Dukungan Masyarakat dan Kerja Sama Seluruh Pihak: Solusi Implementasi UU TPKS yang Efektif24/10/2022
Sejak disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan April lalu, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS masih belum terlihat keefektivitasannya di dalam menangani proses pidana kekerasan seksual (KS) secara menyeluruh. Merespons hal tersebut, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menerbitkan Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian Kuantitatif Studi Barometer Sosial Kesetaraan Gender: Persepsi dan Tingkat Dukungan Warga Kepada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Needs Assessment Analisis Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Operasionalisasi UU TPKS. Ringkasan eksekutif tersebut merupakan hasil riset kuantitatif dan kualitatif mengenai pengetahuan masyarakat serta tantangan dan peluang implementasi UU TPKS. Mempresentasikan hasil riset pada ringkasan eksekutif yang dipublikasikan, Rabu (19/10) yang lalu INFID mengadakan diskusi bertajuk Policy Dialogue: Membahas Dua Hasil Riset untuk Masa Depan UU TPKS. Bertempat di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, acara ini merupakan sesi paralel dari Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM 2022. Perwakilan dari peneliti yang mempresentasikan hasil riset adalah Dio Ashar Wicaksana (Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society – INFID) dan Ratna Batara Munti (Koordinator Advokasi Kebijakan Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Indonesia). Dimoderatori oleh Gizka Ayu (Yayasan Kesehatan Perempuan), penanggap dari kedua presentasi adalah Anna Margret (Direktur Eksekutif Cakra Wikara Indonesia – CWI), Dian Indraswari (Direktur Yayasan Pulih), dan Purwani Prabandari (Managing Editor Tempo English).
Gizka Ayu membuka dengan menekankan pentingnya hasil riset untuk melihat mekanisme pelaporan dan penanganan yang efektif sebagai hasil implementasi dari UU TPKS. Selain itu, beragam respons masyarakat serta tantangan penerapan perangkat hukum tersebut menjadi hal kedua yang patut diberikan perhatian lebih dalam riset yang sudah dilakukan. Pembukaan dilanjutkan oleh sambutan dari A. D. Eridani (INFID) yang mengekspresikan rasa bersyukurnya karena setelah dua tahun dilanda pandemi COVID-19, akhirnya INFID dapat menyelenggarakan acara tatap muka kembali. Eridani berharap hasil riset yang dipresentasikan kali ini dapat diimplementasi oleh pemerintah di kemudian hari. Pemaparan pertama mengenai hasil penelitian kuantitatif disampaikan oleh Dio Ashar Wicaksana. Menurut Dio, hasil dari riset yang dilakukan olehnya dan tim menunjukkan bahwa sebagian besar dari 1200 responden di 20 kota mengetahui UU TPKS. Mereka juga merespons penelitian dengan menyatakan bahwa UU TPKS adalah perangkat hukum yang penting. Akan tetapi Dio dan timnya menemukan bahwa responden belum sepakat bahwa pemaksaan kontrasepsi adalah kekerasan seksual (KS). Selain itu, menurut mereka, penegak hukum sudah menjalankan tugas dengan baik dalam menangani korban dan kasus KS. Kesimpulan dari penelitian kuantitatif akhirnya menghasilkan solusi untuk mengedukasi masyarakat tentang pemahaman KS, termasuk pemaksaan kontrasepsi, dan kinerja penegak hukum yang ideal. Solusi lain adalah memastikan UU TPKS diimplementasikan dengan baik agar penegakkan hukum serta perlindungan korban terjamin. Untuk itu, anggaran untuk mengutamakan kepentingan korban harus terjamin. Salah satunya adalah dengan mengelola Victim Trust Fund (VTF) sebagai mekanisme perlindungan dan pemberdayaan korban. Kesadaran akan dampak psikis, fisik, dan sosial korban KS juga harus menjadi fokus berikutnya. Dari sisi korban, dukungan keluarga sangat penting. Hal tersebut dikarenakan korban seringkali menjadikan keluarga dan orang-orang terdekat sebagai tempat mengadu yang aman. Akan tetapi, Dio dan timnya kahwatir akan potensi perilaku KS yang berasa dari orang-orang terdekat. Sehingga edukasi mengenal komunitas, dan keluarga menjadi diseminasi wawasan yang tidak kalah pentingnya. Pendidikan anti KS di sekolah-sekolah juga sangat diperlukan. Dana bukan masalah utama dalam mengedukasi masyarakat, penyusunan materi dan penentuan sasaran yang tepatlah yang harus menjadi perhatian. Di akhir pemaparannya, Dio menekankan bahwa dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam menjamin implementasi UU TPKS yang ideal. Diskusi dilanjutkan dengan presentasi oleh Ratna Batara Munti, sebagai perwakilan dari tim peneliti riset kualitatif. Ratna dan timnya menemukan beberapa tantangan implementasi dari UU TPKS. Pertama adalah budaya patriarki. Pola pikir masyarakat yang meminggirkan perempuan menyebabkan perangkat hukum yang disahkan April lalu tersebut belum bisa digunakan secara efektif. Payung hukum, seperti Peraturan Presiden (Perpres), harus ada dan diimplementasikan dengan baik. Setiap daerah, jika perlu, wajib mengeluarkan indikator kabupaten atau kota yang layak anak. Selain itu, peraturan yang melindungi korban KS di situasi khusus, seperti bencana, patut disusun dan diterapkan. Ratna menambahkan, memorialisasi tragedi KS butuh diwujudkan untuk merawat ingatan mengenai pelanggaran yang terjadi sehingga tidak terulang kembali. Tantangan berikutnya yang ditemukan dalam hasil penelitian kualitatif adalah pada proses pelaporan. Menurut Ratna dan timnya, kondisi psikologis korban yang terguncang seringkali membuat mereka tidak sanggup untuk melapor. Hambatan lain yang sering terjadi yaitu relasi kuasa, tidak adanya perlindungan yang ideal, dan upaya melindungi nama baik korban atau pelaku. Mengatasi hal ini, tim penelitian kualitatif memaparkan pentingnya proses pelaporan yang seharusnya tidak hanya ke polisi saja. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan UPT lain seharusnya dapat menjadi tempat pelaporan korban. Selain itu, pihak kepolisian selayaknya bisa melindungi korban selama paling tidak selama 14 hari. Hambatan berikutnya adalah masalah dana. Menurut Ratna, UPTD PPA saja hanya mendapat jatah lima juta Rupiah setiap bulannya. Tidak adanya pembatasan waktu penyelidikan pihak kepolisian juga menjadi tantangan. Akibatnya, setiap kasus tidak bisa selesai dengan cepat. Tim peneliti kualitatif juga menyarankan penyediaan Mobil dan Motor Perlindungan Perempuan dan Anak (Molin dan Torlin) yang dapat menerima laporan di bebagai lokasi. Hotline yang dapat merespons selama 24 jam menjadi saran berikutnya. Selama ini, pelayanan darurat via telepon masih mengikuti jam dan hari kerja saja. Adapun laporan diterima pada akhir pekan, tanggapan tetap diberikan di hari kerja berikutnya. Ratna kemudian menambahkan adanya kebutuhan pemaparan peraturan UU TPKS yang dijabarkan secara seksama sangat dibutuhkan agar tidak ada bias. Sehingga ketergantungan akan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa dikurangi. Kebutuhan akan adanya one stop services untuk menangani pelaporan menjadi usulan berikutnya. Menurut Ratna, pelayanan satu pintu sudah tidak efektif lagi. Kali ini pelayanan pengaduan yang bersifat satu ataplah yang harus disediakan. Indonesia mungkin dapat mencontoh negara-negara lain yang menjadikan klinik atau rumah sakit sebagai tempat korban KS melaporkan kejahatan yang dialaminya. Hal ini mengharuskan polisi untuk datang dan mencari informasi di klinik atau rumah sakit tersebut, bukan sebaliknya. Selain hambatan, tim peneliti kualitatif juga memaparkan potensi dan dukungan yang dapat membantu implementasi UU TPKS secara efektif. Ratna dan timnya diwakili oleh Maidina Rahmawati sebagai salah satu peneliti. Maidina menyebutkan adanya Dana Bantuan Korban (DBL) yang bisa digunakan untuk memproses kasus dan memberdayakan korban. Terdapat dua skema DBK yaitu dari lembaga pelayanan atau pengajuan dana perlindungan oleh korban. Sayangnya, pada diskusi terakhir mengenai DBK, Maidina berpendapat bahwa belum ditentukan dari mana sumber dananya selain dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sebelum mengakhiri paparannya, Maidina menekankan bahwa dukungan restitusi dana ini dilakukan untuk memastikan adanya perlindungan serta pendampingan untuk korban. Diskusi dilanjutkan dengan respons dari tiga penanggap. Penanggap pertama, Anna Margret, menyatakan bahwa temuan penelitian masih belum terlihat komplementer. Reaksi yang sepenuhnya kontradiksi atau sepakat dengan efektivitas implementasi UU TPKS terutama mengenai bentuk-bentuk KS yang diatur di dalam peraturan tersebut. Sebagai catatan, menurut Anna, sembari merevisi UU, edukasi bisa langsung dilakukan. Publikasi buku saku sebagai panduan, misalnya, bisa dilakukan. Selain ide, Anna juga menyampaikan kekhawatiran. Kesimpulan penelitian kuantitatif yang menekankan partisipasi masyarakat sebenarnya dapat merugikan. Karena tanggung jawab negara dalam membangun sistem yang baik malah bisa menjadi beban masyarakat terus-menerus. Sedangkan untuk hasil riset kualitatif, Anna menyarankan untuk menyorot kebaruan yang dihasilkan penelitian tersebut agar peraturan-peraturan pendamping lainnya, seperti Perpres, bisa cepat diproses dan disahkan. Penanggap selanjutnya adalah Dian Indraswari. Hal pertama yang disayangkan dari penelitian kuantitatif, menurut Dian, adaah tidak adanya keterangan preferensi seksual para responden. Selain itu, temuan adanya responden yang tidak pernah menjadi korban KS patut digali lebih dalam lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya potensi pemahaman KS yang minim dari para subjek penelitian. Revisi penulisan juga menjadi perhatian tanggapan kali ini. Penggunaan terminologi ‘rehabilitasi mental’ sebaiknya diubah menjadi ‘pemulihan psikologis’. Dian kemudian menyepakati hasil penelitian yang menekankan sinergi institusi Pendidikan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) seharusnya bisa merangkul Dinas Pendidikan agar pelaku KS yang selama ini hanya dimutasi dari satu sekolah ke sekolah lainnya ditindak dengan lebih tugas. Ia lalu bercerita mengenai pelaku yang di mutasi sebanyak tujuh kali berakibat pada munculnya korban KS di tujuh sekolah yang berbeda. Untuk meningkatkan implementasi hasil penelitian, Dian menyarankan penerapan asesmen psikologis untuk menangani korban. Definisi KS juga diharapkan dapat disampaikan menggunakan bahasa yang membumi dan bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas. Perihal layanan pengaduan atau pelaporan, banyak korban atau penyintas yang belum tentu bersedia mengaksesnya. Kondisi tersebut seringkali disebabkan oleh pemahaman akan hak korban dalam menuntut keadilan. Sehingga edukasi merupakan salah satu jalan yang diusulkan oleh Dian dalam menanggapi hambatan ini. Tanggapan ketiga diberikan oleh Purwani Purbandari. Menurut Purwani kedua hasil penelitian sudah cukup komprehensif. Namun, sepakat dengan Dian, Ia menyayangkan tidak adanya identitas gender para responden. Menurut Purwani hal ini penting karena bisa turut menekankan bahwa KS dan UU TPKS bukan hanya urusan perempuan, tapi juga laki-laki dan gender nonbiner. Beberapa poin-poin hasil penelitian turut menjadi perhatian penanggap ketiga. Menurutnya ada beberapa pemaparan yang terkesan ini lebih penting untuk perempuan. Beberapa redaksi harus direvisi agar ringan dan mudah dimengerti. Selain revisi UU yang dilakukan beriringan dengan sosialisasi lain, Purwani mengusulkan pengadaan rumah aman yang nyaman bagi korban. Keluarga korban juga harus diberikan pemahaman, bahwa apabila aparat penegak hukum tidak melakukan tugasnya dengan baik, maka keluarga korban bisa mengakses pelayanan pengaduan. Purwani memberikan contoh kasus KS di Kabupaten Luwu Timur, ketika polisi malah mengalah mengeksploitasi identitas korban. Selain itu, aturan, tata tertib, dan kode etik KS harus diimplementasikan dan disosialisasikan di lingkungan kerja. Berdasarkan pengalaman Purwani, banyak ditemukan kasus KS di kantor media tapi tidak dilaporkan karena tidak adanya mekanisme pelaporan. Utamanya di kantor media, implementasi aturan mengenai tindak KS juga dapat membantu sosialisasi isu ini kepada banyak jurnalis. Diharapkan dengan maraknya sosialisasi dan pelatihan jurnalis, pemberitaan dan empati terhadap korban menjadi lebih baik lagi. Di akhir acara, Gizka meminta para perwakilan peneliti dan penanggap untuk memberikan closing statement. Dio memulai dengan harapan implementasi UU TPKS yang masih tergolong baru dapat berkurang tantangannya dan berjalan lancar penerapannya. Ratna menyambung dengan harapan semua pihak dapat mengawal terus temuan dua penelitian yang dipresentasikan hari ini. Sehingga hasil riset bisa menjadi advokasi dan diimplementasikan tidak hanya di atas kertas saja. Ratna juga mengingatkan pentingnya kolaborasi antara penyelidik dan pendamping korban. Harapannya, akan ada panduan pelaksanaan kerja yang bisa digunakan oleh kedua pihak tersebut. Penutup berikutnya disampaikan oleh Purwani. Menurutnya hasil riset dan masukkan dari para penanggap sangat baik. Namun perlu digarisbawahi bahwa implementasi UU TPKS tidak mungkin dilakukan tanpa kerja sama semua pihak yang terlibat, seperti media, masyarakat, dan institusi pendidikan. Dian melanjutkan dengan mengapresiasi semua peneliti, penyelenggara diskusi dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam sosialisasi yang sangat bermanfaat ini. Ia juga mengingatkan bahwa tugas kita semua masih banyak dalam memastikan adanya implementasi UU TPKS dengan baik dan efektif. Penutup diakhiri oleh Anna yang berpesan untuk memperhatikan demografi penelitian terutama mereka yang mengaku tidak pernah menjadi korban KS. Ia juga berpendapat bahwa jalan yang kita lalui demi kebaikan ini pasti banyak hambatannya. Namun Anna yakin nanti pasti ada jalan di mana kita bertemu kawan perjuangan. Di situlah fokus kita harus diarahkan. Untuk kebaruan yang akan dihasilkan oleh UU TPKS, Anna berharap revisi yang dilakukan dapat menciptakan peradaban baru dengan adanya perlindungan serius untuk korban KS di Indonesia. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |