Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mengadakan konferensi pers di LBH Jakarta, Jakarta Pusat pada hari Rabu (29/05) untuk mendiskusikan proses pembahasan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dirasa tidak partisipatif dan berpotensi melanggar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3, menyampaikan bahwa Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) yang telah ditunjuk sebagai leading sector dan bertugas memperkuat Daftar Inventatis Masalah (DIM) tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam proses perbaikan DIM, khususnya kelompok perempuan yang memiliki kepentingan dalam RUU PKS. “Kami mencatat, setidaknya dalam tiga kali pertemuan antara pemerintah dan masyarakat sipil pada akhir tahun 2018 dan awal 2019, KPPPA belum memberi ruang untuk menyampaikan masukan atas DIM yang disusun pemerintah. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, pihak KPPPA selalu menjanjikan adanya ruang diskusi bersama antara masyarakat sipil dan pemerintah, namun hingga kini belum terlaksana,” tegasnya. Siti Aminah, Anggota Tim Substansi JKP3, turut menjelaskan bahwa DIM versi pemerintah belum mengakomodir tujuan dan harapan pembentukan Undang-Undang PKS. Menurutnya, DIM yang disusun telah mereduksi beberapa poin penting dalam RUU PKS. “RUU PKS akan memenuhi kepentingan korban kekerasan seksual, jika enam elemen didalam RUU PKS tetap dipertahankan, yakni pencegahan, 9 bentuk kekerasan seksual, hukum acara pidana khusus kekerasan seksual, ketentuan pidana kekerasan seksual, pemulihan korban, dan pemantauan korban,” tuturnya. Lebih jauh, Aminah menjelaskan bahwa terdapat 17 isu yang dihapus dalam DIM versi Pemerintah merespons draft RUU PKS yang telah dibentuk oleh DPR. Beberapa diantaranya adalah memangkas 9 tindak pidana kekerasan seksual menjadi 4 tindak pidana kekerasan seksual, “Pemerintah hanya menyorot 4 tindak pidana kekerasan seksual, yakni pencabulan, eksploitasi seksual, persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, dan penyiksaan seksual,” jelasnya. Selain itu, ditemukan pula penyempitan rumusan perkosaan yang sudah diperluas dalam draft RUU PKS serta penggunaan istilah persetubuhan dan pencabulan yang selama ini problematis dan mendiskualifikasi pengalaman korban perempuan. DIM ini juga menghilangkan hukum acara khusus untuk kekerasan seksual dan ketentuan terkait hak-hak korban meliputi penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan, yang justru merupakan alasan mendasar pembentukan UU PKS. Pentingnya UU PKS bagi korban kekerasan seksual dijelaskan pula oleh Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah. Ia mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku bagi korban kekerasan seksual saat ini hanya memuat pencabulan dan perkosaan, sementara angka korban terus meningkat setiap tahunnya. Selain itu, permasalahan proses hukum kasus kekerasan seksual seringkali terkendala oleh reviktimisasi, tidak adanya saksi, dan rasa trauma yang memperlukan hukum acara khusus bagi korban. Namun, hak-hak korban tersebut justru dihilangkan dalam DIM versi Pemerintah. Lebih jauh, Aprilia, perwakilan LBH Jakarta, menekankan bahwa proses penyusunan DIM RUU PKS ini tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang membahas Pemenuhan Peraturan Perundang-Undangan. Seperti pada Bab XI yang mengatur Partisipasi Masyarakat, disebutkan pada Pasal 98 Ayat 1 bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses pembentukan perundang-undangan. Bertolak belakang dengan hukum yang berlaku, KPPPA justru membatasi keterlibatan masyarakat sipil dan terkesan menutup ruang diskusi untuk memperbaiki DIM. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka JKP3 menolak DIM versi Pemerintah karena tidak partisipatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan dan pengalaman perempuan yang menjadi sasaran utama dari RUU PKS. JKP3 mendesak KPPPA untuk melibatkan masyarakat sipil yang berkepentingan atas RUU PKS dalam diskusi-diskusi substansi RUU sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. JKP3 juga menuntut Pemerintah dan DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU PKS menjadi UU tanpa mengorbankan prinsip partisipasi masyarakat dalam rangka mengawal mutu kualitas pembahasan dan muatan RUU menjadi lebih baik, sesuai dengan tujuan keberadaan RUU yakni sebagai terobosan untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia terkait isu kekerasan seksual secara komprehensif. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |