Gelar kelas KAFFE (Kajian Feminisme dan Filsafat) merupakan salah satu rutinitas bulanan Yayasan Jurnal Perempuan. Pada edisi Oktober 2023, tema yang menjadi tajuk dalam diskusi ini adalah “Gilles Deleuze: Sastra dan Perjuangan Perempuan”. Kegiatan ini dilangsungkan melalui Zoom Meeting pada Jumat (27/10/2023) lalu. Partisipan yang turut hadir dalam kelas KAFFE kali ini berjumlah sekitar 30 orang. Kelas KAFFE menghadirkan Dr. J. Haryatmoko SJ. atau yang akrab disapa Romo Moko sebagai pengajar. Romo Moko adalah seorang akademisi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Tahun lalu, beliau pernah mengisi kelas KAFFE juga. Pada kesempatan kali ini, kelas KAFFE membahas pemikiran Gilles Deleuze. Deleuze adalah seorang pemikir laki-laki yang memaknai perjuangan perempuan melalui sastra dalam proses menjadi atau becoming perempuan dalam karya-karya sastra, tutur Retno Daru G. S. Putri, moderator dalam kelas ini. Dalam diskusi yang dihadari oleh sekitar 30 partisipan tersebut, Romo Moko membagi pemaparan materinya dalam beberapa bagian penting. “Pertama, saya akan menjelaskan konsep sastra sebagai paradigma kehidupan,” imbau Romo Moko membuka pemaparan materi. “Lalu, saya juga akan membahas hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, mengapa sastra lebih lantang berjuang untuk perempuan, bagaimana sastra melampaui tatanan moral untuk memupuk imajinasi dan bagaimana istilah sastra menjadi perempuan,” tambahnya. Konsep filosofis Deleuze tentang becoming dipakai Romo Moko sebagai tinjauan untuk melihat peran sastra dalam kehidupan perempuan. Ia mengakui bahwa sastra memiliki posisi istimewa untuk menyuarakan perjuangan kaum perempuan. Sastra membantu perempuan untuk mengaktulaisasi dirinya yang otentik. Posisi sastra yang istimewa dalam perjuangan hak perempuan sebabkan oleh sastra dapat menyentuh perasaan dan membangkitkan imajinasi kolektif perempuan. Secara historis, beberapa karya sastra yang muncul pada akhir abad-19 menjadi sarana yang dipakai kaum feminis untuk menentang dominasi patriarki. “Sejak lama sastra menjadi medan bagi penulis untuk mengekspresikan tema gender, penindasan, dan pembebasan. Sastra memiliki kapasitas untuk menawarkan ilustrasi yang beragam tentang pengalaman hidup perempuan,” tutur Romo Moko. “Itu sebabnya, sastra lebih lantang berjuang untuk perempuan. Sastra menjadi garis terdepan dalam membahas isu-isu sosial termasuk emansipasi perempuan.” Bagi Romo Moko, sastra memiliki bahasa yang lebih lantang berbicara daripada filsafat dan teologi. Sastra melahirkan keindahan untuk merengkuh kehidupan yang berwarna. Sastra juga mempunyai kekuatan di dalam narasi dan empati. Sastra dapat membantu pembaca untuk bercermin dan menemukan kemanusiannya sendiri. Kekuatan sastra yang luar biasa bahkan sanggup menyingkap apa yang disembunyikan oleh realitas. Dalam paparan materi yang dibawakan, Romo Moko membuat uraian filosofis tentang dinamika becoming atau menjadi dalam karya-karya Deleuze. Ia menyinggung buku “Mille plateaux: Capitalisme et Schizophrenie” karangan Deleuze yang mendiskusikan perubahan sifat sastra dan hubungannya dengan gender dan subjektivitas. Deleuze menggunakan frasa “menjadi perempuan” untuk menyebut dinamika penemuan diri perempuan dalam sastra. Deleuze meyakini bahwa sastra dapat menjadi cerminan yang membantu perempuan merefleksikan kembali keutuhan dirinya dalam sebuah proses menjadi. “Menjadi perempuan adalah konsep metaforis yang menantang gagasan tradisional tentang identitas dan kategori yang bersifat tetap. Dalam filsafat Deleuze istilah ‘menjadi’ merujuk pada proses transformasi dan perubahan, di mana entitas tidak tetap, melainkan terus berkembang dan masuk ke dalam relasi-relasi yang baru,” ujar Romo Moko. Konsep menjadi perempuan dipakai Deleuze untuk menantang gagasan tradisional tentang identitas dan perbedaan biner. Bagi Deleuze, sastra menjadi suatu dunia yang memberi arah baru bagi refleksi tentang kedudukan dan peran perempuan. Di dalam sastra, perempuan menjadi pribadi yang sedang berupaya untuk mengaktualisasi dirinya secara utuh. Itu sebabnya, sastra dipakai sebagai sarana untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Sastra membongkar semua bentuk penindasan pada perempuan. Seperti penjelasan Romo Moko, “Sastra membebaskan diri dari kategorisasi dan batasan yang kaku dan mengadopsi kualitas-kualitas yang terkait dengan fluiditas, multiplisitas, dan keterbukaan yang mereka kaitkan dengan konsep tentang perempuan sebagai sebuah proses menjadi.” Sastra dapat melampaui identitas gender dan dan merangkul modus eksistensi yang lebih terbuka dan transformatif, tambah akademisi ini. Deleuze dalam pandangan Romo Moko dilihat sebagai pemikir yang sangat kritis terhadap konsep-konsep yang bersifat biner dan mengkategorikan dunia ke dalam pasangan yang kaku. Konsep menjadi memecah perbedaan biner dan menunjukkan bahwa identitas tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah dan terus berkembang. Konsep menjadi adalah sebuah usaha untuk mengadopsi ciri-ciri yang diasosiasikan dengan feminine seperti keluwesan, keragaman, keterbukaan terhadap interpretasi, alih-alih terkungkung dalam batas-batas norma patriarki yang kaku. “Sastra tidak lagi terbatas pada norma yang bersifat sempit, melainkan menjadi ruang untuk mengeksplorasi identitas, pengalaman, dan perspektif yang cair dan beragam,” jelas Romo Moko. Partisipan sangat antusias mendengarkan pemaparan materi dari Romo Moko. Mereka mengajukkan sejumlah pertanyaan seputar tema diskusi. Di akhir diskusi, Daru memberikan rangkuman singkat terkait gagasan Deleuze soal posisi sastra dalam kehidupan kaum perempuan. Ia mengungkapkan kelebihan sastra yang sanggup menjawab kegundahan situasi perempuan dalam keseharian hidup. Melalui sastra, penulis juga bisa mengeksplorasi tema-tema sosial dengan kritikannya. Sifat sastra adalah tidak menggurui tetapi menawarkan konsep paradigma kehidupan dan menyampaikan hasrat pengarangnya, terutama jika penulisnya adalah seorang perempuan.
“Ini penting bagi perempuan, karena perempuan memiliki konsep metaforis menjadi perempuan yang menentang gagasan tradisional tentang identitas. Dan ketika kita bicara soal pemikiran Deleuze, Deleuze juga menentang konsep biner dalam sebuah karya sastra,” pungkas Daru. (Maria Noviyanti Meti). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |