Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM) bekerja sama untuk merevisi Prosedur Standar Operasional (PSO) bagi Pelayanan Korban yang Terintegrasi, sebagai respon akan dampak pandemi Covid-19 terhadap upaya memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pendampingan kepada korban. Revisi PSO ini perlu karena kesulitan ekonomi akibat pandemi mengakibatkan perempuan, laki-laki dan anak-anak semakin rentan terjebak dalam perdagangan orang dan menimbulkan tantangan baru yang signikan bagi para pendamping untuk memenuhi hak-hak korban. Pembatasan pergerakan manusia mengakibatkan pendamping tidak dapat selalu mendampingi korban, namun di sisi lain, pembatasan pergerakan tidak menghentikan praktik perdagangan manusia dengan jumlah korban yang meningkat dari tahun lalu. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengatakan pada Jumat (30/7) bahwa tantangan dalam menghapuskan perdagangan orang menjadi lebih mengkhawatirkan lagi di masa pandemi Covid-19 karena krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi membuat kemiskinan meningkat.
“Sedangkan kemiskinan sendiri merupakan salah satu akar masalah dari tindak pidana perdagangan orang. Pada kenyataannya, kesulitan ekonomi adalah modus utama iming-iming yang diberikan kepada korban. Perempuan, anak, dan keluarganya seringkali diiming-imingi dengan kehidupan yang lebih sejahtera,” ujar Bintang dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian PPPA selama dua hari sejak Kamis (29/7), untuk memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang 2021 yang diperingati setiap 30 Juli. Theodora Suter, Wakil Kepala Misi IOM (International Organization of Migration) Indonesia, mengatakan bahwa revisi PSO dilakukan berdasar pada prinsip non-diskriminasi, non-stigma, pendekatan hak asasi manusia dalam menangani korban perdagangan orang. “PSO ini diharapkan dapat berkontribusi pada penguatan sistem rujukan yang ada termasuk yang diinisiasi oleh komunitas, dan mendukung pelayanan korban perdagangan orang yang optimal dalam kondisi pandemi Covid-19,” ujar Theodora. Di tahun 2020, IOM Indonesia mendampingi 154 korban perdagangan orang yang dieksploitasi secara tenaga kerja, seksual, atau keduanya, sedangkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat jumlah permohonan perlindungan saksi tindak pidana perdagangan orang di LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen pada 2020. Menurut Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar, kasus perdagangan orang terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia. Sementara menurut Uli Pangaribuan dari LBH APIK, dalam kasus-kasus tertentu, korban perdagangan orang juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami oleh seorang perempuan warga negara asing, LZ, yang menjadi korban kekerasan rumah tangga oleh suaminya seorang warga negara Indonesia. “LZ bersama IOM melaporkan kasusnya ke Polda Metro Jaya. Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa LZ adalah korban perdagangan orang,” ujar Uli. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak tahun 2020, perempuan dan anak korban perdagangan orang meningkat 62,5 persen. Data dari laporan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2015-2019 menunjukkan 2319 perempuan dan 329 laki-laki menjadi korban perdagangan orang. Angka yang tinggi ini tidak dibarengi dengan penegakan hukum yang kuat untuk memidana pelakunya, sehingga menjadi fenomena gunung es, berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Penyusunan Program, Laporan, dan Penilaian-Pidana Umum Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021, bahwa jumlah perkara TPPO menurun setiap tahunnya. Direktur Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan Agung, Idianto, dalam webinar hari Kamis mengatakan bahwa kasus yang terungkap di persidangan lebih sedikit daripada yang terjadi di masyarakat. Salah satu sebabnya, ujar Idianto, karena aparat penegak hukum lebih memilih untuk menggunakan Undang-undang (UU) No. 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dibandingkan UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO. Beberapa panelis dan penanggap dalam webinar di Kamis dan Jumat membenarkan hal tersebut, dan mengatakan bahwa menggunakan UU No. 18/2017 mengakibatkan hak-hak korban perdagangan orang terabaikan. “Banyak korban yang tidak mengerti hukum, tidak mengetahui jalur pelaporan, serta merasa takut dan merasa terancam,” ujar Idianto. Untuk merespon kebutuhan perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan orang dan memerlukan perlindungan khusus, Kementerian PPPA telah meluncurkan layanan telpon Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129. “Setiap laporan pengaduan yang masuk akan ditindaklanjuti dengan cepat dan tetap memprioritaskan pemenuhan hak-hak korban sesuai kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi mereka,” ujar Bintang, Menteri PPPA. (Ismira Lutfia Tisnadibrata). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |