KAFFE September: Menelisik Mitos, Peran, dan Partisipasi Perempuan dalam Mewujudkan Perdamaian4/10/2022
Dalam berbagai narasi yang beredar di masyarakat, perempuan digambarkan memiliki keterkaitan yang erat dengan perdamaian. Terdapat suatu perbedaan bernuansa dikotomis, yakni maskulinitas laki-laki cenderung diasosiasikan dengan hierarki, kekerasan, dan opresi, sedangkan femininitas perempuan dinilai memiliki kedekatan dengan kehidupan dan perdamaian. Meskipun demikian, tidak jarang perempuan justru dikesampingkan seolah-olah tidak berhak atas ruang dan kesempatan untuk ikut andil dalam resolusi konflik dan negosiasi perdamaian. Namun di sisi lain, kita tidak boleh luput dengan kasus ketika perempuan tidak selalu berada di pihak perdamaian, sebagaimana juga laki-laki yang tidak selalu mendukung peperangan. Agar dapat menganalisis persoalan terkait perempuan dan perdamaian dengan lebih dalam, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggandeng Sri Lestari Wahyuningroem, seorang dosen Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta dan penerima beasiswa Fulbright pada Kennedy School of Government di Harvard University, pada kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) edisi bulan September 2022. KAFFE September bertajuk “Feminisme dan Peran Perempuan dalam Menggerakkan Perdamaian”. Kegiatan ini dilaksanakan secara dalam jaringan (daring) pada Kamis (29/9) lalu dan dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku bagian dari redaksi Jurnal Perempuan.
Sri Lestari Wahyuningroem yang akrab disapa Ayu membuka kelas dengan pemaparan mengenai gagasan womanhood dan motherhood. Secara historis, masyarakat memegang keyakinan bahwa perempuan memiliki peran dan kepentingan dengan perdamaian. Menjaga perdamaian merupakan sesuatu yang krusial bagi perempuan sebagai sosok yang diberikan peran merawat kehidupan. Contohnya pada tahun 1960-an di Amerika Serikat, di saat konflik tengah bergejolak, berlangsung Women Strike for Peace yang diikuti oleh perempuan khususnya ibu-ibu yang membawa serta anaknya mengikuti aksi demonstrasi. Tindakan ini merupakan manifestasi dari konsepsi motherhood yang diinternalisasi oleh perempuan. Kemudian, gagasan ini menerima beberapa tanggapan substansial terkait relasi antara perempuan dengan perang. Pertama, gagasan ini dikritik menerima posisi motherist yang merupakan bentuk subordinasi terhadap perempuan. Alih-alih mengehentikan perang, motherhood atau womanhood dipandang melanggengkan patriarki dan militerisasi yang sarat akan kekerasan. Tanggapan kedua dari pemikir masa kontemporer justru melihat adanya suatu keperluan bagi perempuan untuk ikut memperjuangkan perdamaian sebagai upaya meraih kontrol dan keadilan terhadap hidupnya yang diopresi oleh patriarki. Dari sisi yang sama, feminisme kultural berpendapat bahwa perempuan memiliki peran sebagai caretaker atau pengasuh, sementara laki-laki sebagai sosok individual yang kompetitif sehingga perlu adanya partisipasi dari perempuan untuk menunjukkan kultur alternatif yang dapat menggantikan kultur dominan. Akan tetapi, pandangan feminisme kultural tidak luput dari kritik. Pada dasarnya, feminisme kultural dinilai menggunakan dikotomi hierarkis yang memutar balik posisi perempuan menjadi sosok yang superior dan laki-laki menjadi sosok yang inferior. Selain itu, pandangan ini juga digugat karena dinilai terjebak pada esensialisme peran dan posisi perempuan serta laki-laki. Ayu melanjutkan diskursus dengan menunjukkan adanya kompleksitas dalam melihat perempuan dan posisinya dalam konteks pemerintahan dan militer. Jika perempuan dipercayai sebagai penjaga perdamaian, lantas bagaimana dengan perempuan-perempuan yang--dalam konteks pemerintahan dan militer--mendukung terjadinya perang? Pertanyaan ini kemudian mengarahkan kita pada pembacaan kritis dimana perempuan pada posisi-posisi tersebut dihadapkan pada situasi yang membuat mereka memilih untuk mengenakan atribut patriarki dalam menjalankan tugas mereka. Mengenai hal ini, Ayu merujuk kajian Charlesworth yang mengungkapkan tiga hal mengenai relasi perempuan dengan perdamaian. Pertama, terdapat begitu banyak efek kontradiktif terhadap perempuan dalam konteks perdamaian. Selanjutnya, menurut Charlesworth, kita membutuhkan lensa baru dalam melihat posisi dan partisipasi perempuan yang dinilai ambivalen dalam resolusi konflik dan membangun perdamaian. Hal ini juga meliputi fakta bahwa tidak hanya perempuan yang menerima dampak dari perang dan konflik. Kerentanan suatu kelompok atau individu tergantung pada posisi dan hierarki yang berlaku di masyarakat sehingga Ayu menawarkan penggunaan pendekatan yang bersifat transformatif, setara, dan adil dalam menghilangkan marjinalisasi dan diskriminasi dalam konteks konflik dan perdamaian. Pendekatan yang dimaksud adalah Transitional Justice (TJ). TJ menggunakan pendekatan berlandaskan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak hanya mengutamakan perspektif korban, tetapi juga membuka ruang dialog sebagai transisi konflik ke arah perdamaian. Pendekatan keadilan transisional ini memiliki irisan dengan pendekatan perdamaian yang sudah digunakan sejak dulu. Irisan tersebut terletak pada bagaimana keduanya menyoal tentang peran serta partisipasi perempuan dan kelompok gender lain pada masa konflik dan sesudahnya. Kehadiran TJ sebagai pendekatan alternatif menjadi tawaran yang menarik dalam isu konflik dan perdamaian. TJ tidak hanya meninjau bagaimana suatu konflik perlu diselesaikan, tetapi juga bagaimana konflik tersebut diselesaikan dengan cara yang melibatkan akses dan partisipasi perempuan serta kelompok gender lain sehingga tercapai perdamaian yang adil, setara, dan berkelanjutan. Sebagai penutup kelas, Ayu menyampaikan bahwa perempuan merupakan pihak yang penting dalam upaya mewujudkan perdamaian. Oleh karena itu, pelibatan dan partisipasi aktif perempuan dapat menjamin tidak hanya perdamaian, tapi juga keadilan gender. (Nurma Yulia Lailatusyarifah). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |