Yayasan Museum Hak Asasi Manusia Omah Munir bekerja sama dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Yayasan Tifa menyelenggarakan Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir dengan tema “Hak Atas Kehidupan Yang Layak”. Suciwati, Dewan Pembina Yayasan Museum HAM Omah Munir, menyampaikan bahwa tema ini merupakan sebuah ajakan dukungan dan kepedulian kalangan seniman untuk mengampanyekan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia. Antusiasme dalam kompetisi ini pun tercermin dengan 80 lebih karya yang diterima, 77 karya diantaranya memenuhi kualifikasi untuk dinilai Dewan Juri. Pencarian pemenang berlanjut dengan memilih 10 karya terbaik, hingga pemilihan 3 karya finalis pemenang. Pengumuman pemenang dan pembukaan pameran karya Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir ini dilaksanakan pada hari Senin (27/5) bertempat di Perpustakan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat. Lebih jauh, Suciwati mengatakan bahwa keikutsertaan kalangan seniman dalam kompetisi ini membuktikan isu hak asasi manusia, khususnya hak atas kehidupan layak, adalah sebuah persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Beberapa karya yang dihasilkan oleh para seniman memotret persoalan spesifik, seperti hilangnya keadilan, diskriminasi minimnya layanan publik, serta sulitnya mendapat kehidupan yang nyata. Karya-karya tersebut juga menunjukkan tuntutan bagi negara untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM sesuai dengan konstitusi dan undang-undang yang berlaku. Selain itu juga membuktikan bahwa seni sesungguhnya berpihak pada nilai dan semangat HAM yang menolak segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. “Ketika media advokasi HAM lainnya terbelenggu, diabaikan oleh negara, maka saat itulah seni bicara. Sebab HAM adalah jantung seni, sebab seni adalah nurani,” tuturnya. Debra Yatim, perwakilan Yayasan Tifa, mengatakan bahwa seni rupa merupakan medium yang untuk mengekspresikan nurani manusia yang tidak dapat diurai dengan kata-kata. “Ketika kita tidak dapat berkata-kata dan berpendapat, marilah kita gunakan kreativitas kita untuk mengampanyekan hak hidup yang layak dan keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia,” ucapnya. Mengutip pada Albert Einsten, “creativity is contagious, pass it on!”, Debra berharap bahwa karya-karya yang dihasilkan kompetisi ini mampu memberikan inspirasi dan mendorong untuk menyampaikan pesan yang sama, yakni pesan yang menolak ketidakadilan dan penindasan HAM. Suzen HR. Tobing, Wakil Rektor Bidang Kerjasama, turut membacakan sambutan mewakili Seno Gumira Ajidarma, Rektor Institut Kesenian Jakarta dan Dewan Juri yang berhalangan hadir. Dalam tulisan Seno, seni bukan hanya sekadar pengetahuan namun juga literasi yang dihasilkan oleh perjumpaan dengan manusia dan pembaca benda seni sebagai teks yang dapat ditafsirkan kembali, “hubungan benda seni dan manusia yang semula personal dijadikan sosial, tempat kepentingan pribadi mengalami kontestasi kepentingan bersama. Lomba seni ini bukan hanya mendorong kerja seni berkualitas, melainkan juga kesadaran atas hak asasi manusia.” Karya-karya yang terpilih merupakan hasil penilaian dan diskusi lima orang dewan juri dengan beragam perspektif dan latar belakang. Kelima juri tersebut adalah Andi Achdian, Debra Yatim, Dolorosa Sinaga, Seno Gumira Ajidarma, dan Wardah Hafidz. Lebih jauh, Andi Achdian, selaku ketua dewan juri, menjelaskan bahwa kriteria yang digunakan diantaranya adalah relevansi karya dengan tema, aspek ekstetika, dan skill kreativitas. Menurutnya, inovasi atau kebaruan serta pengalaman dari karya yang dihasilkan merupakan poin terpenting dalam penilaian. Berdasarkan kriteria tersebut, terpilih 7 karya terbaik, yakni “Taksa” karya Gusti Raynaldi Cakramurti, “Ampun Pemerintah” karya Herdy Aswarudi, “Sentuhan HAM” karya Koko Sondaka, “Kesetaraan Gender” karya M. Farid, “Mbludak” karya Munir, “Menggapai Realita” karya Ndaru Ranuhandoko, dan “HaMunir” karya Rangga Samiaji Rinjani. Alfiah Rahdini dengan karyanya “Touch Me If You Dare” berhasil menempati juara kedua. Karya seni rupa Alfiah berupa patung yang menampilkan figur seorang perempuan yang sedang duduk, menggambarkan gestur angkuh. Di depan patung itu terukir pula tulisan, “you’ll be single forever if you touch this statue, but destiny is not in our hands.” Pasalnya, patung ini merupakan sebuah respons dan rekonstruksi atas patung Dewi Sunti Sunyaragi, sebuah patung sakral di Babad Cirebon yang ditakuti karena memiliki kisah sebagai seorang perawan tua hingga akhir hidupnya. Konon, siapapun yang memegang patung Dewi, akan mendapatkan kutukan yang sama. Melalui patung bergaya satir ini, Alfiah mencoba melawan mitos, persepsi, agama, dan budaya yang seringkali mengucilkan keberadaan dan keberanian seorang perempuan. Pemenang utama diraih oleh dua orang peserta, yakni Dessy Wahyuni dengan “Perjuangkan, Tumbuh, dan Berkembang” dan Raymond Gandayuwana dengan “For The Burnt Flower, I Race”. Menggunakan pictogram, karya Dessy menampilkan orang-orang yang terkurung dalam kotak. Kotak tersebut merupakan simbolisasi dari keterbatasan, keterkurungan, dan ketidakbebasan. Gestur orang-orang didalamnya mencerminkan perjuangan HAM, seperti perjuangan hak keadilan hukum, hak sandang pangan papan, hak pengobatan, dan lainnya. Dalam karya tersebut, ia menggambarkan perjuangan HAM yang terus tumbuh dan berkembang. Sementara, Raymond menghasilkan karya dengan merekonstruksi obyek keseharian. Menurutnya, salah satu pemenuhan hak atas kehidupan yang layak dapat diwujudkan melalui penyediaan sarana dan fasilitas umum, seperti fasilitas tenaga listrik. Karyanya mengajak pengunjung untuk menjadi bagian melalui gerakan mengayuh sepeda yang akan menghasilkan corak kelopak-kelopak bunga yang mengeluarkan panas dan nyala api. Karya seni rupa kesepuluh seniman ini dapat dinikmati di Area Pameran, Lantai 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat pada tanggal 23-29 Mei 2019. Selanjutnya, karya-karya pemenang tersebut akan pula dihadirkan dalam Museum HAM Omah Munir di Kota Batu, Jawa Timur. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |