Representasi perempuan di media Indonesia kerap kali ditampilkan dengan diskriminatif. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya judul-judul berita yang merendahkan perempuan, muatan berita yang misoginis, maupun tidak berimbangnya narasumber laki-laki dan perempuan yang dihadirkan dalam berita. Akibatnya, perempuan rentan diobjektifikasi oleh media. Membahas tema tersebut, pada Jumat (20/5/2022) lalu, Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa (UKM Fodim) Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya menggelar talkshow bertajuk ‘Lawan Perundungan Seksual: Wanita Bukan Objek Media!’ sebagai rangkaian dari Article Journalism Competition. Hadir sebagai narasumber, yaitu Alex Junaidi (Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman – SEJUK) dan Amelia Ayu Kinanti (Pemimpin Redaksi Beautynesia). Talkshow ini diselenggarakan secara online melalui platform Zoom Meeting. Alex menjadi pembicara pertama. Ia menjelaskan kerja-kerja SEJUK dalam mengarusutamakan jurnalisme keberagaman. Jurnalisme keberagaman adalah kerja jurnalisme yang berusaha menghadirkan representasi kelompok yang luas dan tidak membingkai suatu kelompok atau peristiwa secara diskriminatif. Menurutnya, jurnalisme keberagaman sangat penting bagi jurnalis, agar mereka dapat membawa pesan keberagaman pada khalayak. Dengan kemajemukan suku, ras, dan agama di Indonesia, perspektif keberagaman menjadi penting ditonjolkan. Tanpa perspektif tersebut, laporan jurnalistik dapat menjadi bias.
Alex juga menyinggung bahwa kurang seimbangnya perspektif laki-laki dan perempuan yang ditampilkan di media dapat membawa bias pada pemberitaan. Kerap kali jurnalis hanya memberi tempat pada laki-laki sebagai narasumber, entah disengaja maupun tidak. Akibatnya, pemberitaan tersebut menjadi bias laki-laki. Untuk menghentikannya, jurnalis harus membiasakan diri melibatkan pandangan narasumber perempuan yang mumpuni di bidangnya. “Wawancara anggota DPR perempuan, misalnya, yang ditanya (oleh wartawannya—red) ‘Apakah ibu sudah izin ke suami?’. Itu banyak saya temui. Kalau pada anggota Dewan laki-laki, pertanyaannya tidak seperti itu. Kalau (bertanya—red) ke anggota Dewan perempuan, pertanyaannya soal urusan domestik,” tutur Alex. Senada dengan Alex, Ayu juga mengutarakan ketidaksetujuannya akan media yang mengobjektifikasi perempuan. Menurutnya, terkadang media menganggap perempuan hanya sebagai pemanis saja. Hal tersebut sama dengan tokenisme, dimana perempuan hanya ‘ditempelkan’ sebagai pelengkap saja. Namun, kini sudah banyak media yang berbenah agar lebih sesuai dengan narasi perempuan. Generasi muda kini pun lebih sadar akan pentingnya perubahan menuju masyarakat yang lebih setara. Di Indonesia, terutama dengan patriarkinya yang masih kental, potret perempuan di media yang diskriminatif dianggap biasa saja. Sebab, masyarakat terbiasa dengan pemberitaan seperti itu. Oleh karena itu, sebagai pembaca yang memahami seksisme media, kita dapat mengirimkan komplain terhadap media yang terang-terangan menunjukkan seksisme. Ayu juga menyampaikan, berhenti membaca dari media yang seksis merupakan langkah utama untuk menghentikan tipe pemberitaan seperti itu. “Selama masih ada orang-orang yang tertarik dengan berita seperti itu (seksis—red), maka masih akan ada orang yang menulis berita seperti itu,” jelas Ayu. Bagi Ayu, pembaca harus berani meninggalkan media yang menyebar tulisan tidak berkualitas. Hal tersebut dapat menunjukkan kepada media, bahwa model pemberitaan yang seksis dan diskriminatif sudah tidak diminati lagi. Untuk lebih bersikap adil dalam menulis berita, kita perlu memosisikan diri kita sebagai orang akan akan kita beritakan. Hal tersebut dapat membuat kita memikirkan bagaimana perasaan dan dampak dari pemberitaan kita. Redaksi media kini berkewajiban menciptakan ruang aman untuk berbagai kelompok yang berbeda-beda, sehingga tidak ada lagi ruang untuk diskriminasi dan seksisme di media. Arus informasi yang sangat deras di era ini membuat masyarakat kewalahan dalam menyortir informasi yang bermutu. Banyaknya pemberitaan yang diskriminatif dan seksis membuat masyarakat mau-tidak-mau terpapar konten tersebut. Demikian, dibutuhkan kesadaran bersama untuk menghentikan pemberitaan yang tidak berimbang. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |