KAFFE Oktober: Islam yang Berperspektif Feminis dalam Pemaknaan Toleransi dan Kemanusiaan20/10/2022
Isu toleransi masih menjadi topik hangat dikalangan masyarakat saat ini. Aktualisasi toleransi dalam pemahaman beragama masyarakat masih diwarnai oleh berbagai macam pandangan, sehingga rentan memicu pertikaian. Agama yang seharusnya menjadi wilayah perdamaian, justru menjadi wilayah untuk saling berkonflik. Pada dasarnya, agama berdiri di atas prinsip toleransi sebagai titik temu untuk memahami perbedaan, tetapi tak jarang agama justru disusupi oleh berbagai kepentingan dan manipulasi politis. Agama sebagai pembawa kebaikan bagi umatnya justru berbalik memicu pertikaian antar sesama umat manusia. Untuk edisi Oktober 2022, kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) yang rutin diadakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) kali ini mengajak peserta untuk berdiskusi lebih jauh mengenai isu toleransi beragama. Tajuk utama diskusi online pada Jumat (18/10/2022) lalu tersebut adalah Islam dan Toleransi: Otoritas Keagamaan dengan Dasar Kemanusiaan. Narasumber yang memantik diskusi untuk kajian toleransi dalam KAFFE Oktober kali ini adalah seorang tokoh intelektual muslim tanah air yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, yakni Mun'im Sirry. Diskusi yang dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku redaksi Jurnal Perempuan.
Mun’im Sirry yang akrab disapa Mun’im ini mengawali KAFFE dengan menerangkan tentang pendekatan revisionis yang digunakannya dalam membaca sejarah Islam. Pendekatan revisionis ini sangat dekat dengan pendekatan feminis. Keduanya merupakan suatu bentuk resistensi atau upaya untuk mendobrak paradigma dominan yang cenderung hegemonik. Keduanya juga memiliki semangat yang sama untuk mencari jawaban alternatif yang tidak ortodoks atau tidak konvensional dalam menyelami konsep Islam sehingga kompatibel dengan prinsip-prinsip toleransi atau kebebasan beragama. Lebih lanjut, Mun’im membawa peserta masuk pada materi melalui suatu pertanyaan yang selama ini kerap muncul dalam diskusi tentang Islam dan toleransi. Pertanyaan tersebut adalah, “Apakah Islam merupakan agama yang toleran atau tidak?”, atau “Apakah islam kompatibel dengan prinsip-prinsip toleransi atau kebebasan beragama?”. Mun’im menerangkan, pertanyaan semacam itu sangat sering diajukan oleh berbagai kalangan, termasuk dari internal masyarakat muslim. Terutama, ketika diskusi agama dikaitkan dengan konsep-konsep modern, seperti misalnya Islam dengan toleransi, Islam dengan demokrasi, Islam dengan hak asasi, bahkan Islam dengan kebebasan religi. Mun’im menjelaskan, pertanyaan-pertanyaan demikian tergolong sebagai suatu binary question yang memiliki jawaban yang terbatas pada pilihan ‘ya’ atau ‘tidak’ maupun ‘positif’ atau ‘negatif’, terhadap prinsip-prinsip toleransi atau kebebasan beragama. Binary question tersebut cenderung mengabaikan kompleksitas masalah yang menyangkut pemaknaan toleransi. Pemaknaan toleransi yang dijabarkan oleh Mun’im merupakan suatu pendasaran konsep toleransi, dimana makna toleransi akan berbeda bagi orang yang berbeda. Pemaknaan toleransi yang paling dasar seperti memberikan kebebasan untuk berkeyakinan sesuai dengan kehendaknya sejatinya belum mampu mengakomodasikan nilai-nilai penting dari toleransi. Berdasarkan hal tersebut, Mun’im mengajukan suatu pertanyaan yang sama sekali berbeda dengan pertanyaan terdahulu. Pertanyaan tersebut adalah, “Dalam pengertian apa atau menurut siapa Islam atau agama apapun bersifat toleran atau intoleran, kompatible atau tidak kompatibel dengan konsep toleransi?”. Mun’im menjelaskan bahwa pertanyaan ini menjadi lebih relevan karena tidak mengabaikan kompleksitas masalah atas pemaknaan toleransi. Kompleksitas tersebut dapat dipahami sebagai suatu aksi yang tidak hanya memberikan kebebasan perihal aktivitas beragama. Lebih dari itu toleransi seharusnya mampu memberikan suatu proteksi terhadap masyarakat yang diganggu kebebasan beragamanya. Opsi pertanyaan terkait Islam dan toleransi tersebut menjadi gerbang pembuka bagi Mun’im untuk melihat bagaimana pandangan muslim feminis untuk menjawab toleransi atau egalitarianisme dalam Islam. Kalangan muslim feminis memiliki posisi yang cukup menonjol ketika menyuarakan perspektif gender dalam memahami teks-teks fondasional, yakni Alquran. Salah satu tokoh sarjana muslim feminis yang diterangkan oleh Mun’im adalah amina wadud. Sebagai seorang sarjana muslim feminis, amina wadud cukup menonjol karena mengembangkan metode hermeneutika gender dalam memahami teks Alquran. Amina wadud dalam kajian-kajiannya berupaya melihat Alquran sebagai teks yang toleran terhadap perempuan. Salah satu buku amina wadud yang terbit pada tahun 1999 berjudul Qur’an and Woman mencoba menelusuri suara-suara perempuan dalam Alquran yang berkaitan dengan keadilan sosial, keadilan gender, ataupun apakah Alquran bersahabat dengan perempuan. Mun’im melanjutkan materinya dengan menguraikan tiga pendekatan penting yang dikembangkan oleh amina wadud dalam melihat Alquran sebagai teks yang toleran atau egalitarian terhadap keadilan sosial maupun keadilan gender. Pertama adalah upaya untuk menjadikan pembaca sebagai subjek, dimana pembaca memahami teks Alquran dengan menekankan agensi dari pembaca. Alquran dapat bersuara berbeda sesuai dengan moral pembacanya. Jika pembacanya intoleran, maka demikian pula naskahnya akan ditafsirkan secara intoleran. Jika Alquran dibaca dalam perspektif gender maka makna Alquran akan memiliki semangat egalitarianisme, begitu pula sebaliknya. Kedua, kitab suci perlu dianalisa dari perspektif historis, hal ini menjadi penting untuk mengetahui mana makna yang bersifat universal dan mana makna yang temporal atau partikular. Ketiga, adalah bahwa amina wadud berpendapat perlu adanya penafsiran Alquran melalui perspektif gender. Hal ini sangat terkait dengan adanya kecenderungan dominasi laki-laki dalam memaknai Alquran. Tokoh muslim feminis kedua dalam diskusi KAFFE adalah Asma Barlas. Asma Barlas sendiri merupakan seorang political scientist yang memiliki pengalaman dengan pemaknaan Alquran yang cenderung patriarkis. Hal tersebut kemudian mendorong Asma Barlas untuk menulis buku Believing Woman in Islam yang terbit pada tahun 2022. Bagi Asma Barlas, kitab suci terutama Alquran sesungguhnya memiliki semangat egalitarian, tetapi karena adanya dominasi laki-laki dalam memahami Alquran menyebabkan tertindasnya hak-hak perempuan. Asma Barlas menuliskan bahwa Alquran menjadi kitab suci yang mengakui secara eksplisit bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara. Kata believing woman dalam karya Asma Barlas itu sendiri diambilnya langsung dari salah satu ayat Al-Quran yang menerangkan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Paparan materi dari Mun’im menunjukkan penekanan mengakar pada pandangan muslim feminis, seperti amina wadud dan Asma Barlas, bahwa Alquran merupakan kitab suci yang bersahabat dengan hak-hak perempuan. Oleh karena itu, Alquran hendaknya dapat dipahami sebagai kitab yang menjunjung toleransi. Munculnya tafsir intoleran dan misoginis terjadi karena pemaknaan Alquran yang terbatas pada penafsiran laki-laki. Atas hal tersebut, Mun’im memberanikan peserta KAFFE Oktober untuk mencari pemaknaan terhadap Alquran dan Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan gender. (Kadek Ayu Ariningsih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |