Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

KAFFE November 2023: Perempuan dan Ketersingkiran dari Ruang Politik

14/11/2023

 
Picture
     Menurut data dari World Bank (2019), negara Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di ruang politik formal. Ketika sudah berpartisipasi pun, perempuan yang terlibat dalam ruang publik tidak jarang mendapat pembatasan karena tekanan dan stigma yang diberikan oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, Yayasan Jurnal Perempuan membuka kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) edisi November dengan tajuk “Peran Perempuan di dalam Ruang Publik” yang diadakan pada Jumat (10/11/2023), dengan diampu Rocky Gerung, selaku akademisi filsafat dan pengamat politik Indonesia.
​

     Rocky memulai diskusi dengan menjelaskan kerangka dasar pembahasan, berupa pengertian ruang politik, fungsi perempuan di ruang politik, serta implikasi dari eksistensi perempuan ketika perempuan bergerak dalam ruang politik di Indonesia. Menurut Rocky, ruang politik seharusnya adalah ruang distribusi kekuasaan. Namun, melihat kondisi saat ini, muncul pertanyaan, apakah ruang ini merupakan ruang yang dihasilkan dari produksi kekuasaan yang adil atau ruang yang hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap saja?
 
     Pada dasarnya, jika menilik dari sejarah Yunani Kuno sebagai peradaban yang pertama kali menerapkan konsep demokrasi, maka bisa dilihat bahwa sudah ada distribusi ruang pada laki-laki dan perempuan yang tidak bisa dicampur-adukkan. “Ada ruang yang disebut ruang laki-laki, yaitu ruang depan yang harus terbuka aksesnya ke jalan raya; dan ada ruang yang disebut sebagai ruang perempuan, yang sifatnya adalah menampung bahan makanan. Jadi, ruang politik perempuan dari awal adalah ruang untuk memelihara kesejahteraan rumah tangga,” jelas Rocky. Berdasarkan sejarah tersebut, bisa dikatakan bahwa perempuan diposisikan pada peran untuk mendistribusikan kemakmuran dan keadilan.
 
     Akan tetapi, distribusi ini berevolusi, sehingga apa yang disebut ruang politik pada hari ini adalah ruang yang dikendalikan sepenuhnya oleh kebijakan laki-laki. Menurut Rocky, pada awalnya manusia berada di rahim ibu (ruang perempuan–red) dengan kasih sayang dan relasi yang kuat dengan perempuan yang direpresentasikan oleh sosok ibu. Namun, setelah lahir, ia berpindah dari rahim perempuan menuju ruang laki-laki yang dianalogikan sebagai rahim laki-laki.
 
     "Setelah si bayi lahir, dia tumbuh sedemikian cepat, lalu dia pindah dari rahim perempuan ke rahim laki-laki, rahim laki-laki itu namanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rahim laki-laki laki itu namanya kebijakan publik, rahim laki-laki itu namanya keputusan untuk memindahkan Ibu Kota Nusantara (IKN), rahim laki-laki itu adalah keputusan untuk mempercepat proyek-proyek strategis yang di dalamnya tidak ada unsur keadilan karena diputuskan secara sepihak oleh kepentingan laki-laki," jelas Rocky. Menurutnya, keputusan politik selalu dibuat atas dasar urgensi kepentingan laki-laki. Hal itulah yang menjadi dasar dari adanya patriarki.
 
     Meskipun saat ini ada upaya untuk menciptakan kebijakan yang disebut sebagai gender mainstreaming, tetapi kebijakan tersebut biasanya hanya ada di level normatif dan tidak benar-benar diciptakan dengan mempertimbangkan kesejahteraan perempuan secara general. Artinya, kebijakan yang dinilai hadir untuk memberikan keadilan bagi perempuan, tetap tidak bekerja ketika perempuan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
 
     Hal tersebut menciptakan kondisi di mana perempuan, pada akhirnya, ditindas oleh dua hal. Pertama, oleh dunia yang patriarki, "Karena dia perempuan, dia disingkirkan dari pembuatan kebijakan," jelas Rocky. Kedua, oleh kebijakan pemerintah itu sendiri yang kebanyakan dibuat untuk kepentingan laki-laki.
 
     Ketika perempuan sudah masuk dalam lembaga formal pembuatan kebijakan pun, Rocky melihat bahwa tetap ada upaya untuk menyingkirkan perempuan melalui pembuatan lembaga khusus perempuan. "Kekhususan itu justru menghalangi perempuan untuk masuk dalam pembuatan kebijakan di lembaga-lembaga pusat," ujar Rocky.
 
     Pada pembahasan selanjutnya, Rocky berusaha melihat mekanisme kontrol politik terhadap perempuan. Sejak awal, perempuan sudah dianggap sebagai the second sex (gender nomor dua), sebab tidak seperti laki-laki yang bisa masuk ke ruang publik, perempuan hanya bisa memasuki ruang domestik.
 
     Ketika berbicara tentang posisi perempuan dalam ruang politik pun, perempuan biasanya dianggap hanya sebagai pemanis partai untuk memenuhi kewajiban kuota 30% bagi perempuan. Bagi laki-laki, hal ini tidak adil sebab perempuan dianggap tidak perlu bersaing untuk menjadi partisipan formal dalam ruang politik. Namun, bagi Rocky, hal tersebut tidaklah tepat, sebab laki-laki justru telah berutang kepada perempuan. "Karena selama 25 abad ini, perempuan dianggap bukan player dalam politik," pungkas Rocky.
 
     Belum lagi ditambah dengan anggapan bahwa perempuan tidak bisa berpikir logis yang telah muncul sejak zaman Aristoteles, tentu hal ini memunculkan sinisme bagi setiap perempuan yang masuk dalam ruang politik. Ada juga semacam anggapan bahwa perempuan yang hendak menjadi pemimpin politik akan menjadi arogan, seperti kata Rocky, mereka dianggap "seperti lebah yang menghisap pekerja laki-laki untuk memuaskan seksualitasnya." Dengan kata lain, pemimpin perempuan dianggap akan memiliki queen bee syndrome, sebuah sindrom ketika pemimpin perempuan justru berlaku patriarkis.
 
     Rocky juga menilai bahwa ini didukung oleh fakta bahwa tidak ada partai oposisi dalam panggung politik Indonesia. Dengan kata lain, perempuan tidak bisa menunjukkan nilai mereka yang sebenarnya karena tidak ada partai-partai yang mau mencalonkan pemimpin perempuan. "Sebagai pembuka-pembuka atau pendahulu-pendahulu yang memberi kritik pada kebijakan pemerintah," tutup Rocky. (Dian Agustini)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025