Minggu (13/02/2022), Reducates mengadakan seri podcast Dialog Inspiratif yang ke-63 dengan tema “Kajian Feminisme dan Filsafat”. Topik yang diangkat sangat penting untuk menekankan pentingnya pemikiran feminisme yang disandingkan dengan teori filsafat serta disiplin ilmu lainnya. Materi diskusi disampaikan oleh Gadis Arivia Effendi (Founder Jurnal Perempuan, Adjunct Professor Montgomery College Maryland). Acara daring tersebut dibawakan oleh Etin Anwar (Founder Reducates, dosen Hobart and William Smith Colleges) dan dimoderatori oleh Yuyun Sri Wahyuni (Kandidat PhD SUNY at Buffalo). Etin Anwar membuka diskusi dengan memaparkan pemikirannya akan Feminisme yang sebenarnya sudah diimplementasikan di Indonesia sejak zaman penjajahan. Akan tetapi, banyak kesalahpahaman yang membuat konsep ini seolah-olah adalah hal baru. Yuyun Sri Wahyuni mengamini pernyataan tersebut dengan menyayangkan bahwa feminisme menjadi momok yang kemudian dihindari banyak pihak. Padahal konsep tersebut sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan keadilan untuk semua orang.
Pemaparan materi dimulai oleh Gadis Arivia dengan menyinggung hubungan di antara feminisme dan filsafat yang menjadi fokus bukunya Filsafat Berperspektif Feminis. Menurut Gadis, feminisme tidak dapat dipisahkan dari filsafat dan bidang ilmu lainnya. Feminisme dan isu gender yang pada akhirnya diakui memiliki relasi dengan berbagai teori, konsep, dan wawasan lainnya menjadi kelegaan tersendiri bagi Gadis yang sangat paham manfaat baik dari perspektif tersebut. Di dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis, Gadis membongkar kungkungan pemikiran misoginis dalam filsafat. Feminisme di sini bermanfaat sebagai ilmu dan pisau yang mengupas lapisan-lapisan diskriminasi terhadap sudut pandang perempuan di dalam ilmu pengetahuan. Salah satu kesulitannyadalam mendobrak wawasan yang misoginis dialaminya sendiri ketika masih aktif mengajar di Indonesia. Tidak sedikit profesor dan dosen yang ingin mempertahankan ilmu pengetahuan yang mereka anggap murni. Padahal pemikir seperti Simone de Beauvoir dan filsuf perempuan lainnya tidak kalah dalam menghasilkan teori-teori yang membawa perubahan baik bagi orang banyak. Menurut Gadis, diskriminasi yang dialami oleh perempuan telah berlangsung sejak lama. Sebelum memasuki abad ke-18, perempuan dilarang untuk masuk ke dalam ruang kelas. Tidak patah semangat, mereka menguping dari balik pintu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang menjadi hak istimewa laki-laki. Tanpa perjuangan para feminis, bisa saja perempuan masih dijauhkan dari segala kegiatan akademik dan dipaksa untuk bertahan di ruang tertutup ranah domestik. Perjuangan para feminis menjadi salah satu materi yang dipaparkan pada webinar ini. Merujuk pada Rosemary Tong (2008), Gadis menjelaskan secara runut gelombang-gelombang pemikiran para feminis dari yang pertama hingga yang ketiga. Pemikiran feminisme gelombang pertama terdiri dari feminis liberal, radikal, dan Marxis-sosialis. Para ‘ibu’ yang memperjuangkan pemikiran feminisme yang liberal mengutamakan kesetaraan hak-hak positif seperti politik, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Tatanan hukum dan kebijakan yang setara bagi laki-laki dan perempuan juga menjadi tuntutan mereka. Sedangkan feminis radikal adalah mereka yang mulai sadar akan otonomi tubuhnya sendiri. Perempuan selalu ditindas oleh laki-laki yang menyalahgunakan kekuasaan mereka. Relasi kuasa tersebut biasanya berujung pada pemaksaan reproduksi hingga kekerasan seksual, sehingga para feminis radikal memiliki fokus pada perjuangan hak-hak reproduksi mereka. Penolakan akan peran laki-laki dan gerakan lesbianisme juga mewarnai perjuangan feminisme radikal. Feminisme Marxis dan sosialis turut mewarnai perkembangan feminisme gelombang pertama. Dari pemaparan Gadis, feminisme ini dijelaskan sebagai gerakan yang mementingkan bagaimana kapital atau modal itu penting bagi perempuan. Walaupun perempuan sudah memiliki hak dalam mengemban pendidikan hingga hak ketubuhannya sendiri, akan sangat sulit bagi mereka untuk bersaing dengan laki-laki jika tidak memiliki modal. Pergerakan ini mengutamakan hak yang setara bagi buruh perempuan, imigran, dan pekerja-pekerja perempuan lainnya.. Memasuki pemaparan pemikiran feminisme gelombang kedua, Gadis menegaskan bahwa kali ini para feminis memiliki fokus yang cenderung memperhatikan psike atau kondisi mental perempuan. Dari dua cabang pemikiran feminisme gelombang kedua, Gadis memulai penjelasan mengenai feminisme psikoanalisis. Sudut pandang para feminis psikoanalisis berusaha membalikkan tuduhan perempuan yang iri akan laki-laki dan disebut dengan penis envy. Perjuangan mereka turut mengkritik pemikiran filsuf-filsuf misoginis, seperti Sigmund Freud, dan teori-teori mereka yang seksis. Feminisme eksistensialis menjadi pemikiran kedua yang lahir pada gelombang ini. Ada kalanya perempuan tidak merasa cukup baik sebagai pemimpin atau bahkan sebagai manusia. Sehingga para feminis eksistensialis berusaha untuk mengupas permasalahan perempuan sebagai being yang liyan atau other. Berlanjut ke gelombang ketiga, Gadis menjelaskan empat pemikiran feminisme yang terdiri dari feminisme postmodern, multikultural dan global, ekofeminisme, dan postfeminisme. Pemikiran feminisme gelombang ketiga, menurutnya, menjadi sudut pandang yang bisa dikatakan sangat dekat dengan perempuan-perempuan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan banyaknya tradisi dan budaya yang terdapat di Indonesia. Sebagai contoh, Gadis menceritakan pengalamannya dalam melakukan riset di Aceh dan Papua. Sudut pandang feminisme multikultural dinilai paling tepat ketika riset tersebut dilakukan. Kondisi perempuan di Aceh dan Papua tentu sangat berbeda. Pola pikir, tradisi, dan budaya yang mereka miliki keragaman yang tidak mudah untuk disejajarkan. Dalam memahami perempuan di kedua wilayah tersebut, Gadis merasa pemikiran feminisme gelombang ketiga adalah alat yang paling tepat. Presentasi dilanjutkan oleh Gadis dengan menjelaskan pengertian dari feminisme dekolonial . Pemahaman ini menekankan pada pola pikir pihak-pihak lain yang tidak menggunakan pemikiran dikotomis. Penerapan empati dalam menghadapi kelompok perempuan serta masyarakat yang berbeda menjadi fokus pada pemikiran feminisme dekolonial. Implementasi pemikiran ini diharapkan mampu building the bridge (membangun jembatan) dan mencegah burning the bridge (membakar jembatan) antara kelompok-kelompok perempuan dan masyarakat yang diperjuangkan. Walaupun feminisme dekolonial pada awalnya lahir dari kritik terhadap para feminis kulit putih, Gadis yakin pemikiran ini bisa digunakan untuk memahami othering di budaya kita sendiri. Selain mengimplementasikan teori-teori dari ketiga gelombang feminisme, Gadis menekankan pentingnya dekonstruksi ilmu pengetahuan dengan mengingat dan mengakui pemikir-pemikir perempuan yang hilang dari sejarah. Selain itu, mengutip Bell Hooks, feminisme bukan hanya bidang ilmu tapi juga merupakan fenomena dari keseharian kita semua. Gadis mengingatkan audiens bahwa perempuan itu bisa saja istri, anak, nenek, atau teman yang berada di sekeliling kita. Maka penting untuk memahami relasi antara diri kita sendiri dengan perempuan dan juga kelompok marjinal lain yang agama, orientasi seksual, maupun gendernya tidak dominan di masyarakat. Setelah mengakhiri presentasi, Gadis merespon pertanyaan dari moderator dan audiens. Menanggapi pertanyaan mengenai inspirasi dalam memperjuangkan pemikiran feminisme, Gadis menyatakan bahwa pengalaman empiriknya sebagai perempuan sangat penting. Selain itu, ia sangat berterima kasih pada sosok gurunya yang mengarahkannya ke perpustakaan ketika masih bersekolah. Di perpustakaan tersebutlah Gadis menemukan buku karya Simone de Beauvoir untuk pertama kalinya. Kemudian konsep personal is political menjadi penting untuk dipahami. Sebagai contoh, pada umumnya nama anak akan diikutkan dengan marga atau nama keluarga sang ayah. Lalu bagaimana dengan sang ibu yang juga memiliki hak asuh dari anak tersebut? Menurut Gadis, jika perempuan tidak memperjuangkan apa yang menjadi haknya, maka lama kelamaan mereka akan dilecehkan dan selalu didiskriminasi Menanggapi pertanyaan yang berhubungan dengan sulitnya penerapan feminisme di Indonesia, pendiri Jurnal Perempuan ini mengingatkan bahwa menjadi negara yg demokratis adalah pilihan yang paling tepat saat ini. Setelah menjalani pemerintahan yang otoriter sekian lama, paham demokrasi menjadi pilihan terbaik untuk melibatkan masyarakat yang sangat beragam. Akan tetapi, perempuan dan kelompok marjinal lainnya tentu masih perlu diperjuangkan. Gadis mengatakan bahwa penerapan ethics of care dapat menjadi strategi yang tepat. Hal ini disebabkan oleh perlunya pemahaman masyarakat yang majemuk terhadap satu sama lain. Selain itu, etika kepedulian melarang peniadaan pihak-pihak yang dianggap tidak unggul atau dominan. Tanggapan selanjutnya diberikan untuk pertanyaan yang menyinggung feminisme dan Islam. Contoh yang menjadi permasalahan adalah penggunaan kerudung atau jilbab bagi perempuan. Gadis merespon dengan mengutamakan upaya memahami pilihan atribut keagamaan yang dikenakan oleh perempuan. Apabila mereka yang berkerudung menerapkan kesetaraan dan tidak memaksakan atributnya ke orang lain, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Akan tetapi, jika perempuan berbusana akibat tekanan dari pihak lain, maka mereka wajib kita dekati agar menjadi berdaya. Pemikiran feminisme sangat menarik dan menggairahkan. Walaupun kenyataannya masih sulit bagi feminisme untuk diterima secara utuh sebagai ilmu pengetahuan, Gadis melarang audiens untuk kehilangan harapan. Karena pemikiran feminisme layak untuk kita perjuangkan. Gadis berpesan agar mereka yang masih ‘alergi’ untuk membuka pikiran dan mengintip teori feminisme. Terakhir, acara ditutup oleh Gadis dengan penyataan, “Feminisme untuk semua orang, masyarakat yang lebih baik bisa diwujudkan dengan pemikiran feminis.” (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |