International Labor Organization (ILO) Indonesia menggandeng Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyelenggarakan Peluncuran Peta Jalan Ekonomi Perawatan “Menuju Indonesia Emas 2045 dengan Dunia Kerja yang Lebih Setara”. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/3/2024). Peta jalan ini disusun dalam rangka memajukan peran perempuan dalam sektor kerja, sekaligus merekognisi peran-peran perawatan sebagai investasi ekonomi bangsa. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, serta Country Director ILO untuk Indonesia dan Timor Leste, Simrin Singh. “Ketidaksetaraan gender telah menjadi tantangan global, yang menjadi lebih signifikan sejak pandemi Covid-19. Ketidaksetaraan terjadi di berbagai aspek, salah satunya di bidang ketenagakerjaan,” ujar Bintang Puspayoga selagi membuka kegiatan. Menteri PPPA ini juga menyoroti timpangnya beban pengasuhan keluarga. Hal ini berpengaruh pada partisipasi kerja perempuan yang 30% lebih rendah dibanding laki-laki.
Senada dengan Bintang, Simrin Singh juga menyerukan hal yang sama. Ia mengajak Indonesia untuk tidak lagi menerima ketertinggalan perempuan di ruang kerja. Untuk mencapainya, fasilitas perawatan inklusif seperti child care dan elderly care harus diperbanyak. Ketertinggalan partisipasi perempuan di ruang kerja utamanya disebabkan oleh peran pengasuhan domestik yang dibebankan pada perempuan. Minimnya upaya meredistribusi kerja-kerja perawatan dan pengasuhan menyulitkan perempuan untuk terbebas dari peran stereotipikal tersebut. Oleh sebab itu, Peta Jalan Ekonomi Perawatan ini diharapkan dapat mengawal pembangunan ekonomi perawatan yang merekognisi peran perempuan. Namun begitu, adanya Peta Jalan ini tidak serta merta mengurai masalah ketidaksetaraan gender. Dibutuhkan kebijakan-kebijakan lainnya untuk memuluskan upaya rekognisi dan redistribusi peran perawatan perempuan dan memperbaiki kesetaraan di tempat kerja. Peta Jalan ini dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat partisipasi kerja perempuan. Hal tersebut disebabkan perempuan didorong untuk kembali pada tanggung jawab perawatan, baik oleh pasangan, keluarga, masyarakat, maupun tempat kerjanya sendiri—yang menganggap perempuan berkeluarga tidak lagi produktif sebagai tenaga kerja. Demikian diperlukan penanganan khusus terkait isu ini. Minimnya afirmasi terhadap perempuan di tempat kerja semakin menyulitkan upaya ini. Komposisi gender di ruang kerja hanya dipandang sebagai urusan bisnis semata. “Tidak bisa lagi business as usual; sekarang saatnya afirmasi,” ujar Lenny Nurhayanti Rosalin (Deputi Bidang Kesetaraan Gender KPPPA) dalam sesi talkshow. Lenny juga menyatakan, isu strategis dalam Peta Jalan ini mencakup child care dan daycare, layanan berbasis inklusi, perlindungan maternitas, cuti paternitas, hingga jaminan sosial dan ekonomi perawatan. Dinar Titus Jogaswitani (Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan) melanjutkan diskusi dengan menyoroti adanya kesenjangan upah perempuan pada pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki. Akar dari permasalahan ini, lagi-lagi, adalah kesenjangan tanggung jawab perawatan domestik. Sehingga perempuan selalu dikonstruksikan untuk lebih banyak mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dibanding laki-laki. Akibatnya, stereotip perempuan lebih tidak produktif dibanding laki-laki semakin kuat. Diharapkan, Peta Jalan ini dapat memecahkan masalah tersebut. Salah satu kemajuan yang dapat diupayakan adalah penggunaan Peta Jalan sebagai landasan advokasi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Demikian, arah kebijakan dapat dirancang menjadi protektif (melindungi fungsi reproduksi pekerja perempuan) dan kuratif (peningkatan kedudukan pekerja). “Jika kita bicara ekonomi perawatan, kita bicara tentang menyejahterakan Indonesia,” buka Sri Wiyanti Eddyono (Study Center of Law, Gender, and Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada). Ekonomi perawatan juga harus hadir sepaket dengan transformasi yang adil gender. Hal ini yang harus menjadi landasan dalam berbagai perubahan kebijakan. Adanya pembagian peran domestik dan publik juga perlu dibongkar untuk menyukseskan transformasi sosial. Sebab, pembagian peran ini selalu berimplikasi pada domestikasi dan peminggiran peran perempuan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Masyarakat saat ini masih memiliki pola pikir bahwa peran produktif dan reproduktif memiliki kesenjangan nilai. Peran produktif, seperti mencari nafkah untuk keluarga, dianggap lebih bernilai dibanding peran reproduktif, seperti membangun keluarga. “Padahal, tidak selalu sebuah pekerjaan harus dibayar untuk menjadi bernilai,” tambah Sri Wiyanti Eddyono. Selain Peta Jalan yang telah diluncurkan, masyarakat juga dapat menggunakan kerangka 5R yang telah dicetuskan oleh ILO untuk meningkatkan pemahaman publik mengenai kerja dan ekonomi perawatan. Kerangka 5R, yaitu rekognisi (recognize), reduksi (reduce), redistribusi (redistribute), penghargaan (reward), dan representasi (represent), dapat digunakan untuk membangun kesetaraan gender dalam kerja perawatan. Diharapkan upaya ini dapat mendorong negara dan masyarakat untuk berinvestasi pada kerja dan ekonomi perawatan sebagai basis ekonomi negara. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |