Salah satu kendala dalam pengarusutamaan feminisme di Indonesia adalah adanya anggapan bahwa feminisme merupakan produk budaya barat serta bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Guna mematahkan dogma sosial tersebut, Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) kedua di bulan Maret 2023 mengangkat tema “Feminisme Islam di Indonesia” dengan menghadirkan Prof. Etin Anwar, Ph.D. selaku pengajar kelas. Etin Anwar adalah dosen Religious Studies di Hobard and William Smith Colleges, Amerika Serikat sekaligus Pendiri Reducates. Kegiatan ini dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri, pada Jumat (31/3/2023) lalu. Pada awal paparannya, Etin menitikberatkan bahwa tema ini dibahas bukan untuk mengulik kehadiran sejarah feminisme Islam di Indonesia berdasar waktu, melainkan lebih kepada gagasan-gagasan atau ide-ide feminisme yang muncul. Etin mengawali pembahasannya dengan sedikit mengutip teori tentang feminisme. Etin mengawali, organisasi-organisasi perempuan yang mulai ada dari tahun 1910 sampai sekarang itu cenderung menjadi bagian dari organisasi laki-laki, seperti ‘Aisyiyah sebagai bagian dari Muhammadiyah. Di sini muncul pertanyaan, di mana otonomi perempuan ketika para perempuan menjalankan roda organisasi yang berada di bawah naungan kepemimpinan laki-laki?
Etin selanjutnya memaparkan pemikiran Sonja van Wichelen, yang mengungkapkan bahwa feminisme di Indonesia tidak dilihat dari agama, melainkan melalui gerakan-gerakan sekular feminisme. Pernyataan Wichelen ini tidaklah salah, sebab dari rentang tahun 1937-1950, muncul banyak gerakan-gerakan feminisme yang berawal dari sekularisme. Sehingga, gerakan keagamaan bukan menjadi corong feminisme satu-satunya di Indonesia. Para perempuan Muslim seringkali menjadikan ayat 35 surat Al-Ahzab sebagai pondasi dalam memahami kesetaraan perempuan dan laki-laki. Etin menambahkan, banyak sekali retorika-retorika patriarkal yang dijadikan landasan untuk melihat keselarasan relasi antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, para feminis membawa wacana bahwa laki-laki dan perempuan itu sama di mata Allah swt., keduanya makhluk yang memiliki landasan spiritual dan kuasa yang sama. Kemudian, Etin menyoroti anggapan yang mengatakan bahwa perempuan yang menstruasi dan karena itu tidak salat sebagai kurang beragama. Padahal, Allah swt. memberi keringanan dalam beribadah. Tuhan dengan kasih-Nya memberikan kemudahan untuk orang-orang tertentu dalam situasi dam keadaan tertentu untuk tidak beribadah tanpa mengaitkannya dengan dosa. Dalam hal ini, perempuan yang menstruasi dibebaskan dari kewajiban beribadah sebab Tuhan memahami kesulitan-kesulitan dari kondisi tersebut. Kemudian, pendiri Reducates ini menjabarkan perkembangan feminism di Indonesia berdasarkan tahun. Pada tahun 1900-an, perempuan saat itu dilihat sebagai “yang terjebak” dalam adat dan agama. Dari sini kita melihat, agama dideskripsikan sebagai sesuatu yang negatif. Perempuan menempati posisi rendah secara sosial. “Kartini ini di-branding, didukung sedemikian luar biasa oleh Belanda, sehingga menjadi pionir. Ketenaran Kartini bergandengan dengan kebijakan etis Belanda, untuk memunculkan anggapan bahwa penjajahan Belanda di Indonesia itu memanusiakan manusia,” pungkas Etin. Selanjutnya, Dewi Sartika menjadi salah satu tokoh pemberdaya perempuan asal Indonesia yang tersohor. Orang tua Dewi Sartika diasingkan, sehingga ia hidup bersama para pekerja rumah tangga (PRT), mengajari para PRT, mendirikan sekolah Keoetamaan Isteri yang banyak memajukan perempuan di Jawa Barat. Selain itu juga ada Rahmah El-Joenesijjah, yang dikenal karena perjuangannya memajukan pendidikan perempuan di daerah Padang, Sumatra Barat. Perempuan-perempuan ini merupakan pejuang feminisme Islam, mereka melakukan gerakan dalam rangka menyadarkan betapa pentingnya perempuan untuk mendapatkan edukasi. Pada tahun 1940-an, awal mula membludaknya asosiasi perempuan di Indonesia, Etin katakan menjadi era yang sangat penting—terutama karena gerakan-gerakan di masa ini akan dikooptasi pada masa Orde Baru. Era ini juga merupakan era munculnya gerakan perempuan dan bagaimana perempuan aktif di dalamnya, seperti ‘Aisiyah, Persatuan Islam Istri (Persistri), dan Muslimah Nahdlatul Ulama (NU). Era Asosiasi ini memperlihatkan titik temu antara isu Islam dan feminisme, meski belum ada hubungan keterpengaruhan satu sama lain. Salah satu hal penting adalah mulai berkembangnya ideologi bahwa perempuan adalah sesama manusia. Selain itu, ada usaha dari gerakan-gerakan perempuan Islam untuk memberikan pengarahan kepada perempuan lain supaya menjadi agen perubahan dalam level personal dan sosial. Setelah masa kemerdekaan, terjadinya solidifikasi gerakan-gerakan perempuan yang berkiprah untuk memajukan nilai-nilai keibuan. Kemudian, di era Orde Baru, mulai terjadi solidifikasi antara kelompok agama dan sekularisme, dalam artian kelompok yang melakukan penerjemahan baru pesan atas agama ke dalam bentuk baru untuk melawan musuh bersama, yaitu komunisme. Pada era ini, mulai timbul relasi paralel antara Islam dan feminisme. Pengendalian keamanan, dan perempuan menjadi objek ketentuan itu, sehingga terjadilah institualisasi nilai-nilai keibuan, seperti dibentuknya organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan berbagai organisasi lainnya. Lahir pula banyak gerakan perempuan yang lebih independen, di mana perempuanlah yang menjadi pemimpinnya. Pada akhir era ini, muncul gerakan yang diprakarsai oleh kaum akademisi. Mengacu pada pemikiran Toeti Heraty, saat itu lahir gerakan masif berkerudung sebagai respon terhadap politik Orde Baru yang mengopresi ekspresi keagamaan masyarakat. Di Era Proliferasi, yang artinya Islam dan feminisme dipandang sebagai paradigma etis, ada usaha-usaha untuk mengajak para perempuan berijtihad. Ijtihad di sini bermakna “keahlian untuk berpikir”. Era ini memunculkan banyak sekali kritik terhadap narasi-narasi fikih, sebab banyaknya perempuan justru menempati posisi subordinat dalam hubungan personal dan sosial. Tentunya, muncul distingsi antara Muslim feminisme dengan feminism Islam. Secara etimologi, Etin lebih memilih terminologi feminisme Islam, karena lebih merujuk kepada pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh perempuan dan diinisiasi oleh perempuan juga. Sedangkan Muslim feminisme, bisa siapa saja. Feminisme Islam diperlukan sebab didasarkan pada penilaian-penilaian perempuan berdasar pengalaman perempuan, sedangkan Muslim feminisme bermakna pengalaman perempuan yang disuarakan laki-laki, tukasnya. Ketika feminisme disuarakan oleh laki-laki, dijadikan perkakas oleh laki-laki dalam rangka mempromosikan pemikiran “apa yang baik” bagi perempuan, maka feminisme ini menjadi didominasi maskulinitas. Sebagai penutup, Etin menegaskan bahwa yang menjadi pusat dalam feminisme adalah perempuan-perempuan yang berpikir logis serta spiritualis. Meskipun hari ini feminisme Islam masih belum tercapai secara maksimal, harapannya di masa depan para perempuan memiliki porsi praksis yang lebih besar. Demikian, pengaruh gerakan perempuan pada masyarakat menjadi lebih masif lagi. (Alfiyah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |