasi pekerja migran di Asia Tenggara. Savitri menjelaskan, AFML merupakan satu-satunya forum tingkat Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang partisipatif dengan melibatkan pemerintah, swasta, serikat buruh, dan lembaga masyarakat sipil di dalamnya. AFML juga mengedepankan diskusi dan rekomendasi yang sesuai dengan prinsip HAM dan responsif gender. Savitri melihat peluang dalam pelaksanaan AFML; agar rekomendasi dari diskusi AFML dijadikan program yang dikerjakan negara-negara terkait. Selain itu, ia juga menyerukan pelibatan kelompok atau perwakilan pekerja migran Indonesia untuk turut hadir secara rutin dalam agenda ini. Muhammad Hafiz masuk ke pembahasan selanjutnya. Ia menjelaskan mengenai mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam upaya perlindungan pekerja migran. Dalam langkah perlindungannya, PBB menjadikan HAM sebagai sebuah instrumen yang penting. Langkah-langkah perlindungan selalu dikiblatkan pada prinsip-prinsip HAM. Dewan HAM PBB rutin mengeluarkan Universal Periodic Review (UPR) sebagai sebuah mekanisme penilaian dan peninjauan HAM di seluruh dunia. UPR juga dapat digunakan untuk meninjau kondisi pemenuhan HAM bagi pekerja migran. Dalam hal ini, Hafiz menekankan pentingnya untuk turut melakukan peninjauan pada negara maju melalui UPR, guna mengetahui dan meningkatkan kesejahteraan pekerja migran yang bekerja di negara tersebut. Kendati UPR adalah mekanisme global, Hafiz menuturkan bahwa kebanyakan negara maju masih luput dari penilaian HAM. Hal tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara maju sudah pasti lebih terdepan dalam isu-isu HAM, sementara negara berkembanglah yang butuh pengawasan. Sehingga, keadaan pekerja migran—yang mayoritas berangkat dari negara berkembang untuk bekerja di negara maju—relatif lebih sulit dipantau oleh PBB. Hafiz menambahkan bahwa lembaga-lembaga perlindungan HAM dan perempuan di Indonesia dapat memberikan laporan sebagai masukan untuk penyusunan UPR. “Komnas HAM akan punya slot sendiri untuk membuat laporan alternatif. Nah, tugas kita adalah bertemu dengan Komnas HAM dan memberikan input terkait situasi buruh migran. Komnas Perempuan juga akan membuat laporan, kita juga bisa mendorong buruh migran perempuan,” jelasnya. Syamsul, sebagai pemateri terakhir, menjelaskan inisiatif warga sipil dalam advokasi hak pekerja migran di G20. Indonesia sebagai tuan rumah G20 dapat menggunakan kesempatan tersebut sebagai momentum yang baik untuk mengadvokasikan isu-isu pekerja migran. Untuk memudahkan pengajuan isu, terdapat C20 yang menjadi lembaga persatuan masyarakat sipil untuk memberikan pengaruh pada G20. Syamsul menyebutkan, fenomena migrasi global saat ini memiliki karakteristik sebagai force migration (migrasi dengan paksaan) dan migrasi yang tidak aman. Hal ini didorong oleh kebutuhan ekonomi, keamanan negara asal pekerja migran, dan bencana alam. Adanya pandemi Covid-19 juga menambah besar risiko bagi pekerja migran. Isu-isu pekerja migran merupakan isu yang penting bagi negara pengirim dan penerima tenaga kerja. Fakta bahwa ada banyak sekali pekerja migran perempuan yang berada dalam situasi rentan membuat advokasi dan penyusunan kebijakan terkait dengan perlindungan pekerja migran harus disusun dengan responsif gender. Dibutuhkan komitmen global untuk mengarusutamakan isu ini. Adanya momen G20 dapat menjadi momentum besar bagi pemenuhan hak-hak pekerja migran di Indonesia yang akan menjadi tuan rumah yang dapat mengajukan isu-isu strategis. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |