Pada Selasa (2/4/2024), Migrant CARE, sebuah organisasi sipil yang bergerak dalam kerja-kerja advokasi untuk isu pekerja migran Indonesia, menyelenggarakan bincang publik yang bertajuk “Ironi Perdagangan Orang Muda”. Kegiatan yang diselenggarakan secara bauran, yakni di Sekretariat Migrant CARE, Jakarta Selatan dan daring via platform Zoom ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya jumlah isu perdagangan orang yang selaras dengan bonus demografi Pada satu sisi, bonus demografi yang dicerminkan melalui tingginya proporsi individu pada usia produktif, sebenarnya mampu memberikan kekuatan ekonomi yang besar bagi suatu negara. Namun, melalui sisi lainnya hal ini juga dapat meningkatkan kerentanan kelompok muda tersebut untuk terjebak dalam situasi krisis penuh ketidakpastian kerja.
Kegiatan yang dimoderatori oleh Trisna Aresta (Migrant CARE) ini menggandeng beberapa pembicara, seperti Amalia Suri (Direktur Eksekutif emancipate.id), Safina Maulida (Milk Tea Alliance Indonesia), dan Dios Lumban Gaol (Serikat Buruh Migran Indonesia) guna menghadirkan perspektif yang holistik terkait isu perdagangan orang pada konteks ini. Pertama-tama, Wahyu Susilo (Direktur Migrant Care) dalam sambutannya menyoroti fenomena yang kembali mengagetkan Indonesia, yakni munculnya praktik kerja kasar berkedok magang, dikenal sebagai Ferienjob, yang menyasar mahasiswa Indonesia sebagai korbannya. Wahyu menyatakan bahwa praktik semacam ini seringkali membuat korban terjebak pada pusaran perdagangan orang. Ironinya, sebagian besar dari korban ini merupakan kelompok muda, tetapi justru isunya luput diperbincangkan dari perspektif mereka. “Ini menggiurkan bagi teman-teman muda untuk mendapatkan uang instan. Mereka ini sekarang resah dengan pekerjaan. Satu sisi, kita memang optimis dengan bonus demografi menuju Indonesia Emas. Namun, kita juga harus tetap kritis menghadapi puja-puji seperti itu karena kalau tidak dikelola dengan baik, maka ia dapat menjadi bencana demografi,” tegasnya. Amalia Suri memperkaya bincang publik kali ini dengan mengulas perihal definisi perbudakan modern. Baginya, hal ini dicerminkan melalui situasi eksploitatif yang membuat individu terjebak tanpa kemampuan untuk menolak atau melarikan diri karena ancaman yang kuat, kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penipuan yang dapat terjadi. Secara spesifik, data menunjukkan bahwa 71 persen korban dari perbudakan modern ini adalah kaum perempuan. Sementara itu, 25 persen korban dari perbudakan modern adalah anak-anak. Dios Lumban Gaol pada sisi lainnya menyoroti perihal pendefinisian “eksploitasi” yang seringkali disalahartikan oleh para penegak hukum. Korban yang tereksploitasi cenderung hanya dianggap ketika terjadi kekerasan atau penganiayaan semata. Namun, hal penting yang sering luput ialah bahwa eksploitasi dapat dimulai sejak awal, hanya dengan niat dan tindakan seperti proses perekrutan dan cara yang digunakan. Dios menegaskan bahwa terdapat tiga elemen kunci yang relevan dalam konteks eksploitasi ini, yaitu unsur proses, metode, dan tujuan. Unsur proses sendiri melingkupi rangkaian tata cara ketika para pekerja itu direkrut. Unsur metode berkaitan erat dengan cara mereka tertipu. Misalnya, penipu mensyaratkan penandatanganan dokumen yang menggunakan bahasa asing atau trik psikologis untuk menarik korban. Sementara itu, unsur tujuan merupakan akhir dari rangkaian eksploitasi tersebut, seperti pemerasan uang, perdagangan manusia, dan lain sebagainya. Narasumber terakhir, Safina Maulida, menambahkan wawasan perihal ekosistem dari perbudakan modern ini. Dirinya menyatakan bahwa konflik merupakan ekosistem paling nyaman untuk tindak pidana perdagangan orang, hingga perbudakan modern. Hal ini salah satunya tercermin melalui konsekuensi dari konflik Myanmar yang membuat warga negara mereka terjerat pada isu perdagangan orang. “Data menunjukkan bahwa 3000-an orang Myanmar telah terjerat scamming. Sementara itu, 700-an diantaranya termasuk ke dalam tindak pidana perdagangan orang,” sebutnya. Praktik perdagangan orang dan perbudakan modern bukan fenomena yang terjadi secara tiba-tiba. Ia memerlukan suatu pre-kondisi yang kompleks, dicerminkan melalui adanya militerisme, patriarki, dan kolonialisme. Di samping itu, lingkungan yang tidak pernah memberikan gambaran tentang pekerjaan dan lingkungan kerja yang layak, hingga interaksi yang setara dengan pemimpin perusahaan juga turut mendorong suburnya lahan perbudakan modern. Pada akhir paparannya, Safina menambahkan bahwa berefleksi mengenai ruang hidup ini melalui perspektif feminisme dapat menjadi alternatif untuk kita memahami dan mengatasi ketidaksetaraan dalam realitas sosial tersebut. Perspektif feminisme dapat memberikan eksplorasi cara baru untuk mendekonstruksi kondisi yang ada sehingga tercipta ruang aman bagi semua. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |