Rabu (25/4) bertempat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) berlangsung konferensi pers Festival Hadhrami dengan tema Merayakan Keragaman Etnis Keturunan Hadhramaut di Indonesia. Konferensi pers menghadirkan Melani Budianta (Universitas Indonesia), John McGlynn (Yayasan Lontar), Yasmin Zaky Shahab (Panelis), dan Huub de Jong (Panelis) sebagai pembicara. Berlangsung selama dua hari, 25-26 April 2018, di FIB UI, Festival Hadhrami diselenggarakan karena tampilnya beberapa pribadi dan komunitas Hadhrami sebagai tokoh ikonik dipanggung politik Indonesia. Hal ini memunculkan anggapan yang sangat kuat di benak masyarakat bahwa komunitas Hadhrami merupakan representasi dari kubu politik tertentu di Indonesia. Tentu saja hal tersebut merupakan anggapan yang salah. Sama halnya dengan etnis lainnya, masyarakat Hadhrami bukanlah komunitas yang bersifat tunggal. Keragaman masyarakat Hadhrami di Indonesia bahkan dapat ditemukan pada masa-masa awal pembentukan negara bangsa Indonesia. Salah satu bukti peninggalan sejarah yang mencerminkan keragaman sekaligus dinamika internal komunitas Hadhrami adalah naskah drama Fatimah karya Hoesin Bafagih. Di tengah riuhnya situasi politik identitas, naskah drama yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1938 itu menjadi penting untuk ditampilkan kembali sebagai pengingat atas salah satu tahapan sejarah pembentukan bangsa yang beragam ini. Buku drama Fatimah tidak hanya berkisah tentang percintaan, tetapi juga tentang kebangsaan dan isu-isu yang berlangsung pada masyarakat Hadhrami. Naskah Fatimah yang diterbitkan tahun 2018 oleh Yayasan Lontar ini didapatkan dan diketik ulang menjadi sebuah buku oleh Nabiel A. Karim Hayaze. Sulitnya mencari penerbit untuk karya sastra di Indonesia mengantarkan Nabiel pada Huub de Jong yang diminta olehnya untuk memberikan kata pengantar buku Fatimah tersebut. Melalui Huub, Nabile dipertemukan dengan Yayasan Lontar sehingga naskah Fatimah ini berhasil diterbitkan menjadi sebuah buku. Naskah drama Fatimah karya Hoesin Bafagih ini sendiri menggambarkan kondisi komunitas Hadhrami pada tahun 1930-an dalam kisah hidup Fatimah seorang anak perempuan dari keluarga Arab yang kaya raya. Diterbitkan pada tahun 1938 oleh Persatuan Arab Indonesia (PAI) cabang Semarang, karya Bafagih, seorang jurnalis progresif pada zamannya, mengundang banyak reaksi dari dalam komunitas Hadhrami, ada yang menyukai ada pula yang sebaliknya. Drama Fatimah berkisah tentang Nasir Bin Umar Asyaibie seorang kaya raya yang telah memasuki masa tua dan menderita penyakit gula berkeinginan untuk menikahkan putri bungsunya, Fatimah dengan Mochtar, yang adalah guru dari Fatimah sendiri. Mochtar merupakan seorang guru yang hidup sederhana dengan kebaikan yang berhasil mencuri perhatian Nasir. Kontrak pernikahan terjadi antara Mochtar dan Fatimah, namun keduanya baru akan hidup bersama setelah Fatimah mencapai usia dewasa, mengingat kontrak tersebut dilaksanakan saat usia Fatimah masih di bawah umur. Selama menunggu untuk hidup bersama calon suaminya, Fatimah tinggal bersama ibunya. Sementara warisannya yang baru akan diperolehnya di usia dewasa disimpan dan dipercayakan pada pihak yang mengatur mengenai warisan yang disebut Weeskamer. Sebelum meninggal, Nasir telah mengatur warisan untuk anak laki-lakinya yang hilang dan tidak pernah ditemukan olehnya. Anak laki-laki yang hilang tersebut ternyata merupakan hasil hubungan gelap Nasir dengan perempuan lain selama Nasir berkeliling berdagang. Setelah Nasir meninggal, Yusuf, anak kandung laki-laki Nasir yang juga kakak dari Fatimah, berusaha untuk membatalkan pernikahan Mochtar dan Fatimah agar warisan Fatimah dapat jatuh ke tangannya. Yusuf digambarkan sebagai sosok yang senang berfoya-foya dan minum minuman keras bersama teman-temannya. Pada akhir cerita, Mochtar dan Fatimah tidak bersatu sebagai suami istri karena Mochtar merupakan anak laki-laki Nasir yang hilang. Rangkaian acara Festival Hadhrami ini diisi dengan seminar dan diskusi oleh para pembicara dari dalam maupun luar negeri, peluncuran buku Fatimah, pementasan drama oleh Teater Koma, serta pertunjukan seni lainnya yakni tafsir musik oleh S. Abdullah, dan pertunjukan musik gambus dan tari zafin. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Lontar dan FIB UIini bertujuan untuk membuka pintu bagi pemahaman dan pengertian antar etnis budaya di Indonesia. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |