Hari Perempuan Internasional (HPI) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret menjadi agenda perayaan tahunan untuk mendorong kesetaraan gender. Pada tahun 2022 ini, United Nation Women (UN Women) mengkampanyekan Break The Bias sebagai slogan HPI 2022. Break The Bias mendorong perempuan untuk bersama-sama menghancurkan bias-bias yang menyertai identitas mereka. Pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa bias terhadap perempuan sudah tidak relevan. Salah satu contohnya adalah bias peran perempuan sebagai pengurus urusan domestik keluarga. Bias ini terpatahkan ketika banyak perempuan menopang perekonomian keluarga selama pandemi COVID-19 ketika pencari nafkah utama keluarganya terkena dampak pandemi. Hal tersebut menjadi salah satu praktik baik yang menunjukkan resiliensi perempuan. Untuk membahas resiliensi perempuan di tengah pandemi sekaligus merayakan HPI 2022, Yayasan Jurnal Perempuan bersama Yayasan Plan International Indonesia menyelenggarakan dialog SMART Talks Edisi Pertama, yang mengusung judul “Dua Tahun Masa Pandemi, Refleksi Resiliensi Perempuan: Sintas di Tengah Krisis”. Dialog diselenggarakan pada Kamis (24/3/2022) lalu secara daring melalui platform Zoom dan YouTube.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini, yaitu Gadis Arivia (Profesor Sosiologi di Montgomery College, Maryland, USA), Kalis Mardiasih (Penulis dan Fasilitator Gender), Syaldi Sahude (Aliansi Laki-laki Baru), dan Wulan Astiningrum (Fasilitator Anak Anak Kabupaten Lombok Utara), dipandu Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Diskusi ini mengangkat pengalaman perempuan dalam merespons COVID-19 dengan membagikan cerita resiliensi perempuan. Dialog dibuka dengan sambutan oleh Dini Widiastuti (Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia), yang menyatakan pentingnya adaptasi terhadap keadaan untuk menyediakan ruang aman bagi perempuan dan anak. Banyaknya hambatan dan tantangan bagi perempuan di masa kini, seperti beban berlapis dan bias-bias gender, menunjukkan urgensi perwujudan kesetaraan gender. Atas hal tersebut, Dini menyampaikan, Yayasan Plan International Indonesia mendukung hal tersebut dengan menggelar kelas-kelas kepemimpinan untuk perempuan dan anak perempuan secara daring. Senada dengan Dini, Abby Gina selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan juga menyatakan berlapisnya peran perempuan, yang menyebabkan kerentanan berlapis bagi perempuan. Namun, telah banyak riset menunjukkan tingginya resiliensi perempuan terhadap keadaan tersebut. Perempuan memiliki peran kuat dalam memotori perubahan dan menjadi basis resiliensi keluarga dan komunitasnya. Sesi materi dibuka oleh Gadis Arivia. Profesor Sosiologi di Montgomery College ini menjelaskan kerentanan perempuan yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Pandemi tersebut tidak hanya menjadi krisis kesehatan, tetapi juga menjadi krisis sosial yang berdampak besar. Kerentanan perempuan selama pandemi COVID-19 dapat dilihat secara lebih mendalam melalui perspektif interseksionalitas. Perspektif interseksionalitas memungkinkan kita untuk memahami keterkaitan pandemi dengan kondisi perempuan yang berbeda-beda, termasuk persoalan budaya patriarki, beban ganda perempuan, hingga akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang semakin sulit di tengah pandemi. Misalnya, perempuan di daerah kota mungkin masih dapat mengakses layanan kesehatan reproduksi di saat pandemi. Akan tetapi, perempuan di daerah desa agaknya sulit menjangkau layanan tersebut sebab pembatasan sosial menghambat mereka. Belum lagi masalah seperti kurangnya tenaga medis di pedesaan dan berkurangnya pendapatan keluarga yang menghambat perempuan mendapat pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, sudut pandang berbasis gender saja tidak cukup; sudut pandang interseksionalitas harus digunakan agar perempuan dapat memberdayakan sesamanya. Paparan kedua dilakukan oleh Kalis Mardiasih. Sebagai aktivis kesetaraan gender, ia mengemukakan banyaknya pendapat seksis di media sosial saat awal pandemi melanda Indonesia. Sayangnya, justru kalangan politisi dan figur publik yang gencar melontarkan komentar bernada seksis tersebut. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan di awal pandemi memberatkan beban ganda perempuan, yaitu sebagai pekerja dan sebagai pengurus rumah tangga. Pada beberapa keluarga—dalam kondisi ekonomi yang lebih sulit—terdapat dorongan untuk menikahkan dini anak-anak mereka guna mengurangi beban finansial. Sepanjang 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat 338.496 angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Meskipun begitu, Kalis menyatakan perempuan memiliki daya reliensi yang sangat kuat. Dalam bidang ekonomi keluarga misalnya, perempuan banyak yang mengembangkan bisnis kecil untuk membantu pemasukan keluarga. Karena didukung oleh skema penjualan daring, bisnis perempuan pun semakin berkembang, sehingga mereka tidak lagi pada kepala keluarga. Syaldi Sahude menyambung dengan paparan mengenai peran gender tradisional. Dalam pembagian peran gender tradisional, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah utama dan tampil di ruang publik. Di tengah pandemi COVID-19, ketika laki-laki harus berdiam di rumah dan berurusan dengan urusan domestik, laki-laki menjadi gagap. Banyak laki-laki yang pada akhirnya tidak membantu pasangannya dalam mengurus keluarga. Sementara itu, perempuan harus menanggung beban berlapis di dalam keluarganya. Syaldi mendukung pembagian peran gender yang rata antara laki-laki dan perempuan, baik di lingkup domestik maupun publik. Ia berkata, dengan situasi COVID-19, seharusnya peran gender dapat didobrak. Hal tersebut sejalan dengan semangat Break The Bias. Ketika masyarakat sudah dapat mendobrak peran gender, maka kesetaraan dapat dicapai. Pemateri terakhir, Wulan Astiningrum, memaparkan kondisi perempuan dan anak perempuan di wilayah Kabupaten Lombok Utara. Sebagai fasilitator, ia memahami dampak pandemi terhadap kondisi ketimpangan gender di wilayah binaannya tersebut. Masyarakat Lombok Utara yang masih mengedepankan adat dan budaya menghambat perwujudan kesetaran gender, sebab banyak sekali aturan yang merugikan perempuan. Selama pandemi juga, Wulan melihat banyaknya fenomena pernikahan dini dan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, Wulan menyatakan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mendorong kesetaraan gender di Lombok Utara. Selain itu, Wulan juga memaparkan bentuk-bentuk aktivisme yang ia dan rekan-rekannya lakukan untuk membantu memulihkan kondisi masyarakat, seperti membantu penanganan kasus pernikahan anak, kekerasan terhadap anak, hingga kekerasan seksual. Di luar itu, ia juga aktif memberikan pelatihan terhadap perempuan untuk mengembangkan ekonomi keluarga. Peran gender tradisional perempuan semakin mencekik di situasi krisis seperti pandemi COVID-19. Namun, terdapat harapan besar untuk mengakhiri situasi ketimpangan gender. Di masa pandemi, agensi perempuan menunjukkan resiliensinya untuk membantu keluarga dan komunitasnya. Hal ini memperlihatkan potensi perempuan yang sangat besar ketika mereka tidak dihalangi oleh nilai-nilai patriarki yang memberatkan. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |