Selama ini, hukum yang netral dianggap sebagai hukum yang adil. Keyakinan itulah yang membuat penggambaran Iustitia (dalam mitologi Yunani dikenal sebagai Themis), dewi keadilan dan hukum dalam mitologi Romawi, ditutup matanya oleh selembar kain. Ini merupakan personifikasi dari hukum yang tidak berpihak pada siapapun—netral. Namun, agaknya alegori hukum tersebut tidak selamanya menunjukkan kebijaksanaan. Sebab, realitanya perempuan kerap dirugikan oleh implementasi ‘hukum yang netral’. Masih dalam suasana tahun baru, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menghadirkan Sulistyowati Irianto sebagai pemateri KAFFE bertajuk “Pluralisme Hukum dan Perspektif Feminis”. Setelah Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku moderator membuka acara, Sulistyowati menyampaikan apresiasi kepada Jurnal Perempuan yang menurutnya berhasil mengumpulkan orang-orang muda untuk meneruskan gagasan dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Ia berharap yang disampaikannya malam ini akan memantik kolaborasi dalam melawan ketidakadilan. Dalam pemaparannya, Sulistyowati kerap menceritakan pengalaman yang menyingkap perjalanan perjuangan feminisme di Indonesia. Misalnya, ia bercerita bahwa pada Orde Baru ia tidak boleh menggunakan kata feminis, sehingga ia menerjemahkan feminist legal theory (FLT) sebagai hukum berperspektif keadilan untuk perempuan. Pertama-tama, Sulistyowati menjelaskan bahwa para ilmuwan harus merespons secara cepat kebutuhan masyarakat yang juga berubah cepat dengan adanya teknologi dan digitalisasi. Ilmuwan perlu melakukan kolaborasi dan mengembangkan ilmu interdisiplin. Materi kali ini merupakan salah satu hasil ilmu interdisiplin yang ia sebut tadi, yaitu pertemuan antara pendekatan pluralisme hukum dan feminist legal theory. Melalui kelas ini, Sulistyowati membangun pengetahuan peserta untuk dapat memahami realitas perempuan di tengah berbagai hukum yang tidak mempertimbangkan pengalaman gendernya. Sulistyowati menjelaskan pendekatan pluralisme hukum, yang lahir sebagai kritik terhadap teori evolusi hukum yang linear dari sederhana ke kompleks dan kritik terhadap sentralisme hukum. Ia menyimpulkan, bahwa pada dasarnya pluralisme hukum adalah pemahaman atas koeksistensi hukum negara dengan hukum di luar negara. Ia memberi contoh, jika membicarakan hukum perkawinan anak, ada berbagai hukum terkait isu tersebut yaitu hukum adat, hukum agama, hukum negara, dan sebagainya. Ia mengerucutkan fokus pembahasan pluralisme hukum ini dengan mengajukan pertanyaan: apakah hukum negara, hukum adat, hukum agama—berbagai hukum ini baik-baik saja terhadap perempuan? Ia menjawab: tidak. Guru Besar Antropologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini turut memberi contoh. Salah satunya, dalam hukum perdata Indonesia, perempuan yang sudah kawin disamakan dengan perempuan di bawah umur, yaitu dianggap tidak cakap hukum. Kemudian, ia mengangkat permasalahan dari pendekatan hukum lama yaitu memetakan semesta hukum (mapping of legal universe). Menurutnya, pendekatan ini tidak lagi bisa dipakai karena batas antara hukum tidak lagi jelas. Pertemuan-pertemuan hukum melahirkan hukum baru. Dalam isu perempuan, contohnya, ketika hukum internasional bertemu dengan hukum nasional dan membentuk sebuah hukum baru. Perwakilan dari berbagai negara membahas diskriminasi perempuan di PBB, merumuskan isu bersama, dan kemudian isu tersebut kemudian disahkan menjadi konvensi internasional seperti terbentuknya Convention on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW), lalu dibagikan ke berbagai negara untuk diratifikasi. Menurut Sulistyowati, dalam globalisasi seperti itulah pluralisme hukum bertemu dengan feminisme. Ia menceritakan pengalamannya dalam menegaskan bahwa CEDAW bukan produk Barat. Sebab, pasal 14 CEDAW merupakan sumbangan Suwarni Salyo yang merupakan tokoh dari Indonesia. Ia membahas lebih lanjut mengenai perspektif feminis dalam hukum dengan memperkenalkan pendekatan FLT. Ia menyebutkan bahwa FLT merupakan kombinasi tiga hal: feminisme sebagai inti, hak asasi manusia sebagai fondasi, dan hukum sebagai arena dari perjuangan perempuan. FLT mencermati bagaimana hukum melegitimasi dan berkontribusi terhadap subordinasi perempuan. Pada saat yang sama, FLT juga menggunakan hukum untuk berupaya mengubah situasi perempuan (melalui reformasi hukum dan litigasi). FLT berasumsi bahwa hukum diinformasikan laki-laki untuk memperkokoh hubungan sosial patriarkis. Hukum dibuat berdasarkan pengalaman laki-laki dan mengabaikan pengalaman perempuan. Maka, FLT melakukan upaya dekonstruksi, mengguncangkan kemapanan, dan menunjukkan bahwa dalih netralitas hukum justru menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal itu dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Menurut Sulistyowati, doing law sebagai seorang feminis berarti melihat ada apa di balik rumusan hukum, mengidentifikasi implikasi dan asumsi yang mendasarinya, serta memecahkan persoalan. Yang paling penting menurutnya adalah menggunakan pengalaman perempuan sebagai unit analisis untuk menyingkap relasi kuasa yang timpang. Kita harus memperjuangkan agar hukum tidak bertentangan dengan realitas sejarah dan pengalaman perempuan.
Sesi tanya-jawab ramai dengan diskusi dan pertanyaan dari peserta dengan latar belakang beragam. Ada yang khawatir dengan wacana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menggunakan hukum adat, teruma yang bersifat patriarkis seperti kawin tangkap. Sulistyowati mengafirmasi kekhawatirannya dengan menyatakan bahwa tidak selamanya hukum adat itu baik dan dapat diresmikan menjadi hukum formal. Diskusi berlanjut ke pertanyaan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, yang menurut Sulistyowati harus kita perjuangkan untuk tidak terjadi. Kemudian, Sulistyowati menanggapi pertanyaan mengenai metodologi FLT dan menjelaskan bahwa tidak hanya dokumen-dokumen hukum, tetapi data primer seperti wawancara dengan perempuan dan observasi proses pengadilan juga merupakan data penting dalam kajian hukum. Menjawab pertanyaan mengenai bagaimana fakultas hukum di Indonesia berkontribusi dalam menanggapi perlawanan terhadap perjuangan hak perempuan, Sulistyowati bercerita bahwa ia dan dosen-dosen lainnya berkeliling fakultas hukum di Indonesia untuk memastikan bahwa fakultas hukum memiliki mata kuliah gender dan hukum. Menurutnya, kini tidak kurang dari 75 fakultas hukum di Indonesia memiliki mata kuliah tersebut. Selain itu ada diskusi mengenai proses pengadilan kasus perkosaan dari sudut pandang forensik, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan sebagainya hingga akhir waktu kelas. Materi yang Sulistyowati sampaikan memantik begitu beragam pembahasan isu perempuan dan hukum. Sebab, dari sudut pandang hukum berperspektif feminis, memang masih ada banyak hukum yang berimplikasi negatif terhadap perempuan. Sebagaimana yang Sulistowati harapkan di awal kelas, semoga diskusi di kelas ini berkembang menjadi kolaborasi-kolaborasi dalam perjuangan melawan patriarki. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |