Industri perfilman menjadi salah satu ranah industri yang menjanjikan. Pasalnya, industri ini didorong untuk terus berkembang seiring dengan kondisi sosial masyarakatnya, sehingga tidak kehilangan daya tarik dan tetap menjadi relevan. Sayangnya, sebagai salah satu industri kreatif, industri perfilman masih menyimpan beberapa sisi kelam yang ditutup-tutupi untuk kelancaran film. Contohnya adalah kekerasan seksual. Fenomena tersebut kini kerap mencuat seiring dengan gencarnya kampanye #metoo di jagat digital. Cerita-cerita para penyintas mulai melucuti borok di belakang layar film-film terkemuka. Membahas fenomena tersebut, LETSS Talk bekerja sama dengan Konde.co meluncurkan talkshow “Wajah Kekerasan Seksual dalam Industri Film Indonesia” pada Minggu (16/10/2022) lalu. Acara ini dilaksanakan secara online. LETSS Talk mengundang Nan T. Achnas (sutradara dan produser), Yessy Gusman (aktris senior, dosen London School of Communication and Business Institute, Jakarta), Enison Sinaro (sutradara), Sandy Nayoan (aktor, Pengacara dan Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Wartawan Online – LBH IWO), dipandu Luviana (Pemimpin Redaksi Konde.co) sebagai moderator.
Luviana dalam kapasitasnya sebagai moderator mepaparkan beberapa hal untuk memantik diskusi. Ia menuturkan, industri film kini didorong untuk lebih terlibat pada isu sosial, salah satunya kekerasan seksual. Demikian, ia melempar pertanyaan, bagaimana industri film merespons kekerasan seksual? Berdasarkan temuan Konde.co, telah terjadi beberapa kasus kekerasaan seksual di lingkungan film dilakukan oleh rekan sejawat korban. Hal ini hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang menjelma sebagai gunung es dalam industri perfilman. Nan T. Achnas membuka sesi diskusi. Menurut pengalamannya, tidak ada upaya menutupi kasus kekerasan seksual di industri film. Sejauh yang diketahuinya, produser maupun pembuat film perempuan akan mengekspos dan menyelesaikan kekerasan seksual yang terjadi dalam pembuatan film. Nan juga menambahkan, menurutnya industri film di Indonesia justru dibangkitkan oleh perempuan. Pada akhir era jabatan Presiden Soekarno, sempat terdapat kekosongan produksi film lokal selama kurang-lebih satu dekade. Tokoh-tokoh yang membangkitkan industri kreatif ini adalah perempuan. “Setelah Reformasi, yang memiliki kekuasaan untuk menentukan keberadaan sebuah film adalah perempuan,” ujar Nan. Selanjutnya, aktris senior Yessy Gusman menyampaikan beberapa pengalamannya. Ia pernah mendengar cerita dari seorang temannya ketika temannya itu ditawarkan bermain film dan berakhir disekap oleh orang yang menawarinya. Temannya diundang ke suatu rumah oleh produsernya, lalu dikunci di rumah tersebut. Teman Yessy itu hanya bisa berdoa, hingga ia menemukan satu pintu yang dapat dibuka, dan akhirnya melarikan diri. Selain itu, Yessy juga menceritakan tentang teman lain yang dimanipulasi oleh pasangannya—seorang pekerja industri film juga—bahwa bila mereka berhenti berhubungan, karier perfilman temannya akan dipersulit. Dengan kondisi kini, dimana banyak pembuat film perempuan, Yessy berharap situasi penuh intimidasi tersebut lekas membaik. Enison Sinaro menyambung paparan Yessy. Baginya, di dunia film, agak sulit menentukan suatu hal sebagai kekerasan seksual atau bukan. Sebab, seringkali terdapat peristiwa yang dilandasi perasaan suka sama suka—konsensual—dan juga peristiwa sebaliknya yang tidak didasari konsen. Berdasarkan pengalamannya, pada kisaran tahun 80-an, tidak pernah terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan kerjanya. Enison menekankan kesulitan dalam mendeteksi kekerasan seksual, karena ada garis tipis antara affair yang konsensual dan kekerasan seksual. Namun begitu, ia juga mengafirmasi adanya tindakan manipulatif dan intimidatif di balik layar sinema Indonesia, seperti calon aktor baru yang harus berada di bawah pengaruh atau tekanan tokoh-tokoh besar dalam dunia perfilman. Mereka mau tidak mau harus tunduk karena adanya relasi kuasa yang besar. Relasi kuasa inilah yang membuat keadaan aktor maupun pembuat film baru menjadi rentan. Mengiyakan pengalaman Enison, Sandy Nayoan juga tidak melihat adanya kekerasan seksual di lingkungan kerjanya pada kisaran tahun 80-an dan 90-an. Namun, di luar lingkarannya, terdapat beberapa kekerasan seksual yang ia ketahui. Contohnya ketika syuting adegan-adegan tertentu, terkadang terdapat kru yang meminta aktor untuk menunjukkan lebih banyak bagian tubuhnya, seperti menurunkan rok atau baju. Sandy menyatakan, hal itu sudah termasuk dalam kekerasan seksual verbal. Kekerasan seksual verbal berbahaya dalam lingkungan kerja perfilman terutama karena proses syuting di era 80-an sampai 90-an cenderung lebih panjang daripada di era kini. Alhasil, aktor berada dalam lingkungan rentan dalam waktu yang lama. Olin Monteiro mengisi sesi berikutnya dengan paparan mengenai banyaknya kekerasan seksual di lingkungan kerjanya. Sebagai pembuat film perempuan, ia menyaksikan dan mengalami sendiri kekerasan seksual berbentuk verbal, seperti catcalling di ruang kerjanya. Olin sempat membuat survei beberapa saat sebelum pandemi, yang mendata kekerasan seksual kepada pekerja film. “Dari 120 orang yang mengisim form, ada 98 orang yang mengalaminya (kekerasan seksual—red),” jelas Olin. Bahkan, rentang peristiwa kekerasan seksual tersebut adalah dari 10 tahun ke belakangan. Olin menambahkan, casting marak menjadi tempat kekerasan seksual. Calon aktor yang seharusnya menunjukkan bakat aktingnya justru diminta membuka pakaian, dipegang, diraba, hingga mendapat body shaming saat casting. Atas hal itu, sudah seharusnya pembuat film berhenti menormalisasikan kekerasan seksual dan menganggapnya sebagai cinta lokasi belaka. Berita baiknya, sudah ada beberapa kantor yang membuat kebijakan anti kekerasan seksual di lingkungannya. Juga, menindak tegas pembuat film yang terbukti melakukan kekerasan seksual, baik di dalam lingkungan perfilman maupun di luar lingkungan tersebut. Sebagaimana lingkungan kerja lainnya, lingkungan industri film hendaknya memberikan perlindungan pada segenap pekerjanya. Oleh karena itu, pembuatan kebijakan yang pro pada korban menjadi penting dalam industri film. kesadaran individu akan adanya batasan-batasan juga dapat mencegah adanya kekerasan seksual. Diskusi ini menunjukkan urgensi perombakan kultur sinema di Indonesia. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |