KAFFE Maret 2023: Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Penyebab Kerentanan Kesehatan Mental Perempuan16/3/2023
Peringatan IWD atau International Women’s Day diperingati setiap tanggal 8 Maret. Setiap tahunnya, banyak selebrasi dan ragam cara untuk memperingatinya. Yang paling sederhana adalah melalui tulisan, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, gerakan women support women, dan banyak lainnya. Namun, kita tidak bisa menyangsikan fakta persoalan kesehatan mental masih menjadi persoalan yang serius, terlebih lagi salah satu penyebabnya adalah ketidakadilan gender. Oleh karena hal tersebut, Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) Maret 2023 yang diinisiasi oleh Jurnal Perempuan berbicara tentang “Keadilan Gender dan Kesehatan Mental” pada Jumat (10/3/2023). Kegiatan yang rutin diselenggarakan secara daring ini menghadirkan Sali Rahadi Asih, Ketua Toward Healthy Mind, Body and Sexuality Lab (THuMBS) dan dosen Fakultas Psikologi UI sebagai pemapar tunggal. Kelas dimoderatori oleh Retno Daru Dewi Gayatri Sriwibowo Putri. Pemaparan Ketua THuMBS ini dimulai dari sebuah tesis bahwa keadilan gender sangat dipengaruhi oleh kesehatan mental, dan sebaliknya, yakni keadilan gender juga sangat mempengaruhi terkait sehat atau tidaknya mental seseorang. Kemudian, sebelum masuk kepada pembahasan utama terkait kesehatan mental, Alin—sapaan akrabnya—menegaskan terlebih dahulu perbedaan antara keadilan dan kesetaraan. Konsep kesetaraan memiliki poin bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kondisi, perlakuan, dan kesempatan yang setara untuk merealisasikan potensi mereka sepenuhnya. Sedangkan konsep keadilan gender merujuk pada perlakuan yang adil dan mempertimbangkan bias atau kerugian yang disebabkan oleh peran gender antara laki-laki dan perempuan.. Sehingga dalam hal ini, untuk mencapai kesetaraan maka diperlukan keadilan. Dalam kaitannya dengan gender, Alin mengungkapkan, “We must first ensure equity before we can enjoy equality.” Tentunya, keterkaitan antara kesetaraan gender dan kesehatan mental sangat tampak, mengingat gender merupakan konstruksi sosial yang ada di masyarakat. World Health Organization (WHO) pada 2018 mengungkapkan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan sejahtera dimana individu menyadari potensi yang ia miliki, dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari, dapat bekerja secara produktif, dan mampu berkontribusi ke masyarakat sekitarnya. Di samping itu, tidak bisa dinegasikan, kiblat pembelajaran terkait kesehatan mental itu berasal dari Amerika, sebab Amerika dikenal sebagai rumah dari ilmu psikologi. “Dan sangat disayangkan, sebab isu kesehatan mental ini diinisiasi oleh pria berkulit putih, maka lensa cara pandang melihat fenomena pun menjadi bias gender dan sangat mungkin merugikan perempuan,” tegas Alin. Pembahasan ini menjadi sangat penting untuk terus digalakkan, mengingat kesehatan mental menentukan bagaimana seseorang berpikir, merasa, juga bertingkah laku. Termasuk bagaimana caranya menghadapi stres, menjalani hubungan yang sehat dengan orang lain, dan menentukan pilihan. Kesehatan mental juga memiliki faktor baik secara biologis maupun psikososial, faktor biologis di antaranya adalah perubahan hormon, berkurangnya zat kimiawi otak, penyakit medis dan faktor genetik. Lebih rincinya, faktor biologis bisa berupa turunan atau kondisi orang tua ketika sel telur sudah terbuahi. Terdapat juga faktor perubahan hormonal, seperti pada perempuan yang sedang haid, secara hormonal ada perubahan yang menyebabkan ia mengalami perubahan kondisi mental. Sedangkan faktor psikososial di antaranya adalah keyakinan dan sikap, kepercayaan diri, cara memandang diri sendiri atau orang lain, keterampilan sosial, dan kemampuan menghadapi situasi negatif dan tekanan.
Ada pula hubungan dari faktor genetik ke pengasuhan orang tua, maksudnya adalah ketika semisal orang tua memiliki sifat mudah cemas, khawatir dan semacamnya, yang kemudian diturunkan kepada anak mereka selama masa pengasuhan. Maka tidak mustahil sang anak juga akan memiliki sifat yang sama di kemudian hari, yaitu mudah cemas, khawatir dan semacamnya. Terkait dengan keadilan gender, faktor psikososial juga mempengaruhi kesehatan mental perempuan. Misalnya, pada pandangan yang menormalisasi pendidikan perempuan cukup hanya untuk baca tulis atau tidak dianggap penting untuk berpendidikan tinggi. Sedangkan laki laki harus lebih tinggi dalam hal pendidikan dengan alasan karena akan menjadi tumpuan. Hal ini dapat memicu gangguan psikologis pada perempuan. Selain itu, terdapat juga faktor sosial eksternal, yaitu status sosial ekonomi, pernah menjadi korban kekerasan, jumlah pendapatan, praktik budaya, faktor keluarga, serta peristiwa dalam kehidupan—seperti pernah didiskriminasi akibat status minoritas. Alin memaparkan sebuah contoh ketika seorang perempuan yang selama hidupnya berada dalam satu spektrum mental yang sehat, dengan sekian banyak faktor ia mungkin bisa bergeser pada spektrum negatif atau tidak sehat mental. Artinya, kondisi mental seseorang bisa terus berpindah dari sehat ke kurang sehat dan mengalami gangguan mental, begitu juga sebaliknya, seseorang bisa kembali sehat setelah ada gangguan mental. Bahkan, dalam hal gejala kesehatan mental pun, dikotomi ketidakdilan gender sangat mungkin terjadi dikarenakan adanya norma dan nilai yang sudah lama hidup di masyarakat. Misalkan, norma dimana menangis hanya cocok untuk perempuan, sementara laki-laki akan dianggap cengeng jika menangis. Atau sebaliknya, kabur dari rumah lebih dimaklumi apabila dilakukan laki-laki dan apabila perempuan yang melakukannya. Ini menjadi konflik ketika beberapa nilai sudah menjadi tradisi, contohnya ketika tempramen laki-laki yang dianggap wajar dan dalam kondisi ini perempuan harus menerima kondisi tersebut dalam keadaan sebenarnya ia tidak suka dimarahi. Sekali lagi, Alin menegaskan bahwa ini terjadi karena adanya norma yang sudah mentradisi dan menjadi struktur sosial yang selanjutnya menjadi tingkah laku. Ketidakseimbangan norma ini kemudian melahirkan kekerasan personal dan mental yang tidak sehat. Selain itu, literasi kesehatan mental yang rendah dan literasi kesetaraan gender yang rendah juga menjadi penghambat terwujudnya kesehatan mental. Literasi kesehatan mental yang rendah sering terjadi ketika seorang perempuan merasa pantas menerima hal yang sebenarnya itu tidak baik bagi dia, hanya saja dia memilih untuk mengabaikannya. Sehingga pada titik tertentu yang memang sudah tidak terbendung, ia baru melapor dan merasa kesehatan mentalnya terganggu. Pada posisi ini, proses recovery perlu memakan waktu yang lama. Sebagai penutup, dosen Fakultas Psikologi UI ini mengajak kepada para peserta KAFFE dan masyarakat luas untuk melakukan apa saja yang bisa dilakukan dalam rangka menyebarkan isu kesehatan mental. Beberapa di antaranya, mengampanyekan kesehatan mental, membuat kelas-kelas untuk mempelajari hubungan yang sehat, meneliti tentang isu kekerasan berbasis gender, kemudian meningkatkan proporsi laki-laki yang mendalami isu kekerasan gender serta memperkaya pendekatan psikoterapi dengan perspektif feminis. (Alfiyah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |