Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Gerakan Pita Ungu: Solidaritas Mahasiswa Melawan Budaya Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

16/12/2022

 
PictureDok. GPU
     Perempuan di seluruh dunia merayakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pada tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran soal tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Dalam beberapa tahun belakangan, peringatan 16 HAKTP di Indonesia didominasi oleh kampanye anti kekerasan seksual dan rape culture, sebab praktiknya masih sangat tinggi.

     Menanggapi hal ini, mahasiswa Kelas Paradigma Feminis, Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) menyelenggarakan kampanye 16 HAKTP bertajuk Gerakan Pita Ungu (GPU). Kampanye ini dibuka dengan menyebarkan pamflet anti kekerasan seksual, membagikan pita ungu, mengadakan pameran, hingga menyelenggarakan diskusi 16 HAKTP sebagai puncaknya.

     Pada Rabu (14/12/2022) lalu, Jurnal Perempuan berkesempatan berpartisipasi dalam acara puncak GPU. Bertempat di FIB UI Depok, diskusi menghadirkan Siti Aminah Tardi (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan – Komnas Perempuan), Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika), Retno Daru Dewi G.S. Putri (Jurnal Perempuan), dimoderatori Amira Ruzuar (Kolektif Advokat Gender untuk Keadilan).

     Siti Aminah Tardi membuka paparan dengan menjelaskan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara umum. Dalam paparannya, ia menekankan UU TPKS sebagai regulasi baru yang dapat melindungi korban. Selain itu, UU TPKS juga lebih menyeluruh dibanding regulasi serupa di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena satu tujuan dari UU TPKS adalah mencegah segala bentuk kekerasan seksual. UU TPKS juga tidak hanya memberikan definisi kekerasan seksual, tetapi turut memasukkan definisi tersebutke dalam pasal-pasal spesifik. Sehingga, perdebatan yang melelahkan mengenai definisi kekerasan seksual yang terlalu luas dapat dihindari. Definisi yang spesifik juga penting untuk memastikan segala bentuk tindakan yang merendahkan dan melecehkan perempuan adalah bentuk kekerasan seksual.

     Disampaikan pula, bahwa UU TPKS menganut double track system. Artinya, sistem ini menggunakan dua jalur sanksi, yakni mengatur sanksi pidana di satu pihak dan juga sanksi tindakan di pihak lain. Hal ini dapat terlihat dalam kasus penghalangan penyelidikan oleh anggota keluarga pelaku. Mereka dapat dikenai hukum pidana karena sudah menyulitkan penuntasan kasus kekerasan seksual. Dalam UU TPKS pula, bagian hukum acara pidana mendapat porsi paling banyak. Hukum ini mengatur bagaimana korban harus diperlakukan di kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan, sehingga diskriminasi dan reviktimisasi terhadap korban bisa ditekan.

     Menurut Aminah, hukum Indonesia terdahulu banyak melakukan reviktimisasi terhadap korban. Salah satu sebabnya adalah ilmu viktimologi yang belum berkembang sejauh ini. Alhasil, dalam UU sebelumnya, tidak ada pasal mengenai hak korban. Menutup paparan, Aminah menyatakan UU TPKS kini sudah berlaku efektif dan sudah ada beberapa kasus yang disidang menggunakan UU TPKS. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual di Pesantren Shidiqiyyah Jombang, Jawa Timur. Pelaku dihukum menggunakan UU TPKS sementara pendukungnya dikenakan hukum pidana obstruction of justice karena menghalangi penyelidikan.

     Narasumber kedua, Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika, menyatakan bahwa perempuan sudah dikenalkan pada kekerasan bahkan sesaat setelah dilahirkan. Contohnya adalah praktik sunat perempuan (Female Genital Mutilation). Di masa lalu, kelahiran bayi perempuan pun kerap dilanjutkan dengan pembunuhan terhadapnya, karena dianggap tidak menguntungkan keluarga. Budaya-budaya yang sudah lama terjalin di masyarakat tersebut kemudian berkembang menjadi rape culture. Rape culture ini merupakan masalah dunia, bukan hanya masalah negara dunia ketiga.

     Vivi juga menjelaskan perkosaan sebagai senjata untuk menaklukan komunitas. Praktik ini kerap terjadi dalam konflik etnis, konflik masyarakat, bahkan konflik negara. Perempuan menjadi kelompok paling rentan akan pemerkosaan ini. “Kekerasan seksual digunakan untuk menghukum perempuan bila perempuan tidak taat dengan norma gender masyarakat,” tambah Vivi. Hal ini juga yang menjadi justifikasi perkosaan dalam pernikahan, yakni seorang istri tidak pantas menolak ajakan berhubungan seksual dari suaminya sebab suaminya sudah “memiliki” tubuh istrinya.

     Aktivis di Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHK) ini juga menambahkan, kekerasan seksual tidak berdiri sendiri, ia selalu ditopang oleh sesuatu yang sistematis dan struktural. Vivi menyinggung adanya 421 Peraturan Daerah (Perda) seksis dan diskriminatif yang mengatur kehidupan dan tubuh perempuan, yang datanya diafirmasi oleh Aminah.

     Tantangan kita untuk menghilangkan rape culture adalah, masih banyaknya orang yang menganggap kekerasan seksual adalah wajar dan layak ditertawakan. Pelaku kekerasan seksual yang kebanyakan adalah orang terdekat juga menjadi tantangan. Akhir kata, Vivi mengajak audiens melawan kekerasan seksual dari diri sendiri, dengan memutus rantai budaya kekerasan dalam pikiran kita.

     Retno Daru Dewi G.S. Putri yang akrab disapa Daru menyambung paparan dua narasumber sebelumnya. Daru membuka paparan dengan berkata, “Rape culture sudah mendarah daging dalam sistem patriarki.” Hal ini memberi dampak negatif pada korban, yaitu pelaku yang kerap tidak dihukum. Masyarakat pun cenderung berpihak pada pelaku dan menyalahkan korban.

     Pemahaman akan konsep maskulinitas yang kuno, pembagian kerja domestik yang tidak berimbang, juga objektivikasi terhadap perempuan membuat perempuan rentan menjadi korban. Bahkan, perempuan pun masih tidak dipercaya ketika ia mengambil keputusan. Patriarki juga paralel dengan penderitaan yang dihadapi laki-laki, seperti kesulitan menunjukkan emosi. Banyak studi menunjukkan bahwa laki-laki sebagai pelaku bunuh diri terbanyak karena terlalu banyak memendam perasaan negatif.

     Patriarki menggiring kita untuk percaya bahwa laki-laki harus memegang peran-peran tertentu. Dalam contoh sederhana, seperti dalam pemilihan ketua kelas, secara tidak sadar kita mempersilakan laki-laki terlebih dulu. Mengenai kekerasan seksual, Daru menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah power abuse yang dilakukan pihak lebih kuat ke pihak lebih lemah.

     Daru menyampaikan beberapa riset yang pernah diterbitkan oleh Jurnal Perempuan, salah satunya dari Sulistyowati Irianto yang menunjukkan banyaknya penyintas kekerasan seksual dari kalangan mahasiswi, sebab mereka terjebak dalam relasi kuasa. Riset dari Ikhaputri Widiantini juga menyoroti banyaknya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Riset-riset ini membuktikan rape culture masih ada, bahkan di lingkungan kampus yang terlihat lebih terpelajar.

     Sebagai penutup paparannya, Daru juga mengingatkan audiens bahwa body shaming juga termasuk dalam rape culture. Mengenai hal ini, Daru memberikan sebuah tips. Bila kita menyaksikan orang-orang terdekat kita di lingkungan kampus masih melakukan body shaming, kirimkanlah pasal yang melarang body shaming dalam Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) kepada orang tersebut. Tips lainnya untuk melawan rape culture adalah berani bicara, membangun kesadaran bersama akan bahaya kekerasan seksual, dan mendobrak konsep maskulinitas kuno di dalam diri kita sendiri.

     GPU menjadi salah satu contoh nyata penerapan pengetahuan feminis dalam kehidupan sehari-hari. Kampanye ini dapat mengantarkan pemahaman mengenai isu-isu gender secara horizontal, seperti lingkungan pertemanan di kampus. Penyebaran pengetahuan dari teman ke teman dapat memudahkan masyarakat memahami pentingnya isu penghapusan kekerasan seksual di lingkungan manapun. (Nada Salsabila)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025