Beberapa bulan kebelakang, terdapat banyak pembicaraan mengenai partisipasi perempuan dalam politik. Meskipun demikian, pengetahuan kewarganegaraan sejatinya masih didominasi oleh sudut pandang maskulin. Hal ini berdampak pada terhambatnya perempuan untuk berpartisipasi yang disebabkan adanya diskriminasi berbasis gender. Didorong hal tersebut, pada Selasa (30/4/2024) lalu, Yayasan Jurnal Perempuan telah menyelenggarakan Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) edisi bulan April 2024 yang bertajuk “Perempuan dalam Semangat Kebangsaan” dengan Karlina Supelli, dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta sebagai pengajar kelas. Kegiatan yang dilaksanakan secara daring ini dipandu oleh Retno Daru Dewi G. S. Putri (Redaksi Jurnal Perempuan). Melalui kegiatan ini, Jurnal Perempuan bersama-sama mengajak peserta untuk merefleksikan konsep kebangsaan dan kewarganegaraan dalam kaitannya dengan gerakan perempuan. Karlina mengawali kelas dengan membedah konsep bangsa dan kebangsaan. Menilik sejarah, Virginia Woolf dalam bukunya Three Guineas telah lebih dulu mempertanyakan makna negara terhadap dirinya sebagai perempuan. Seperti Woolf, perempuan acapkali berperan sebagai orang luar (outsider) dalam diskusi kenegaraan. Perempuan merupakan orang luar yang terpinggir dari negaranya sebab apabila kita menelaah makna patriotisme, posisi jenis kelamin dan kelasnya di masa lalu dan kepemilikannya di masa kini serta perlindungan hukum yang ia terima, tak satupun dari ketiganya dimiliki perempuan. Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta berarti perempuan tidak dapat menjadi nasionalis. Bangsa merupakan suatu bentuk metode penataan atau pengorganisasian manusia. Beberapa pemikir yang mayoritas merupakan laki-laki telah memproduksi definisi-definisi mahsyur mengenai bangsa. Ernest Renan memandang bangsa sebagai solidaritas agung yang terbentuk berdasarkan pengalaman kolektif atas penderitaan. Pandangannya kemudian disepakati oleh pendiri bapak pendiri bangsa Indonesia, yaitu Sukarno. Sejalan dengan Renan, Eric Hobsbawm menunjuk aktivitas seperti penghormatan bendera, kepemilikan lagu nasional serta pengenangan terhadap pahlawan sebagai manifestasi dari keberadaan bangsa sebagai tradisi rekaan (invented tradition). Di sisi lain, terdapat Ernest Gellner dan Benedict Anderson yang menitikberatkan makna bangsa sebagai suatu produk yang eksis karena adanya bayangan atas pengalaman bersama sebagai suatu komunitas (imagined community). Kemudian, terdapat Anthony Smith yang mendefinisikan bangsa tidak hanya sebagai suatu elemen yang terbentuk dari masa lalu dan keinginan untuk bersatu, tetapi juga sebagai komunitas yang memikirkan masa depan dalam rangka mencari dan menentukan identitas. Berdasarkan pemaknaan-pemaknaan tersebut, Karlina memandu kita untuk menarik benang merah yang khas mengenai konsep bangsa. Menurutnya, perbedaan antara negara dan bangsa ada pada fakta bahwa negara merupakan konsep politik, sedangkan bangsa merupakan konsep budaya. Keterkaitan di antaranya adalah bangsa sebagai sesuatu yang abstrak akan senantiasa bersinggungan dengan negara. Karena, sebagai cita-cita dari berbagai kelompok yang beragam untuk hidup bersama, bangsa butuh mengejawantahkan dirinya dalam hukum. Adanya hukum diharapkan dapat memandu suatu bangsa untuk dapat mencapai visi hidup bersama yang dibayangkan. Hasrat untuk mengejawantahkan diri ini merupakan makna dari konsep kebangsaan. Pada dasarnya, kebangsaan merupakan paham, gerakan, semangat, dan tindakan politik. Konsep kebangsaan berkenaan dengan laku atau tindakan politik yang berusaha menempatkan dan mempertahankan identitas tersebut dengan menggabungkan komunitas politik dengan komunitas budaya, negara dengan bangsa. Tindakan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa negara harus identik dengan dan menjadi milik kelompok masyarakat yang menempati batas wilayah tertentu. Konsep kebangsaan adalah tentang bagaimana kelompok partikular dapat bergabung pada yang universal. Konsep kebangsaan merupakan persoalan kepemilikan (sense of collective belonging). Untuk memiliki, maka perlu dibiarkan berpartisipasi. Untuk berpartisipasi, maka perlu terlebih dahulu diakui. Inilah letak persoalan dalam diskursus kebangsaan. Usaha untuk mengartikulasi dan menekankan kesatuan tak jarang menyisihkan yang liyan. Dalam konteks ini, teori-teori klasik tentang kebangsaan umumnya tidak dibangun dengan kepekaan terhadap gender sehingga kekuatan maskulin yang besar di dalamnya berakhir menempatkan perempuan sebagai yang liyan dan terabaikan. Karlina menyampaikan bahwa selama ini pengalaman laki-laki senantiasa dijadikan pengalaman universal dalam penciptaan dan kelangsungan identitas kebangsaan, sementara perempuan selalu dinomorduakan. Padahal, perempuan juga memiliki andil besar dalam proyek kebangsaan dan kemaslahatan bersama. Misalnya, sebagian besar gerakan awal perempuan di Asia tidak dapat dipisahkan dari gerakan kebangsaan anti kolonial. Di Indonesia sendiri, tercatat beberapa pertemuan dan berbagai usaha pergerakan yang dilakukan oleh kelompok perempuan. Pada tahun 1928, Kongres Perempuan Pertama berbicara tentang perkawinan anak, poligami, serta pendidikan. Empat tahun kemudian, Kongres Perempuan Kedua yang diadakan pada tahun 1932 mengangkat isu partisipasi perempuan dalam politik. Pada kongres ini, gerakan perempuan mengkombinasikan persoalan perempuan dengan kebangsaan. Meskipun bertujuan benar dan baik, partisipasi perempuan di muka publik selalu dibatasi. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana anggota kongres menamakan diri sebagai Siasat Ibu Bangsa agar pembicaraan dan pertukaran gagasan yang mereka lakukan dalam forum tidak dianggap menyimpang dan menuai kecurigaan dari publik. Pembatasan-pembatasan tersebut terus senantiasa hadir dalam usaha-usaha pergerakan berikutnya. Entah bagaimana, pergerakan perempuan seringkali dipersepsikan bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme. Seperti bagaimana Sukarno yang menganjurkan perempuan untuk ikut bergerak membela bangsa dan tidak ‘memusuhi laki-laki’. Menanggapi hal ini, Soewarni Pringgodigdo dari Isteri Sedar menyatakan bahwa kesetaraan perempuan adalah prasyarat memenangkan kemerdekaan. Dalam pemaparannya, Karlina mengungkapkan bahwa hubungan antara negara, bangsa, spirit kebangsaan dengan perempuan serta pengalamannya merupakan hubungan yang pelik. Untuk mengembangkan makna kebangsaan dan sistem kenegaraan yang adil, setara, dan aman untuk semua anggotanya dibutuhkan upaya rekonstruksi. Sebagaimana yang Nancy Fraser kemukakan mengenai pentingnya rekognisi dari aspek sosial budaya, redistribusi pada aspek ekonomi, dan representasi dalam aspek politik, pembentukan bangsa tidak hanya perihal menghimpun keanggotaan bersama, tetapi juga pengakuan atas hak, identitas, dan partisipasi seluruh anggota yang ada di dalamnya. Kita perlu membangun konsep kewarganegaraan dan kebangsaan yang multidimensional dan interseksional dalam membingkai tegangan kreatif antara yang universal sebagai satu kesatuan dan partikular sebagai keberagaman. Sebab, hidup bersama dalam artian mengupayakan kebaikan, kepentingan, dan kesejahteraan bersama tidak hanya tentang menjadi umum atau universal, tetapi juga utamanya tentang bagaimana kita dapat menjadi inklusif. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |