Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan dominasi utama dalam berbagai peran di masyarakat. Patriarki menjelma menjadi berbagai produk yang diamini oleh masyarakat melalui banyak medium, salah satunya sastra. Dalam kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) yang bertajuk “Sastra, Feminisme, Seks, dan Kesetaraan Gender”, pada Sabtu, 29 September 2023, Soe Tjen Marching selaku dosen di School of Languages, Cultures, and Linguistics, SOAS University of London, memberi materi soal bagaimana sastra dapat merepresentasikan posisi pemikiran perempuan, mendekonstruksi tatanan patriarkal, serta menempatkan penulis dan pembaca sebagai subjek utama. Soe Tjen memulai dengan mengungkit bagaimana sastra memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi yang beredar dalam masyarakat. Ia memberi contoh genosida pada masa kepemimpinan Soeharto di Indonesia. Lanjutnya, rezim Soeharto membangun konsep bahwa komunis layak dibasmi. Setelah konsep tersebut diterima oleh masyarakat, baru ia melancarkan pembunuhan massal terhadap tertuduh komunis. Masyarakat membiarkan hal itu karena telah terbentuk persepsi bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan heroik.
Menurut Soe Tjen, pemerintah yang otoriter cenderung membungkam perkembangan sastra. Sebab sastra merupakan medium efektif untuk menyebarkan sebuah narasi dan konsep. Dalam sejarah perkembangan sastra di Indonesia sendiri, ia membaginya melalui tiga periode: sebelum Orde Baru (Orba), pada Orba, dan setelah Orba. Sebelum Orba, terdapat banyak nama sastrawan perempuan. Seperti Sujinah, Siti Rukiah, Sugiarti Siswadi sebagai sastrawan perempuan yang kemudian dipersekusi oleh Orba. Kemudian pada masa Orba, muncul nama-nama seperti Marga T., Ike Supomo, Mira W. Mereka menggambarkan perempuan hanya berperan memenuhi fungsi-fungsi domestik dan nilai yang terletak hanya pada kecantikan. Produk sastra mereka mengemas seolah penyelesaian masalah yang ideal bagi perempuan adalah menikah. Dalam KAFFE tersebut, Soe Tjen menghadirkan contoh sajak W.S Rendra yang menggambarkan istrinya sebagai putri duyung tawanan. Betapa perempuan digambarkan sebagai makhluk lemah ini berangkat dari ketakutan akan perempuan berujung pelemahan. Sebab hanya perempuan yang dapat melahirkan dan laki-laki berupaya mengontrol hal tersebut. Ini juga berhubungan mengapa pembahasan seks menjadi tabu bagi perempuan. Hal demikian membuat para sastrawan perempuan memberontak melalui tulisan-tulisan yang membahas soal seks. Pada tahun 1998, ada perubahan sastra di Indonesia. Muncul julukan Sastra Wangi karena dianggap berdekatan dengan sesuatu yang wangi. Julukan ini berasal dari laki-laki, sedangkan para penulisnya sendiri tak suka dengan sebutan tersebut. Soe Tjen menyebutkan, periode Sastra Wangi ini dimulai dari Ayu Utami dengan novelnya yang berjudul Saman. Menceritakan seorang perempuan yang sering melakukan seks dengan laki-laki, berujung tidak dihormati dan dimaki oleh ayah dan kakaknya. Beberapa sastrawan seperti Taufik Ismail dan Suwartini sebagai contoh sastrawan yang turut mengkritik penulis-penulis yang mengangkat tema seksual. Mereka dianggap memalukan dan tidak mencerminkan nilai-nilai dan budaya pada masyarakat. Soe Tjen mempertanyakan ulang, mengapa harus mengkerdilkan seks? Terlebih stigma besar yang dilekatkan oleh sastrawan perempuan yang menulisnya. Padahal tanpa seks, maka kita tak pernah ada. Polemik-polemik sastra dan perempuan tersebut tentu membawa dampak jauh. Sastra sebagai medium efektif berhasil menciptakan persepsi perempuan ideal dalam masyarakat. Bahwa perempuan harus lebih memperhatikan sikap serta kecantikan. Perempuan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak ingin punya anak dianggap sebagai sebuah ancaman. Propaganda atau penyebaran paham patriarki tidak hanya mendarat pada pola pikir laki-laki tetapi juga perempuan. Berujung pada perempuan yang berperilaku mengikuti selera pasangannya atau mengikuti pasar yang berkiblat pada patriarki, tutup Soe Tjen. (Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |