Pada Sabtu yang lalu (23/09), Let’s Talk about Sex and Sexualities (LETSS Talk) merayakan ulang tahunnya yang kedua dengan menyelenggarakan webinar yang berjudul “Produksi Pengetahuan Feminis di Indonesia: Kontekstualisasi Dekolonialisasi dan Pengetahuan Natif”. Acara yang dimoderatori oleh Elizarni (Aktivis Feminis Aceh) ini menghadirkan enam pembicara yang bergerak pada isu perempuan, gender, dan kelompok difabel, yaitu Intan Paramaditha (Penulis dan Senior Lecturer Kajian Media dan Film Macquarie University), Martha Hebi (Penulis), Nina Nurmila (Guru Besar Studi Islam dan Gender UIN Sunan Gunung Djati), Ishak Salim (Pendiri Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan), Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), dan Hendri Yulius Wijaya (Penulis). Intan Paramadhita mengawali diskusi dengan paparan mengenai dekolonialisasi pengetahuan feminis. Selama ini perempuan tidak pernah dianggap sebagai sumber pengetahuan yang valid. Dekolonialisasi pengetahuan hadir sebagai metode untuk menyingkap hegemoni patriarki dalam proses produksi pengetahuan. Spirit dekolonialisasi yang dibawakan dalam pergerakan feminisme mengajak kita untuk belajar dari pengalaman perempuan lain dalam rangka memberikan ruang dan pengakuan bagi suara yang tidak pernah didengarkan.
Gagasan ini dilanjutkan oleh Martha Hebi selaku narasumber kedua. Martha membawakan pandangan dan kisah perjuangan perempuan Sumba yang tidak pernah disorot dalam sejarah. Ia melakukan penelusuran terhadap nama-nama perempuan Sumba yang tak menyandang gelar pahlawan meskipun telah memberikan kontribusi besar bagi lingkungannya. Hasil penelusurannya kemudian dibukukan dan diberi judul “Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998”. Karya Martha memberikan akses bagi kisah perjuangan dalam senyap perempuan Sumba untuk disebarluaskan sebagai bentuk pengetahuan feminis di Indonesia. Pemaparan ketiga disampaikan oleh Nina Nurmila yang membahas feminisme dari perspektif Islam. Selama ini feminisme seringkali dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Akan tetapi, feminisme sejalan dengan Islam karena keduanya menjunjung tinggi nilai keadilan. Perkembangan feminisme dalam Islam menghadirkan perspektif Feminis Muslim yang memandang bahwa perlu adanya pemaknaan ulang terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis melalui sudut pandang feminis agar kita tidak terjebak dalam pemaknaan yang didominasi lensa patriarki. Selain itu Nina juga berpendapat bahwa kontekstualisasi pengetahuan feminis merupakan hal yang penting agar kita memahami bahwa perjuangan feminisme merupakan perjuangan yang terdiri dari keberagaman. Berbicara tentang keberagaman, Ishak Salim dalam paparannya memberikan pandangan dari kelompok difabel. Menurut Ishak, perlu adanya penggunaan nalar kritis dalam mendobrak paradigma ableism yang berlaku di masyarakat. Representasi difabel dalam berbagai wajah pengetahuan dan kehidupan masih sangat minim. Persoalan misrepresentasi pun menempatkan kelompok difabel dalam posisi yang rentan dalam keseharian. Penggunaan pandangan kritis dalam melawan pandangan ableism perlu digencarkan agar kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi kelompok difabel dan kelompok rentan. Kemudian, Abby Gina Boang Manalu sebagai narasumber kelima menyampaikan refleksi perjalanan Jurnal Perempuan selama 26 tahun berkarya. Kelahiran Jurnal Perempuan pada tahun 1996 menjadikan Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia. Kerja Jurnal Perempuan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu riset berbasis feminisme, publikasi, dan pendidikan publik. Riset berbasis feminis yang bertujuan melakukan transformasi sosial berguna dalam mengangkat pengalaman subjek riset sebagai sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan ini didokumentasikan dan dikemas dalam bahasa akademis agar dapat menjadi instrumen advokasi, khususnya yang berkenaan dengan kebijakan. Namun, Jurnal Perempuan tidak hanya memproduksi pengetahuan dalam ranah akademis, tetapi juga menghadirkan pengetahuan feminis dalam bentuk populer seperti rubrik wawancara dan tulisan profil. Keduanya memberikan ruang pada tokoh yang memiliki komitmen dalam menelusuri isu feminis dan memberikan kontribusi dengan memberdayakan komunitas yang ia perjuangkan. Selain itu, Jurnal Perempuan juga memiliki rubrik budaya yang berisi karya sastra dalam bentuk cerpen dan puisi. Karya sastra seperti pembacaan puisi yang sempat ditampilkan di awal acara oleh Dewi Nova dan di penghujung acara oleh Zubaidah Djohar memiliki pengaruh yang besar dalam mengubah kesadaran di tingkat individual. Selain itu, Jurnal Perempuan juga melakukan dokumentasi dan publikasi melalui program diskusi publik, KAFFE, dokumenter, dan radio. Proses dokumentasi dan publikasi produk pengetahuan menjadi langkah penting dalam memastikan perserbarluasannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya kolaborasi baru dan terbentuknya solidaritas. Program lain yang dijalankan Jurnal Perempuan dalam rangka merawat solidaritas anggotanya adalah Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dan Toeti Heraty Scholarship. Tidak hanya itu, Jurnal Perempuan juga berjuang dari aspek aktivisme seperti Suara Ibu Peduli, Penolakan RUU Pornografi, Pendesakan RUU Anti Perdagangan Manusia, dan Dialog dengan DPR. Kedepannya, Abby menerangkan bahwa Jurnal Perempuan berkomitmen mempertahankan produksi pengetahuan dan proses-proses dialognya agar tetap berlangsung di tengah tantangan yang ada. Yang terakhir, Hendri Yulius Wijaya mengajak kita untuk merefleksikan politik pengetahuan queer. Proses ini dimulai dengan pertama-tama mendefinisikan queer dan posisi politisnya. Hendri menyampaikan bahwa proses dialog membutuhkan pemahaman yang dapat hadir apabila kita memiliki akses terhadap pengetahuan yang dimaksud. Maka dari itu penting untuk mengidentifikasi pengetahuan queer, bentuk bangunan infrastrukturnya, dan akses serta legitimasi produksi dan distribusi pengetahuannya. Sebagai penutup, Hendri mempertanyakan tema besar yang diangkat dalam diskusi yaitu dekolonialisasi. Dekolonialisasi tidak berarti melucuti pengetahuan Barat yang selama ini mendominasi diskursus queer. Bagi Hendri, persoalan dekolonialisasi lebih tepatnya mengenai bagaimana kita dapat mengubah cara pikir dan cara pandang kita agar dapat memformulasikan pendekatan baru yang lebih tepat dalam mempertemukan dan mendialogkan pengetahuan yang global dengan yang lokal. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |