Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi No. 30 tahun 2021 (Permen PPKS) merupakan suatu langkah progresif untuk membebaskan dunia pendidikan Indonesia dari ancaman kekerasan seksual. Permen PPKS juga mengandung muatan yang sangat komprehensif dan mengutamakan perspektif korban. Namun terdapat miskonsepsi terhadap penetapan kekerasan seksual sebagai tindakan tanpa persetujuan korban dalam Permen ini. Pandangan regresif ini utamanya disebabkan anggapan bahwa Permen PPKS merupakan aturan legalisasi seks di luar nikah. Berupaya meluruskan miskonsepsi tersebut, Kementrian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan webinar bertajuk “Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual”. Webinar ini dihadiri langsung oleh Nadiem Anwar Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama), dan Diah Pitaloka (Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia). Diskusi panel juga diisi oleh para pakar, yaitu Andy Yentriyani (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan), Bivitri Susanti (Pakar Hukum), Faqihuddin Abdul Kodir (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Alissa Wahid (Wahid Institute).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menyampaikan keterbukaannya pada semua kritik dan masukan terkait substansi Permen PPKS. Ia juga menyampaikan, urgensi pembentukan regulasi ini adalah situasi darurat kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dalam ranah kekerasan seksual, sudah ada beberapa undang-undang yang mengaturnya. Akan tetapi, dalam cakupan perguruan tinggi terdapat kekosongan regulasi. Berdasarkan survei Kemendikbudristek tahun 2020, sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus mereka dan sebanyak 63% dari kasus tersebut tidak pernah dilaporkan kepada pihak kampus. Dalam hal ini, negara wajib hadir dan melindungi masyarakat dari ancaman kekerasan, termasuk kekerasan seksual. “Itulah sebabnya kita harus mengambil posisi—sebagai pemerintah—untuk melindungi mahasiswa-mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik kita dari kekerasan seksual,” jelas Nadiem. Permen PPKS juga menjadi kerangka atau payung hukum penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Selain itu, Permen PPKS juga berfokus pada korban. “Fokus daripada Permen ini adalah korban, korban, dan korban. Kita melihat ini semua dari perspektif korban,” tutur Nadiem. Kekerasan seksual merupakan ancaman besar baru kelompok rentan. I Gusti Ayu Bintang Darmawati, sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mengafirmasi hal ini. Ia pun menyatakan dukungannya pada Permen PPKS. Menteri PPPA tersebut juga menjelaskan, pada fakta lapangan, kekerasan seksual di perguruan tinggi sering tak tertangani dengan semestinya. Hal ini memberikan dampak luar biasa bagi korban, berupa rasa sakit dan trauma berkepanjangan. “Permen PPKS ini tentunya menguatkan upaya kami untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak-anak Indonesia, sekaligus menjadi regulasi yang tepat untuk mencegah, menangani, dan mengurangi risiko berulangnya kekerasan seksual di kampus sembari terus memperjuangkan pengesahan regulasi dan sistem hukum perlindungan kekerasan seksual yang lebih komprehensif,” ujarnya. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, menyatakan bahwa masalah kekerasan seksual turut menjadi masalah Kementerian Agama. Baginya, sebagai menteri dan secara pribadi, Permen PPKS ini melindungi martabat kemanusiaan. “Tidak ada alasan untuk memberikan jaminan perlindungan kehormatan dari tindakan-tindakan yang merendahkan di tempat manapun,” ujar Yaqut. Yaqut juga menyoroti stagnansi regulasi kekerasan seksual. Demikian, ia berharap, adanya regulasi ini dapat menjadi langkah awal dari cita-cita lingkungan kampus yang merdeka dari kekerasan. Diah Pitaloka melihat Permen PPKS menjadi sebuah langkah progresif, maju, dan berani dari Kemendikbudristek. Ia juga meyakini akan banyak undang-undang lain yang akan terintegrasi dengan semangat Permen PPKS. Permen ini dapat membangun gerakan moral untuk melindungi pelajar-pelajar di perguruan tinggi serta reformasi pendidikan Indonesia. “Tentunya kita tidak ingin kekerasan seksual menjadi kultur baru dan menjadi wajah pendidikan Indonesia,” terangnya. Sesi diskusi panel dipandu langsung oleh Nadiem Makarim. Sebagai pembuka sesi, Andy Yentriyani memaparkan data kekerasan yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang tahun 2020. Secara proporsi, setiap tahunnya kekerasan seksual menempati besaran 30% dari total kasus kekerasan yang dilaporkan pada Komnas Perempuan. Bahkan, data tahun 2020 menunjukkan, dari 2.389 kasus kekerasan yang dilaporkan, 53% di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Andy menyatakan pentingnya Permen ini, terutama pada Pasal 19, yang menyatakan lembaga pendidikan terkait akan mendapat sanksi bila tidak sungguh-sungguh melakukan mandat penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. Dari segi hukum, Bivitri Susanti menerangkan bahwa Permen PPKS menjangkau wilayah yang belum terjangkau oleh negara. Contohnya adalah konsep age of consent yang berbeda-beda, baik di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Narasi yang menyangkal muatan regulasi ini, seperti tingkatannya yang terbatas pada Permen, tidak menjadi masalah berarti. Sebab, dalam hukum yang rumpang, siapapun yang memiliki kewenangan, harus mengatasi bagian yang belum dimuat dalam regulasi manapun. Mengenai miskonsepsi soal legalisasi seks bebas dalam Permen ini, Faqihuddin Abdul Kodir menyatakan bahwa interpretasi di luar teks adalah sesuatu yang berbahaya. Ia menjabarkannya dengan perumpamaan yang sangat baik: dalam suatu ayat, dituliskan bahwa “tidak boleh memaksa perempuan untuk melakukan pelacuran”. Lantas, bagaimana bila tidak dipaksa—apakah pelacuran boleh dilakukan? Dalam hal ini, penyimpulan “perempuan boleh melacurkan diri bila tidak dipaksa” adalah tidak boleh dilakukan, karena ayat tersebut sedang membicarakan konteks “dipaksa”, bukan “boleh bilamana tidak dipaksa”. “Logika semacam itu bisa menyesatkan kita dari kepentingan Permen ini,” ujarnya. Alissa Wahid mengakhiri webinar dengan meyampaikan bahwa Permen ini menangani dan merespons kondisi yang sudah penting dan genting. Kekerasan seksual tak lagi bisa disebut sebagai kasus per kasus, karena dampaknya sudah meluas ke mana-mana. Bahkan keluarga korban turut menerima dampak dari kasus tersebut. Permen PPKS dapat memutuskan lingkaran setan kekerasan seksual yang ada di lembaga pendidikan tinggi. Sebagai penutup, Nadiem Makarim menegaskan ulang bahwa regulasi ini sepenuhnya ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan korban. Lingkungan pendidikan tinggi idealnya menjadi ruang aman bagi seluruh pelajar untuk beraktvitas. “Jangan sampai kekerasan ini menjadi budaya yang mendarah daging di institusi-institusi pendidikan Indonesia,” tutupnya. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |