Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (PCVE/WGWC) menyelenggarakan diskusi dengan tema cerita sukses perempuan korban terorisme yang kerap kali tidak terungkap pada Selasa, 21 November 2023 pukul 10.00 WIB melalui ruang Zoom. Diskusi ini berfokus mengangkat pengalaman perempuan korban dari peristiwa Bom Bali 1 & 2 yang terjadi pada 2002 dan 2005 silam. WGWC menghadirkan 3 narasumber yang merupakan korban langsung dan tidak langsung dari peristiwa Bom Bali 1 & 2. Pengalaman-pengalaman penyintas ditanggapi oleh perwakilan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas Perempuan. Diskusi dibuka dengan korban langsung dari peristiwa Bom Bali 1, yaitu Tumini.
Tumini sedang bekerja di salah satu lokasi kejadian saat ledakan bom membuatnya terlempar dan terkena percikan api di beberapa bagian tubuh. Walaupun berhasil selamat, Tumini memerlukan beberapa bulan untuk bisa berhadapan dengan orang lain dan memerlukan bantuan konseling secara intensif hingga hari ini, yaitu 21 tahun setelah peristiwa ledakan tersebut terjadi. Korban tidak langsung dari peristiwa Bom Bali 1 & 2, yaitu Wayan Rastini dan Sudeni, kehilangan suami mereka akibat tragedi tersebut. Rastini dan Sudeni berhadapan dengan rintangan hukum adat atas pembagian kompensasi serta warisan karena hak tersebut semestinya diberikan kepada keluarga dari pihak laki-laki. Melalui upaya mediasi, hak kompensasi diberikan kepada korban tidak langsung yang paling terdampak akibat peristiwa terorisme. Pengalaman Tumini, Rastini, dan Sudeni sebagai penyintas tidaklah mudah melalui kehidupan sehari-hari setelah peristiwa terorisme. Tubuh Tumini masih menyimpan dengan jelas bukti dan bekas luka dari peristiwa tersebut, yang menjadikannya sulit mendapatkan pekerjaan. Belum termasuk penghinaan yang ia terima karena dipandang cacat. Para penyintas mengalami kesulitan berkali-lipat untuk kembali menjalani kehidupan sehari-hari terutama peran sebagai orang tua serta tulang punggung utama keluarga dalam konteks Sudeni dan Rastini. Tumini memperoleh bantuan dari Bali Hati, Kompas, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan LPSK. Bantuan ini mencakup pengobatan, kebutuhan sehari-hari, hingga kompensasi bagi pendidikan anak-anaknya hingga tingkat universitas. Sedangkan Rastini serta Sudeni dibantu oleh Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKPI) untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa penyintas menghadapi proses adaptasi yang panjang. Tumini mengungkapkan bahwa keluarga terutama anaklah yang membantunya menerima hingga memafaakan pelaku pengeboman dan merekalah yang menjadi alasannya untuk tetap memiliki harapan dan melanjutkan hidup. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan tanggapan dari Dr. Livia Istania sebagai Wakil Ketua LPSK. Livia menjelaskan perlunya diskusi dengan lembaga adat terutama di Bali untuk lebih mendukung perempuan. Ia melihat perlindungan yang diberikan oleh LPSK bagi saksi dan korban berupa medis, psikologis dan psikososial tidak hanya terbatas selama 2 tahun, tetapi perlu dilakukan secara komprehensif. Yayasan Penyintas sebagai organisasi yang diperuntukkan khusus bagi korban menurutnya penting. Bukan hanya sebagai ruang aman, tapi juga ruang pemulihan yang komprehensif. Livia merekomendasikan pengembangan Yayasan Penyintas berdasarkan progresifnya organisasi-organisasi bagi korban di beberapa negara maju dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif, seperti terapi seni berupa memahat atau melukis. Tidak hanya itu, Livia menegaskan pentingnya pemulihan berkesinambungan melalui bantuan usaha serta interkonektivitas Yayasan Penyintas di beberapa negara. Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh Livia untuk kerja LPSK kedepannya merupakan tanggapan atas kebutuhan pemulihan korban perempuan terorisme yang belum komprehensif. Tanggapan selanjutnya disampaikan oleh Dahlia Madanih selaku Koordinator Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan Komnas Perempuan. Dahlia melihat bahwa diskusi semacam ini perlu terus digalakkan dimana suara para penyintas dapat didengar sebagai upaya perbaikan dan persoalan yang dihadapi. Upaya ini selaras dengan upaya yang dilakukan Komnas Perempuan dalam beberapa periode yang berfokus melihat dampak peristiwa terorisme terhadap penyintas serta pengalaman penyintas dengan keluarga mereka. Komnas Perempuan melaksanakan sidang HAM secara khusus pada 2018 yang membahas dampak kepada korban peristiwa terorisme. Mereka juga aktif melakukan pencegahan dalam konteks radikalisasi, intoleransi serta diskriminasi. Pada tahun ini, Komnas Perempuan sedang menyusun rekomendasi mengenai situasi perempuan yang terdampak terorisme seperti di Poso, Surabaya, dan Bali. Dahlia melihat diskusi ini penting sebagai rekomendasi bagi pemerintah nasional dan daerah dalam konteks layanan medis, pemulihan jangka pendek dan panjang; mengelola depresi dan trauma; memberikan pemberdayaan ekonomi dan psikososial untuk mendorong perspektif gender dalam penanganan peristiwa terorisme. Organisasi Masyarakat Sipil perlu memberikan daftar hambatan serta harapan penyintas sehingga pemerintah tidak abai atas hal ini. Selain itu, Dahlia melihat organisasi korban dapat mendorong keterlibatan negara serta implementasinya di daerah. Negara perlu memfasilitasi perkembangan organisasi korban dan menuangkan standar operasional dalam layanan-layanan darurat bagi korban. Ditambah lagi, penting mendukung platform yang berpusat memberdayakan dan menguatkan korban. Korban terorisme di masa lalu berhak diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidup, terutama hak pendidikan bagi anak-anak mereka. Hal ini haruslah menjadi kepedulian sesama korban terutama pemerintah melalui LPSK dan Komnas Perempuan yang ikut serta mendorong dan memberikan masukan bagi pemerintah serta mendorong mengimplementasikan ruang bagi korban untuk mendapatkan layanan hak pemenuhan secara komprehensif dan berkelanjutan. (Lisa Aulia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |