Kebebasan perempuan masih menjadi isu krusial, utamanya apabila berelasi dengan keyakinan beragama. Salah satu isu tersebut adalah perihal penggunaan jilbab. Di beberapa negara Islam, seperti Iran, perempuan diwajibkan untuk menggunakan jilbab dalam kesehariannya. Aturan tersebut tidak hanya dikenakan bagi perempuan asal Iran, tapi juga bagi turis perempuan di Iran. Perempuan yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi sebagaimana kasus seorang turis perempuan yang berujung pada kematian. Dalam kunjungannya, turis perempuan tersebut dianggap melanggar aturan karena menggunakan jilbab yang tidak rapi, sehingga memperlihatkan helaian rambutnya. Kasus tersebut memantik protes kelompok gerakan perempuan Iran yang tengah memperjuangkan keadilan dan kebebasan perempuan dari diskriminasi pemerintah Iran. Adanya kasus tersebut menjadi pembuka dalam Diskusi Pusat Gender dan Demokrasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Diskusi Pusat Gender dan Demokrasi oleh LP3ES bertajuk Revolusi Perempuan Iran: Pelajaran untuk Indonesia dan diselenggarakan pada Kamis (27/10) lalu. Tujuan diskusi ini untuk merefleksi kembali konsep perlindungan perempuan di Indonesia yang bertalian dengan narasi kehidupan beragama. Adapun yang menjadi narasumber diskusi adalah Andreas Harsono, seorang peneliti Human Right Watch (HRW), Neng Darra Affiah yang merupakan dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Nisa Alwis seorang penulis dan pemerhati sosial keagamaan juga Maziyar Parvisi selaku aktivis HAM Iran. Diskusi ini dimoderatori Lya Anggraini selaku dari Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES.
Turut memberikan pengantar adalah Julia Suryakusuma selaku Direktur Pusat Gender dan Demokrasi LP3ES. Julia, dalam pengantar diskusinya, menunjukkan sebuah kutipan mengenai kondisi perempuan di Iran yang berbunyi, “Did you now that letting your hair blow in the wind is a crime in Iran?’. Melalui kutipan ini, Julia yang juga penulis dari buku yang berjudul Ibuisme Negara, memberikan gambaran kehidupan perempuan di Iran pasca Revolusi Islam pada tahun 1979. Revolusi ini digerakkan oleh rezim yang menuntut perempuan untuk wajib berjilbab. Atas hal itu, membiarkan rambut terurai oleh angin adalah sebuah bentuk kejahatan. Di Indonesia saat ini, masih ditemukan kasus terindikasi pemaksaan penggunaan jilbab, sebagaimana yang terjadi di negara Iran. Lebih lanjut, Julia menerangkan bahwa dalam konteks perlindungan perempuan, hak asasi manusia (HAM), serta kebebasan beragama, tentu hal ini merupakan suatu yang perlu kita refleksikan bersama-sama. Parvisi menceritakan mengenai revolusi perempuan Iran yang terjadi saat ini. Pemaknaan revolusi yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan di Iran tersebut bukanlah sekadar tentang penggunaan jilbab. Hal yang lebih krusial daripada itu adalah melepaskan perempuan dari penindasan dan diskriminasi. Pemaksaan jilbab hanyalah merupakan salah satu bagian kecil dari serangkaian tindakan perampasan HAM yang dilegalkan melalui undang-undang dan berbagai aturan pemerintah Iran. Salah satu tindakan yang paling kentara dari diskriminasi yang dilakukan pemerintah Iran adalah penolakan pemerintah Iran untuk mendukung agenda UNESCO pada tahun 2030 terkait kesediaan negara dalam menjamin kualitas pendidikan yang inklusif, adil, menciptakan kesempatan belajar yang sama sepanjang hayat, serta harus mencapai suatu bentuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Sistem pemerintahan Iran selama ini telah mencampuradukkan antara agama dan politik, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi yang mengarah pada masalah-masalah HAM, terkhusus bagi kelompok perempuan. Pada akhir pemaparannya, Parvisi menyerukan kesadaran bagi masyarakat Indonesia untuk tidak mengacuhkan segala bentuk potensi pelanggaran perlindungan perempuan karena dapat berdampak signifikan bagi bangsa Indonesia di masa depan. Narasumber kedua, yakni Neng Darra Affiah selaku feminis muslim Indonesia. Neng merefleksikan pelajaran apa yang dapat bangsa Indonesia ambil dari Revolusi Iran 1979. Neng melihat bahwa gerakan perempuan sejatinya merupakan suatu gerakan progresif yang tidak pernah diam. Atas hal itu, dukungan pemerintah Indonesia terhadap kebebasan perempuan patut disyukuri. Demokrasi merupakan suatu hal yang mahal, yang sayangnya tidak dapat dirasakan oleh kelompok perempuan di Iran. Neng menambahkan, kebangkitan Islam di Indonesia pasca Revolusi Iran harus dimaknai secara berbeda. Kebangkitan Islam di Indonesia justru harus menjadi momentum untuk menegakkan demokrasi di Indonesia, sehingga semakin tumbuh kesadaran untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap insan manusia Indonesia. Selanjutnya adalah paparan oleh Andreas Harsono Andreas sendiri telah meliput Indonesia untuk HRW sejak 2008, dua laporannya menuliskan tentang kasus jilbabisasi paksa yang terjadi di Indonesia. Andreas memberikan suatu gambaran paralel terkait kasus pemaksaan jilbab di Indonesia dengan apa yang terjadi di Iran. Pada awal penjelasannya, Andreas dengan tegas meletakkan posisi HRW sebagai penentang setiap tindakan pemaksaan terhadap hak perempuan, baik pelarangan penggunaan jilbab ataupun pemaksaan penggunaan jilbab. Andreas menitikberatkan pada tumpang tindihnya aturan yang menekan kelompok perempuan untuk memiliki perlindungan terhadap kebebasannya. Nisa Alwis menjadi narasumber terakhir dalam diskusi ini. Nisa menjabarkan pandangannya tentang perubahan yang secara signifikan terjadi di Indonesia semenjak tahun 80-an hingga saat ini dalam konteks kehidupan beragama. Nisa berpendapat, beragama mendukung setiap peran perempuan dalam menciptakan perdamaian—yang sayangnya saat ini menjadi sangat problematis. Perempuan mengalami berbagai diskriminasi dengan dalih ketaatan beragama. Nisa mengajak peserta untuk merefleksi kembali konsep beragama yang sesuai dengan prinsip demokrasi, sehingga perempuan tetap dapat memiliki perannya sebagai warga negara yang memiliki keadilan dan kebebasan. Secara keseluruhan, seluruh narasumber menekankan perlunya melihat gerakan perlawanan para perempuan di Iran bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap agama. Melainkan, perjuangan untuk memperoleh keadilan dan perlindungan terhadap kebebasannya yang selama ini didiskriminasi dengan dalih agama. Agama yang dijadikan pembenaran telah disusupi oleh kepentingan politis untuk menjadi alat kontrol otoritarianisme yang berupaya menindas hak-hak perempuan. Perempuan Indonesia melalui diskusi ini diajak untuk lebih peduli, mawas diri, dan belajar dari kasus perampasan perlindungan hak perempuan, sebagai refleksi diri. Harapannya, di masa depan, perempuan Indonesia tetap dapat menikmati kebebasan yang berkeadilan secara berkelanjutan. (Kadek Ayu Ariningsih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |