Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

KAFFE Januari 2024: Politik yang Hidup di Keseharian untuk Perubahan dan Kesetaraan

17/1/2024

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Menjelang pesta demokrasi pada bulan Februari tahun 2024 ini, publik dituntut untuk berpartisipasi secara politik di Pemilu nanti. Namun, nyatanya, partisipasi politik belum dapat diakses oleh setiap orang di ruang publik, terkhususnya perempuan dan kelompok marginal di Indonesia. Bahkan, sering kali partisipasi politik perempuan hanya dipenuhi sebanyak 30 persen yang dianggap sebagai syarat saja. Terkait permasalahan ini, KAFFE Januari 2024 bersama Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mendiskusikan masalah ketidaksetaraan partisipasi politik melalui kelas daring yang bertajuk “Partisipasi Perempuan dan Kelompok Marginal dalam Aktivisme Politik”. Kelas yang dilaksanakan pada Senin (15/01/2024) pukul 19.00 WIB tersebut dibuka dengan pembahasan mengenai pengertian aktivisme politik dan ruang publik

     Aktivisme politik dapat dimengerti sebagai kegiatan di ruang publik yang bertujuan untuk perubahan politik. Ruang publik ini menjadi wilayah setiap orang untuk berdiskursus. Bivitri menggunakan definisi ruang publik menurut Jürgen Habermas, dimana dipahami sebagai tempat bagi orang-orang untuk berdiskusi soal masalah-masalah di masyarakat dengan setara untuk aksi politik di kemudian hari.
 
     Namun bagi Bivitri, pengertian Habermas mengenai ruang publik ini perlu dikritisi kembali. Bivitri mengkritik pernyataan Habermas mengenai kesetaraan di dalam ruang publik, yang semata berfokus pada konteks Eropa pada pertengahan abad ke-20. Kesetaraan di ruang publik menurut Habermas tidak relevan dengan situasi kontemporer hari ini, yang memiliki keragaman gender, media, hingga masalah sosial. Dengan kata lain, ruang publik masa kini tidak mampu hadir dengan ‘setara’ dalam konteks Habermas di tengah kompleksitas masa kini.
 
     Berangkat dari kritik terhadap problem ‘setara’ di ruang publik Habermas, selanjutnya Bivitri menggunakan framework hasil penelitian Irwansyah et al. berjudul Paradoks Representasi Politik Perempuan (2013) untuk membicarakan soal representasi atau keterwakilan dalam tiga wacana, yakni wacana kehadiran, wacana identitas, dan wacana kontestasi.
 
     Di antara tiga wacana tersebut, wacana kontestasi menjadi wacana yang paling menarik. Hal ini karena pembongkaran hegemoni suara mayoritas dapat terjadi demi meningkatkan representasi dari kelompok perempuan dan kelompok marginal. Bivitri menunjukkan bahwa di dalam wacana kontestasi, representasi politik perempuan bukan semata usaha menghadirkan kepentingan kelompok marginal, melainkan juga upaya membatasi kehadiran serta pengaruh kelompok mayoritas yang menikmati sejumlah keistimewaan.
 
     Melalui interseksionalitas yang ada pada diskusi soal representasi kelompok perempuan, pembahasan tentang kelompok-kelompok marginal lainnya mampu turut hadir di dalam diskusi. Ini menunjukkan bahwa upaya mengangkat representasi kelompok perempuan menjadi sebuah pintu masuk bagi usaha dekonstruksi cara-cara pandang yang mendominasi sistem politik selama ini.
 
     Kemudian, Bivitri melanjutkan pemaparannya soal keterhubungan demokrasi dengan representasi. Sesungguhnya, permasalahan soal representasi tidak dapat dilepaskan dari topik demokrasi, terutama pada konteks demokrasi modern masa kini yang tidak lagi substantif. Demokrasi yang substantif merupakan demokrasi yang bertumpu pada warga. Namun, kenyataannya saat ini, demokrasi justru hanya tertuju pada penguasa. Padahal, Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana sesungguhnya, pusat legitimasi ada di rakyat. “Negara tidak akan eksis kalau tidak ada warga,” tegas Bivitri. Dengan kata lain, sesungguhnya, warga yang menentukan benar atau salahnya hukum yang membentuk negara ini.
 
     Demokrasi modern bertumpu pada representasi. Tapi, pada demokrasi Indonesia, perempuan dan kelompok marginal cenderung tidak ‘diberi’ ruang representasi. Hal tersebut disebabkan oleh masalah struktural terkait cara pandang patriarki yang berkembang di berbagai daerah, contohnya, standar ganda yang membebani para calon legislatif perempuan. Oleh karena itu, diperlukan aksi afirmatif dalam politik formal yang disertai perspektif gender untuk mengatasi masalah struktural tersebut.
 
     Aksi afirmatif bisa membongkar kebijakan yang dianggap ‘normal’, yang sesungguhnya berdampak buruk bagi kelompok rentan. Bivitri menjelaskan bahwa aksi afirmatif merupakan instrumen hukum yang bersifat sementara, yang digunakan untuk memperbaiki ketidakseimbangan, ketidaksetaraan, dan ketertinggalan historis suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri, aksi afirmatif tanpa perspektif gender bisa memunculkan dampak negatif, misalnya disalahgunakan untuk melanggengkan dinasti politik.
 
     Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, partai politik dan para pembuat kebijakan harus memiliki pemahaman gender dan berorientasi pada rakyat, agar kemauan untuk melakukan aksi afirmatif mampu dilakukan dengan bertanggung jawab. Sehingga, diharapkan melalui hadirnya aksi afirmatif dan pemahaman gender, perempuan di ranah politik mampu mengakses ruang aman bagi dirinya sendiri.
 
     Tidak berhenti soal representasi perempuan dalam ranah politik di pemerintahan, Bivitri memperdalam pembahasan politik di ruang publik menjadi suatu persoalan personal. Hal ini berkaitan dengan politik kewargaan. Politik kewargaan merupakan politik yang berbasis hak warga, yang menjadikan hidup warga sebagai politik. Sehingga, politik tidak lagi bergantung pada proses Pemilu dan sistem dari institusi-institusi formal demokrasi semata. Menurut Bivitri, politik kewargaan dapat menghadirkan aksi lapangan sekaligus merombak sistem politik yang dinilai diskriminatif bagi warga.
 
     “Everyday is politics,” tambah Bivitri. Masalah-masalah yang ada di sekitar kita, seharusnya menjadi tuntutan dan kritik politik yang bisa berpengaruh baik bagi perubahan dan perkembangan kebijakan negara demi mencapai kesetaraan.
 
     Sebagai penutup, Bivitri menekankan kembali bahwa politik harus dibongkar sistemnya untuk mencegah diskriminasi dan manipulasi di dalam sistem hukum dan politik negara. Ia percaya sesungguhnya, tugas hukum adalah memenangkan ‘orang kalah’, orang-orang yang masih mengalami diskriminasi dan belum memperoleh kesetaraan. (Kezia Krisan)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025