Perkawinan anak adalah momok bagi perempuan. Dalam kondisi ini, perempuan mendapat kerentanan berlapis, sebab kesiapan fisik, mental, ekonomi, dan sosialnya belum matang. Ditambah pula dengan ancaman Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan keguguran. Batas usia nikah sebenarnya sudah diatur Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan di Indonesia. Sayangnya, dispensasi kawin menjadi celah perkawinan anak. Membahas persoalan ini, Plan Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meluncurkan riset “Laporan Studi atas Penerapan Prinsip Perlindungan Anak dalam Putusan Dispensasi Kawin” pada Senin, (19/6/2023) lalu secara bauran. Acara menghadirkan pemateri, yaitu Megawati (Plan Indonesia), Ajeng Gandini Kamilah (Koalisi 18+), dan Lia Anggiasih (Wahana Visi Indonesia). Untuk mendengarkan praktik baik, hadir pula Resi (Pendidik Sebaya Plan Indonesia) dan Aidy Furqan (Dinas Pendidikan dan Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat). Acara dipandu oleh Sonya Hellen Sinombor sebagai moderator.
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, memberikan sambutan dalam kegiatan ini. Berdasarkan tuturannya, salah satu agenda prioritas pembangunan Indonesia adalah pembangunan sumber daya manusia. Hal ini mencakup pemenuhan hak dan perlindungan bagi seluruh anak Indonesia. Namun Bintang mengakui, adanya UU No. 16/2019 tidak serta merta mengakhiri perkawinan anak. Selaras dengan Bintang, Nazla Mariza (Plan Indonesia) juga mengajak audiens mengkritisi efektivitas dari penerapan kebijakan antiperkawinan anak. Bekerja sama dengan KPPPA, Plan Indonesia melakukan riset terkait situasi perkawinan anak di Indonesia. Data ditelusuri dari perspektif hakim agama dan anak perempuan yang sudah menikah. Megawati menyatakan salah satu tujuan dari riset ini, “Angka perkawinan anak di Lombok dan Jawa Barat memperlihatkan angka di atas rata-rata nasional dalam tiga tahun terakhir.” Temuan ini membuka fakta-fakta lain mengenai perkawinan anak di dua daerah tersebut. Hakim agama menentukan keputusan pemberian dispensasi kawin. Di dua daerah yang diteliti, ditemukan bahwa latar belakang hakim yang menentukan keputusan terkait dispensasi kawin. Misalnya, hakim agama di Lombok Barat kebanyakan memberi dispensasi kepada pasangan anak karena alasan mendesak, seperti Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), sudah terjadi nikah siri, dan desakan masyarakat. Sementara hakim agama di Sukabumi memberikan keringanan dengan dalih KTD, nikah siri, dan menganggap anak perempuan usia 17-19 tahun sudah layak dikawinkan. Setelah ditelusuri, ditemukan bahwa seluruh hakim agama di Lombok Barat sudah memiliki sertifikasi hakim anak, sementara tidak semua hakim agama di Sukabumi memiliki sertifikat itu. Sertifikasi hakim anak juga tidak dianggap berkas penting oleh Pengadilan Agama Sukabumi. Sehingga, hakim agama di Sukabumi cenderung tidak memiliki pengetahuan tentang hak anak sebaik hakim agama di Lombok Barat. Muatan penting yang tidak disepelekan oleh hakim agama di Lombok Barat adalah pentingnya pendidikan perempuan pascanikah dan pengetahuan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) mereka. Dalam wawancara, hakim anak di Lombok Barat menyatakan mereka kerap memberi nasihat soal dampak perkawinan, seperti KDRT dan keguguran, pada calon pasangan kawin anak. Tetapi berdasarkan wawancara dengan anak perempuan yang sudah menikah, informasi ini tidak selalu disampaikan pada seluruh calon pasangan kawin anak. Ajeng Gandini Kamilah menyambung paparan dengan riset di Sukabumi dan Giri Menang. Berdasarkan data dari dua pengadilan agama tersebut, dari 60 permintaan dispensasi, 55 di antaranya adalah perempuan. “Mayoritas anak perempuan merupakan kelompok yang rentan menjadi subjek dispensasi kawin,” ujarnya. Bahkan, ditemukan anak perempuan yang meminta dispensasi kawin pada usia 14 tahun. Tidak ditemukan anak laki-laki yang meminta dispensasi kawin pada usia 14-16 tahun. Kebanyakan permohonan ini diterima hakim tanpa adanya kemendesakan, artinya kebanyakan calon pasangan anak tidak mengalami KTD. Hakim kerap memberikan dispensasi karena calon pasangan anak sudah nikah siri atau bertunangan. “Posisi anak setelah menikah sangat rentan,” ujar Lia Anggiasih membuka paparannya. Perkawinan anak ini juga kerap dilatarbelakangi oleh KTD pada anak. Aktivis yang kerap disapa Anggi ini pun beretorika, “Apakah anak perempuan yang hamil harus menikah?” Jawabannya, tidak. Tetapi kebanyakan anak memilih menikah guna menghindari rasa malu. Anggi mengungkapkan, baik menikah atau tidak menikah, anak yang mengalami KTD akan tetap dihakimi masyarakat. Bagi mereka yang memilih tidak menikah, penghakiman akan lebih berat lagi. Hal ini juga yang harusnya dihapuskan secara sosial. Sehingga, anak tidak perlu “terpaksa” menikah untuk menyelamatkan wajah keluarga. Pun dengan selebritas Indonesia yang harus berhenti mengglorifikasi perkawinan dini. Selain paparan hasil riset, hadir pula Resi, seorang Pendidik Sebaya asal Jawa Barat. Di lingkungan teman sepermainannya, perkawinan dini—bahkan tanpa dispensasi—adalah hal lumrah. Tidak nyaman dengan hal ini, Resi mengajukan diri menjadi Pendidik Sebaya melalui program Gema Cita dari Plan Indonesia. Kepeduliannya terhadap isu ini membuka matanya, karena ia menemukan bahwa banyak orang tua pasangan kawin anak yang justru mendorong hal tersebut. Mirisnya, perkawinan anak ini kerap berakhir pada hubungan toxic, di mana pihak perempuan diisolasi pasangannya, mendapat KDRT, dan ditinggalkan. Menanggapi diskusi ini, Rini Handayani selaku Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KPPPA mendorong masyarakat melihat isu ini secara holistik dan mulai mendengarkan pendapat anak. “Harus ada gerakan bersama, tidak bisa pemerintah sendiri saja, tapi keterlibatan semua pihak. Masyarakat berpartisipasi dari tingkat bawah dan menutup celah dispensasi kawin,” ujar Rini. Senada dengannya, Indah Sulistyowati, seorang Hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, mengatakan implementasi regulasi pencegahan perkawinan anak ini belum maksimal. “Kita harus merunut ke belakang, apakah tidak maksimal karena pemahaman atau kurang sosialisasi?” Indah bertanya pada audiens. Sementara itu, Nur Rofiah selaku anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyoroti akil balig (kedewasaan) sebagai celah perkawinan anak. Akil balig hanya dipahami sebagai kesiapan tubuh untuk bereproduksi. Namun, akil balig sebenarnya terkait dengan kesadaran dan kemampuan pengambilan keputusan seorang anak. Mimpi basah atau menstruasi saja tidak bisa menentukan apakah seorang anak sudah siap menikah atau belum. Sebagai penutup, Aidy Furqan membagikan praktik baiknya lewat program Sekolah Menengah Atas (SMA) Terbuka. Program ini adalah layanan bagi mereka yang ingin kembali bersekolah, tanpa memandang latar belakang pernikahannya. Diskusi ini menunjukkan pendidikan adalah hal yang utama dalam proses tumbuh kembang anak. Perkawinan anak hanya akan menambah beban berlapis bagi pelakunya, terutama pihak perempuan. Dengan pendidikan, anak perempuan akan berdaya dan dapat menentukan sendiri nasibnya. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |