Pembahasan serta obrolan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) saat ini sangatlah beragam. Pada isu lingkungan, perlu dipahami bahwa perempuan dan lingkungan memiliki hubungan yang kompleks. Dalam teori ekofeminisme, terdapat konsep Gaia, yang menunjukkan alam kerap dipersonifikasikan sebagai perempuan atau ibu. Melihat keterkaitan ini, maka tidak mengherankan apabila kita berbicara terkait pembelaan hak dan kesetaraan pada perempuan, kita juga berbicara mengenai lingkungan. Diskriminasi dan ketidakadilan antara manusia dan lingkungan menjadi persoalan bersama yang segera harus diselesaikan. Dalam rangka merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Studio Belajar Tanah Air Beta mengadakan Diskusi Online Hari Lingkungan Hidup dengan tajuk "Tantangan dan Aksi Perempuan Pembela HAM-Lingkungan Asia Tenggara" pada Selasa (6/13/2023) lalu. Pelaksanaan diskusi ini dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan dua narasumber, yakni Nissa Wargadipura (Pesantren Ekologi Ath-Thoriq), Siti Maimunah (Mama Aleta Fund), serta Zahid M. sebagai moderator.
Sebelum pemaparan narasumber, terdapat sambutan yang diberikan oleh Zahid selaku moderator dan perwakilan dari penyelenggara, yakni Studio Belajar Tanah Air Beta. Zahid memaparkan mengenai bagaimana tantangan dan aksi perempuan pembela HAM yang berkaitan dengan lingkungan di Asia Tenggara. Selanjutnya, Zahid mengiyakan jika penyelenggaraan kegiatan ini sebagai langkah dalam merayakan Hari Lingkungan yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 lalu. Hadirnya dua pemateri dalam diskusi ini sekaligus menjadi ajang sharing hasil pertemuan Southeast Asia Woman Human Environment Right Defender (SEA-WEHRDs) Summit 2023 yang diadakan di Adonara, Nusa Tenggara Timur. Pembahasan pada diskusi ini terkait beberapa muatan kunci. Pertama, mengapa harus ada perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, bagaimana pengalaman perempuan pembela HAM dan lingkungan serta manfaat yang ditimbulkannya. Ketiga, apakah konflik manusia dan lingkungan dapat diangkat menjadi isu sehari-hari. Bertepatan dengan selesainya pembahasan pokok bahasan, maka diskusi ini langsung dibuka dengan paparan narasumber pertama. Pemaparan materi diawali oleh Ummi Nissa selaku pendiri atau pengurus Pondok Pesantren Ekologi Ath-Thoriq di Garut. Pada awal pembahasan, Nissa mengucapkan terima kasih kepada Zahid dan kawan-kawan atas pemberian kesempatan untuk berbicara dan menjelaskan. Nissa adalah seorang aktivis di Tanah Air Beta. Nissa membagikan pengalamannya ketika hadir dalam seminar selama lima hari terkait pemimpin perempuan pejuang lingkungan dan pembela HAM di Adonara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Satu yang dipahami ketika bertemu dengan para pemimpin lain, yakni terdapat satu keterikatan maupun kesamaan pengaman ketika para peserta program seminar memaparkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Satu hal kisah yang disebutkan oleh Nissa adalah usaha para perempuan mempertahankan kelestarian alam mereka dengan segenap tenaga. Setiap perempuan pembela HAM dan lingkungan memiliki semangat juang tinggi, meskipun tidak menutup kemungkinan baik secara fisik maupun sistem, negara maupun oligarki telah memiliki kekuatan yang lebih besar. Nissa, yang juga menjadi pendiri Pesantren Ekologi, pun menjelaskan praktik baik bagi masyarakat yang membutuhkan pemberdayaan lingkungan. Menurutnya, dalam menghadapi konflik lingkungan bukan lagi mengenai persoalan melakukan pertahanan dan perlawanan. Para perempuan pejuang HAM dan lingkungan telah berusaha sekuat tenaga untuk melindungi tempat tinggal dan hak-hak mereka. Salah satu kisah perjuangan yang berbekas dalam ingatan Nissa adalah perjuangan perempuan-perempuan di Kamboja dalam mempertahankan lingkungan tempat tinggalnya dari jamahan perusahaan-perusahaan besar. Dalam perlawanan itu, tidak hanya para perempuan muda yang berperan, tetapi juga para lansia yang sudah berusia 50-60 tahun. Perjuangan para perempuan terhadap lingkungannya didasarkan dari adanya keterikatan mereka dengan alam. Mereka dilahirkan dan dibesarkan di daerah tersebut. Sehingga mereka sangat baik dalam menentukan jalan dan strategi dalam mempertahankan alamnya. Pembahasan dilanjutkan oleh Siti Maimunah atau akrab disapa dengan sebutan Mai, selaku perwakilan Mama Aleta Fund (MAF). Mai memaparkan pengalamannya dalam kegiatan pertemuan Southeast Asia Woman Human Environment Right Defender (SEA-WEHRDs) Summit 2023 di Adonara. Selanjutnya, Mai menjelaskan kondisi masyarakat dan lingkungan NTT yang dalam hal ini juga menjadi daerah kerja Studio Belajar Tanah Air Beta. Pada masyarakat NTT, tanaman sorgum menjadi sumber pangan utama. Sorghum merupakan wujud tanaman “keras kepala”, karena membutuhkan keuletan lebih dalam membudidayakannya. Mai menyebutkan Yayasan Agro Sorgum Flores (Yasores) merupakan kelompok yang menghidupkan kembali tanaman sorgum agar dapat menjadi sumber pangan utama. Pembahasan berikutnya mengenai perempuan dan pembela HAM. Menilik dari cerita dan pengalaman perempuan Sumba, perempuan wajib menggunakan kain, tetapi pada saat bersamaan perempuan juga harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Hal ini adalah imbas dari konstruksi peran gender, yang memaksa laki-laki untuk tampil pada ruang publik, sementara perempuan pada lingkungan domestik. Mai selanjutnya menceritakan terkait kisah salah satu perempuan bernama Rampu yang mengalami ketidakadilan. Hal ini terjadi ketika Rampu mengerjakan pekerjaan domestik dan dirinya dalam kondisi mengenakan kain. Ketika sedang menyuguhkan makanan untuk mertua dengan kondisi mengenakan kain, Rampu terserempet dan menyebabkan makanan yang ia bawa tumpah. Kondisi ini membuat Rampu berpikir, bolehkah perempuan tidak mengenakan kain di rumah? Mertua Rampu menjawab tidak, karena hal tersebut adalah adat. Kondisi yang terjadi ini menjadi titik awal perjuangan Rampu dalam mengawal isu kesetaraan pada perempuan. Pemikiran Rampu terkait penggunaan kain pada perempuan merupakan contoh perampasan kebebasan berpakaian perempuan. Selanjutnya, pemaparan disambung oleh Marcella, seorang aktivis dari Filipina. Ia menjelaskan, baik laki-laki dan perempuan itu perlu menghidupkan kembali karakter femininnya. Sebab, feminin itu sebenarnya ada pada diri laki-laki dan perempuan. Karakter feminin ini punya sifat merawat dan senang berbagi satu sama lain. Menurutnya, ini yang harus dihidupkan dalam keluarga. Paparan pengalaman selajutnya datang dari perempuan penenun, Hira, yang merupakan salah satu perempuan terpelajar; ia sekolah dan tetap terjun di kalangan masyarakat. Hira berusaha keluar dari rumah karena rumah menjadi ruang tidak aman untuknya, karena adanya KDRT dan diskriminasi yang ia alami. Setelah keluar dari rumah, Hira berusaha mengorganisasikan para perempuan di sekitar untuk memperjuangkan hak-haknya. Hal yang dilakukan Hira adalah mengajarkan perempuan untuk menenun kain. Hubungan antara tenun dengan pembebasan perempuan sangat erat, karena tenun dapat menjadi mata pencaharian perempuan serta menjadi bentuk perjuangan perempuan dari KDRT, diskriminasi, dan kekerasan ekonomi. Tenun juga mendorong perempuan lainnya untuk turut memperjuangkan haknya. Di luar motif itu, kerajinan tenun yang dibuat oleh perempuan binaan Hira dibuat dengan menggunakan warna-warna alami dan motif-motif klasik. Hal ini merupakan hal baik, sebab warna-warna dan motif klasik ini diusahakan untuk muncul kembali di tangan para penenun perempuan ini. Pemberdayaan yang dilakukan perempuan pembela HAM tidak hanya soal resistensi, tetapi juga memberdayakan ekonomi, sosial, dan budaya, yang mana itu juga bagian dari perjuangan perempuan. Dalam penutupnya, Mia menyampaikan semangat pada para perempuan pembela HAM dan lingkungan. Mereka juga wajib dilindungi sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini sebab para pembela HAM dan lingkungan telah berusaha mengerjakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh negara. Dalam sesi akhir diskusi Zahid memaparkan serangkai kalimat penutup, yakni perjuangan orang-orang yang berada di wilayah yang terpencil, khususnya jauh dari segala kemudahan urban, erat dengan kerumitan perjuangan HAM dan lingkungan. Isu lingkungan dan kesetaraan pun sarat kaitannya dengan peran perempuan, hal ini yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dengan pemahaman akan hal ini, perempuan diharapkan terlibat sebagai aktor kunci kunci untuk menyelesaikan masalah yang ada di daerahnya bermukim. (Esa Genisa Religiswa Magistravia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |