Pada Jumat, (21/7/2023) lalu, Jurnal Perempuan menggelar kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) bertajuk “Dekolonisasi dan Metode Feminis” secara daring. Kelas ini menunjuk Dewi Candraningrum (seniman dan aktivis Indonesia) selaku pengajar. Dalam upaya dekolonisasi, feminis berusaha membongkar konsep universalitas menyoal banyak permasalahan yang tak tampak. Konsep universal ini hadir di negara-negara jajahan akibat hegemoni dan dominasi kultural dari negara penjajah selama ratusan tahun. Sebagai awalan diskusi, Dewi memberikan studi kasus soal kritik feminis pada teori Karl Marx mengenai pembagian kelas borjuis dan proletar. Menurutnya, pembagian kelas tersebut hanya berlaku pada konteks Eropa, dimana kelas buruh dalam struktur industrinya sudah kuat. Berbeda dengan konteks negara terjajah, seperti Indonesia, yang memiliki lebih banyak jumlah buruh namun tak terampil dan informal. Sehingga Dewi mengatakan perlu adanya suatu metode untuk mengatasi permasalahan yang bersifat lokal. Kepada 51 peserta KAFFE, Dewi menyampaikan, dalam kajian feminisme poskolonial, feminisme transnasional, atau feminisme yang melakukan kajian-kajian dekolonisasi, perlu menambahkan dua dimensi penting: ekonomi kapitalisme dan globalisasi. Dewi menegaskan, bahwa dua dimensi tersebut juga berperan besar dalam menciptakan ruang untuk mendiskriminasi perempuan. Pada dimensi ekonomi kapitalisme, negara dunia ketiga seperti Bangladesh, Vietnam, termasuk Indonesia, terkena dampak ekonomi dari industri kotor. Salah satunya, industri fesyen yang menempatkan produksi bersih pada negara-negara dunia pertama, dan produksi kotor--seperti pembuatan bahan dasar serat sintetis dan rayon ada di India, Bangladesh, Vietnam, dan Indonesia. Praktik ini menyebabkan sungai-sungai seperti Bengawan Solo, Citarum, dan Brantas di Indonesia menjadi sekarat. Selain industri fesyen, seniman dan aktivis ini mengambil contoh kasus Kendeng soal industri semen yang memberi dampak buruk bagi keadaan lingkungan di sana. Bergeser pada dimensi globalis, Dewi membahas menyoal fine art atau seni rupa murni mengalami universalitas nilai. Contohnya dalam lukisan, perempuan seringkali digambarkan memiliki tubuh langsing, kulit putih, dan rambut halus. Padahal, lanjut Dewi, tidak boleh ada ideologi yang menggambarkan dan menyamaratakan kondisi perempuan di berbagai belahan dunia. Gambaran tersebut sudah mengisi tentu tumbuh bersamaan dengan proses kolonialisasi Barat yang berdampak sampai pada generasi sekarang. Banyak dimensi lain yang juga harus ditambah dalam kajian feminisme poskolonial dan transnasional yaitu bangsa, ras, gender, termasuk orientasi seksual. Dewi mengatakan, terdapat 5 praktik dekolonisasi dengan metode feminis yang ditawarkan Chandra Mohanty, seorang ahli teori feminis poskolonial dan transnasional asal India.
Pertama, dalam level sehari-hari. Kerja sehari-hari seperti merawat anak dan lingkungan, atau melakukan kerajinan juga merupakan metode feminis. Contoh gerakan Chipko yang memeluk pohon untuk melawan deforestasi di pedesaan India atau orang Kendeng yang terus menanam pohon untuk melawan kerusakan lingkungan perlu dinormalisasi sebagai salah satu metode feminis. Kedua, aksi kolektif sebagai upaya mengoperasikan proses dekolonisasi secara internasional. Menurut Dewi hal ini dapat dilakukan dalam bentuk solidaritas reflektif yang melibatkan mutualitas dan akuntabilitas di negara lain. Misal, ketika ada produksi kotor semen milik Jerman di Indonesia, kita dapat menulis dampak kerusakannya bagi warga lokal dan mendorong untuk para aktivis lingkungan di sana untuk melakukan aksi protes langsung pada korporasi tersebut. Ketiga, dalam aspek pendidikan. Dalam dunia akademis, Dewi memberi contoh kerja-kerja yang dilakukan oleh Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (Ruas) Indonesia dalam mendekonstruksi sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Dalam hal ini Ruas Indonesia menggunakan testimoni sebagai alat untuk melakukan pengarsipan, dokumentasi, penulisan ulang dengan sudut pandang yang berbeda. Ini bertujuan untuk mengungkap ketidakadilan dan berdampak panjang seperti mengubah pandangan-pandangan politik dominan. Terakhir, dalam aspek karya-karya kreatif secara tekstual. Mohanty menawarkan konsep menulis teks untuk melawan narasi yang sudah mapan. Agar menyambung konteks digital, Dewi mencontohkan penggunaan sosial media untuk melawan hegemoni juga merupakan metode feminis. Saat ini Dewi dan aktivis perempuan lainnya sedang dalam tahap pengembangan metode feminis lainnya. Baginya, feminisme merupakan sebuah kesadaran dan praktek. Berkaca pada realitas yang ada, metode feminis juga dapat mengalami pembongkaran dan pembentukan ulang. (Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |