Kesetaraan gender sudah menjadi isu yang kerap diperbincangkan dalam konteks akademik maupun sehari-hari. Seakan tidak ada habisnya, persoalan-persoalan terkait gender masih banyak terjadi di lingkungan masyarakat. Membahas hal tersebut, Mataharikecil Indonesia—sebuah komunitas nirlaba yang bergerak untuk mewadahi generasi muda Indonesia untuk menyebarkan kebaikan di bidang ekonomi dan pendidikan—bersama Jurnal Perempuan menyelenggarakan diskusi Samacil (Satu Jam Bersama Matahari Kecil). Diskusi tersebut dilakukan pada Selasa, 31 Mei 2022 melalui Instagram Live. Retno Daru Dewi G.S. Putri (redaksi Jurnal Perempuan) hadir sebagai narasumber, dipandu Farhan (Mataharikecil Indonesia) sebagai host. Diskusi ini terlaksana dalam rangka membahas Kebangkitan Nasional. Harapannya, diskusi Samacil dapat menggerakan perempuan untuk meraih hak kesetaraan di era kini.
Pada awal diskusi, Daru diminta menjelaskan awal ketertarikannya pada filsafat dan feminisme. Tersedianya berbagai teori yang berusaha menjawab persoalan yang terjadi pada perempuan di kesehariannya menandakan awal ketertarikan Daru terhadap feminisme. Selain itu, dia juga mempelajari filsafat dan feminisme secara lebih dalam selama masa kuliahnya di Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Berdasarkan pengetahuannya tersebut, Daru menilai kesejahteraan perempuan di masa kini tentunya sudah lebih baik dibanding masa lalu. Namun, kemajuan tersebut masih terganjal banyak hambatan. Misalnya, perempuan masih saja mengalami berbagai stigma yang merugikan, seperti perempuan lebih baik mengurus rumah tangga. “Perlu diperhatikan bahwa menjadi lebih baik belum tentu sudah mencapai kesempurnaan. (Kondisi kesetaraan gender sekarang—red) sudah oke, tapi masih banyak PR-PR yang perlu kita lakukan untuk menjamin kesejahteraan itu sendiri,” tuturnya. Daru juga menyinggung temuan riset Jurnal Perempuan. Dalam edisi terbaru, yaitu Jurnal Perempuan (JP) 111: Perempuan dan Perhutanan Sosial, terkuak bahwa masih banyak ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Dalam konteks perhutanan sosial, perempuan masih mendapatkan pemasukan yang lebih rendah untuk kerja yang sama dengan laki-laki serta kurang dilibatkan dalam program. Dengan privilese seperti akses internet dan gawai yang kita miliki, kita dapat mendalami feminisme melalui media sosial untuk mempelajari bagaimana kesulitan-kesulitan perempuan itu masih terjadi. Menurut Daru, perilaku seksisme menjadi salah satu kesulitan perempuan. Pendapat-pendapat seksis pun banyak ditemukan dalam keseharian kita. Daru memberi tips untuk melawan, yaitu dengan menegur orang yang berpendapat seksis. Teguran dapat diberikan secara perlahan, dengan mempertimbangkan latar belakang pemahaman orang tersebut, karena pemahaman dan pengalaman setiap individu tidak dapat disamakan. Selama pandemi juga perempuan mendapat efek negatif yang besar. Adanya kebijakan kerja dan sekolah dari rumah justru memerangkap perempuan pada kerja-kerja domestik sebagai norma gender. Hal ini tentunya memberatkan perempuan pekerja. Perempuan pekerja harus mengerjakan tugas kantornya dengan baik, sementara ia juga dibebani tanggung jawab membersihkan rumah dan merawat anak. Bila kinerjanya di kantor tidak maksimal karena dibebani kerja domestik, perempuan rentan didiskreditkan dan dilabeli “tidak mahir” di kantornya. Sebenarnya, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Di dalamnya terdapat kuota 30% pegawai atau direksi perempuan dalam instansi pemerintah. Angka 30% tersebut sudah dirumuskan dengan penuh pertimbangan, karena banyaknya perempuan pekerja yang memilih mengurus rumah tangga setelah memiliki anak. Meskipun ada peraturan tersebut, bila masih ada norma gender yang mengharuskan perempuan untuk tidak menyaingi karier suaminya, maka hasilnya akan tetap sia-sia. Riset di JP 111 menunjukkan, dalam program Perhutanan Sosial, keterlibatan perempuan masih minim walau diberi kuota 30%. Sebabnya, terdapat halangan adat, tidak dilibatkannya perempuan, hingga tidak didengarkannya perempuan dalam forum. Hal inilah yang membuat kebijakan pengarusutamaan gender terkadang terkesan hanya menjadi token. Daru menyebut, salah satu harapannya adalah dapat dimaksimalkannya kuota 30% untuk perempuan. Selain itu, dia juga berharap masyarakat Indonesia dapat menyadari konstruksi patriarki dan meninggalkan pola pikir tersebut. Seruan kesetaraan tanpa aksi nyata tidak membantu penyetaraan gender. “(Kesetaraan terhadap—red) perempuan itu langkah awal untuk mewujudkan masyarakat yang adil. Ada harapan juga kedepannya masyarakat mulai memperlakukan teman-teman kelompok marjinal secara setara, misalnya kelompok disabilitas,” ujar Daru. Selain itu, terdapat harapan agar semakin banyak riset mengenai feminisme yang dipublikasikan dan diumumkan, sehingga dapat menguak masalah perempuan dan mengatasi masalah tersebut, tutup Daru. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |